“Nona, aduh! Apa yang Nona lakukan barusan? Dia, perempuan itu. Aduh, ….” Mark menggerutu sepanjang perjalanan menuju ke dalam kamar di mana Deniz saat ini dirawat. “Kenapa? Apa kamu takut?” ujar Marissa dengan enteng, ia berjalan seperti biasanya tanpa rasa bersalah. “B-Bukan begitu, Nona. Tapi nona Catherine terluka,” jawab Mark yang sepertinya mencemaskan perempuan tak tahu malu itu. “Bisa-bisanya dia menemani suami orang. Sedangkan istrinya ini masih—sehat dan benar-benar masih hidup.” Kira-kira seperti itulah kekesalan Marissa pada sosok perempuan bernama Catherine tersebut. “Kamu mengkhawatirkan pelakor itu, Mark?” selidik Marissa yang mulai tidak nyaman dengan sikap sang pengawal. Marissa menghentikan langkahnya, ia menatap Mark dengan tampang tak suka. Bahkan kini kedua alisnya saling bertautan dengan lirikan yang cukup sinis. “T-Tidak, Nona. M-Maafkan saya,” ujar Mark dengan menundukkan kepala. “Sialan kau! Kau tidak bisa berbohong padaku, Mark. Buktinya—ini!” Marissa m
Roll Royce berjenis Phantom itu berhenti tepat di depannya. Marissa mengernyitkan dahinya sejenak, perlahan rasa penasaran itu pupus ketika seseorang turun dari dalam mobil mewah tersebut.“Bagus. Aku tidak perlu capek-capek mencarinya,” gumam Marissa dengan bibir dimanyunkan.“Hai, Marissa! Kita bertemu kembali, apakah ini adalah kebetulan yang sudah direncanakan oleh Tuhan pada kita?” dengan angkuhnya Kevin memulai sapaan itu saat melihat seseorang yang dikenalnya.“Jangan menyeret nama Tuhan di sini, Kevin! Kau tidak pantas untuk itu, meski hanya sekedar menyebut.” Sahut Marissa dengan culas.“Oh, begitukah menurutmu? Sorry deh,” Kevin memanyunkan bibirnya.“Marissa, ayo cepat pergi! Kenapa pula dia ada di sini?” Joshua datang menghampiri saat melihat kemunculan Kevin di tengah-tengah mereka.“Apa kau sedang mengantarkan, Joanna?” sapanya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Ekspresi Joshua berubah semakin tidak mengenakkan, ia tidak ingin ada perseteruan di saat hati Marissa sedang k
PLAK!Tamparan keras itu mendarat tepat di pipi, Kevin. Marissa merasa dijadikan boneka permainan oleh mantan kekasihnya itu. Sehingga niat semula pergi meninggalkannya pun diurungkan dan berakhir dengan sebuah tamparan.Kevin yang terkejut dengan aksi brutal dari Marissa pun mengepalkan sebelah tangannya. Ia mencoba untuk tidak membalas apa yang sudah dilakukan oleh perempuan itu, meski ia merasa harga dirinya sedikit terinjak. Lama kelamaan perempuan itu seperti tengah melonjak dengan sifat pongahnya.“Lelucon apalagi yang kau rencanakan? Aku tidak tertarik sedikitpun,” ujar Marissa dengan mengacungan jari telunjuknya di depan hidung mancung, Kevin.“Dengarkan! Aku tidak main-main, Marissa. Dia adikku dan kau baru saja menghajarnya,” gertak Kevin yang masih memegang pipi kirinya.“Persetan denganmu atau dengannya. Adikmu itu, dia yang telah memulainya. Catherine, telah menggoda suamiku.” Kali ini jari telunjuk Marissa beralih pada dada, Kevin.“Kamu harus membayar semua ini, dia kes
“Gila! Apa yang sudah kamu pikirkan, Marissa? Mengajaknya kerja sama yang pada akhirnya akan merugikan dirimu?” Joshua menampakkan taringnya saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Joshua yang merasa tak tenang pun berusaha mengajak Marissa berbicara saat mobil berhenti di sebuah tikungan lampu merah. Joshua melihat perempuan itu bungkam, hingga menguras kesabarannya yang sia-sia saja mengorbankan waktu demi membela Marissa.Perempuan itu menghela napas dengan perlahan, tapi tidak sekalipun ia membalas tatapan Joshua. Entah apa yang sedang dipikirkannya, seolah ia kini dalam sebuah tekanan yang cukup berat. Marissa memalingkan wajahnya keluar jendela mobil, ia menyilangkan kedua tangan di dada. Dan Joshua merasa terabaikan dengan sikapnya.“Jika bukan Kevin pelakunya, lantas siapa?” belum ada tanggapan dari Marissa, tapi sebisa mungkin Joshua mengajaknya berkomunikasi dengan baik.“Apa kamu punya musuh selain, Kevin?” tanya Joshua dengan sangat hati-hati.Baru saja Marissa menoleh, t
Krak!Ada bunyi ranting yang jatuh, atau lebih tepatnya terinjak oleh sesuatu. Di gelapnya malam, tidak akan ada satupun yang menyadari kejadian alam tersebut. Semuanya terjadi secara alami tanpa dibuat-buat, bagai hembusan semilir angin yang membawa sihir bagi sebagian anak manusia.Seperti halnya, Marissa. Ia yang telah meminum obat sebelum memutuskan untuk bergelung dalam selimut, ia tidak pernah memikirkan sesuatu yang janggal di luar sana. Apalagi tempat yang kini menampungnya tidak banyak diketahui banyak orang. Perempuan itu terlihat sangat lelah, bahkan untuk berpikir saja ia tidak mampu.“Tetaplah diam di situ pria manis. Jangan berisik!” suara seseorang memecah keheningan malam yang sempat berisik beberapa saat lalu. Di tangan kanannya berputar sebuah cutter pada sela-sela jari. Benda itu berkilat saat tertimpa cahaya di remangnya malam.Joshua, sudah duduk di bawah ranjang dengan posisi tengkurap. Sementara kaki dan tangannya telah terikat dengan tali panjang. Mulut pria be
“Menarik,” gumam Joanna dengan seringai di sudut bibirnya. Tatapan nyalang dari cat eyes miliknya membuat suhu ruang semakin dingin.Malam semakin merambat naik, dari balik jendela terlihat kerlip bintang bertaburan di atas mega. Lampu tidur di sisi ranjang itu, menyisakan pendar di sebagian ruang tidur. Terkesan hangat dan sangat nyaman, sehingga Marissa tidak bergeming sedikitpun dari atas kasur.Joanna berhenti tepat di tepi ranjang berukuran double tersebut. Ia mengamati tubuh kakaknya yang kini terlelap dalam dunia mimpi. Bahkan perempuan yang dulu sering membacakan dongeng sebelum tidur untuknya itu, tidak menyadari kedatangan dirinya. Kali ini bukan untuk bermanja di pelukannya, tapi menuntut sebuah pembalasan.“Apa yang harus aku lakukan untukmu? Membuatmu bungkam seperti apa yang aku lakukan pada temanmu? Oh, tidak, tidak, tidak …..” kepalanya menggeleng kecil, ia tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkannya sendiri. Semula ia hanya ingin memberi pelajaran agar Mariss
“Engh, ….”Suara erangan itu berasal dari, Marissa. Ia berusaha untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat. Usaha itu berhasil, tapi pandangannya mendadak tidak bisa sejernih biasanya.‘Apa ini?’ (tanya Marissa dalam hati).Marissa berusaha menajamkan pandangan. Tapi tetap saja ia tidak melihat atau mengetahui sekarang dirinya ada di mana. Saat pandangannya mulai membaik, ia melihat ruangan yang kini ditempatinya tampak sedikit kumuh. “Shit! Siapa yang berani berbuat ini kepadaku?” ia mencoba untuk melepaskan diri ketika menyadari jika saat ini kedua tangan dan kakinya terikat pada ujung ranjang berbahan besi tersebut.Posisinya yang telentang hanya bisa memandang langit-langit. Marissa menstabilkan napasnya yang mulai bergemuruh karena perasaan kesal. “J-Joanna, ya ….” Perempuan itu pun ingat tentang sekelebat bayangan di ujung malam, di saat dirinya terakhir tertidur dengan nyenyak lalu ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bernapas. “Dia berusaha membunuhku?” Marissa tidak
Sementara itu, di sebuah rumah sakit kota Ankara. Joshua terbaring di ruang ICU menggantikan posisi, Deniz. Bunyi dari alat rekam jantung membuat berisik kamar tersebut sepanjang hari. Sore itu, Sam melihat Marissa dan Kevin berdebat di depan arah pintu basement rumah sakit. Segera ia mengawal Marissa secara diam-diam sampai ke pondok milik Joshua, tapi sayang sudah terlambat. Sam mendapati Joshua sudah terkapar di bawah lantai dengan bersimbah darah. Dan Marissa, entah ke mana perginya nona muda itu.“Apa yang sudah terjadi denganmu?” Deniz mengernyitkan dahi saat menoleh dan melihat Catherine datang dengan kondisi hidung dibalut dengan sebuah perban.Deniz memaksakan diri untuk pergi ke kamar Joshua setelah dirasa kondisinya membaik. Ia yang mendapat info dari pengawal pribadinya langsung beranjak dari bed pasien dan segera melihat kondisi Joshua yang malang.“Sial! Semua ini karena perempuan itu,” jawab Catherine dengan memasang muka kesal. Ia menghentikan langkahnya setelah berjal