“Engh, ….”Suara erangan itu berasal dari, Marissa. Ia berusaha untuk membuka kelopak matanya yang terasa berat. Usaha itu berhasil, tapi pandangannya mendadak tidak bisa sejernih biasanya.‘Apa ini?’ (tanya Marissa dalam hati).Marissa berusaha menajamkan pandangan. Tapi tetap saja ia tidak melihat atau mengetahui sekarang dirinya ada di mana. Saat pandangannya mulai membaik, ia melihat ruangan yang kini ditempatinya tampak sedikit kumuh. “Shit! Siapa yang berani berbuat ini kepadaku?” ia mencoba untuk melepaskan diri ketika menyadari jika saat ini kedua tangan dan kakinya terikat pada ujung ranjang berbahan besi tersebut.Posisinya yang telentang hanya bisa memandang langit-langit. Marissa menstabilkan napasnya yang mulai bergemuruh karena perasaan kesal. “J-Joanna, ya ….” Perempuan itu pun ingat tentang sekelebat bayangan di ujung malam, di saat dirinya terakhir tertidur dengan nyenyak lalu ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa bernapas. “Dia berusaha membunuhku?” Marissa tidak
Sementara itu, di sebuah rumah sakit kota Ankara. Joshua terbaring di ruang ICU menggantikan posisi, Deniz. Bunyi dari alat rekam jantung membuat berisik kamar tersebut sepanjang hari. Sore itu, Sam melihat Marissa dan Kevin berdebat di depan arah pintu basement rumah sakit. Segera ia mengawal Marissa secara diam-diam sampai ke pondok milik Joshua, tapi sayang sudah terlambat. Sam mendapati Joshua sudah terkapar di bawah lantai dengan bersimbah darah. Dan Marissa, entah ke mana perginya nona muda itu.“Apa yang sudah terjadi denganmu?” Deniz mengernyitkan dahi saat menoleh dan melihat Catherine datang dengan kondisi hidung dibalut dengan sebuah perban.Deniz memaksakan diri untuk pergi ke kamar Joshua setelah dirasa kondisinya membaik. Ia yang mendapat info dari pengawal pribadinya langsung beranjak dari bed pasien dan segera melihat kondisi Joshua yang malang.“Sial! Semua ini karena perempuan itu,” jawab Catherine dengan memasang muka kesal. Ia menghentikan langkahnya setelah berjal
Sebelum Joshua dilarikan ke rumah sakit. Di mana situasi sekeliling pondok dalam suasana yang sunyi. Sam terlihat mengendap-endap untuk mendekat dan mencari tahu. Rupanya rintik hujan menyambut kedatangannya, sehingga Sam harus berjingkat untuk menghindar dari gerimis. Sepi. Itulah kata pertama yang muncul di kepalanya, Sam menyipitkan kelopak mata untuk menajamkan penglihatan. Ia mengintip di balik jendela yang tirainya tidak tertutup dengan rapat. Sam tidak menemui apapun di dalam sana, hingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam. ‘Jadi Joshua membawanya ke sini?’ (tanya Mark dalam hati). ‘Ya, Mark. Siapa tahu Joshua bermaksud baik, ia ingin menyelamatkan sahabatnya itu.’ (lanjut Sam bermonolog dengan perasaannya sendiri). ‘Gotcha!’ (soraknya dalam hati saat ia berhasil membuka pintu). Perlahan ia masuk ke dalam pondok yang minim pencahayaan itu. Ia waspada akan kemungkinan yang terjadi, siapa tahu ada sebuah jebakan yang membuat dirinya harus bertaruh nyawa. Tidak ada apapun sa
“Kamu bercanda? Cerita dari mana jika kamu itu adiknya, Kevin?” Deniz tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Jangan ngarang kamu, Cath!” sambung Deniz yang sudah tidak ada simpati sedikitpun pada perempuan muda itu.“Aku memang tidak pernah memberitahumu tentang keluargaku, karena kamu tidak memintanya,” jawab Catherine yang nada suaranya terdengar seperti—menyesal.“Cih, tidak penting.” Deniz langsung menimpali nya dengan cepat.“Kamu sudah berkhianat dan kita tidak ada hubungan TITIK!” jari telunjuk Deniz mengarah ke bawah lantai sebagai bentuk keputusan yang mutlak agar Catherine menerima dengan lapang dada.“Sudah aku jelaskan jika semuanya salah paham, Deniz. Kamu harus percaya kepadaku,” Catherine masih berusaha mendapatkan kepercayaan Deniz yang sudah hilang kepadanya. Pria bertampang dingin itu dulu sangat hangat saat menatap ke arahnya. Ucapan yang keluar dari mulut seorang Deniz sangatlah lembut, sehingga berhasil meluluhkan hati Catherine yang keras k
“Aku tidak menukar takdir siapapun. Jika harus menyalahkan, kenapa kau harus membebankan semua ini kepadaku? Aku tidak tahu apa-apa, Jo.” Ujar Marissa yang masih dalam posisi semula, telentang di atas ranjang lapuk.“Tapi karena kau, semuanya menjadi kacau.” Balas Joanna dengan wajah mengerikan. Ia melempar dagu Marissa dengan kasar.“Aku? Salahku di mana? Sedangkan aku sendiri tidak tahu jika kau mengalami hari yang berat. Kita bertemu di saat usiamu baru menginjak 12 tahun, saat paman Mike membawamu ke rumah.” Jawaban dari Marissa membuat Joanna bungkam, ia hanya melirik dengan sinis.Joanna mengepalkan tangannya dengan kuat, hampir saja ia melayangkan bogem mentah itu pada kakaknya. Ia urung melakukan, Joanna masih butuh Marissa untuk memuluskan rencananya. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan di samping Marissa adalah pemegang saham tertinggi di perusahaan konstruksi itu.Lalu ia melampiaskan amarahnya dengan menendang sebuah kursi, hingga kursi tersebut berpindah tempat dengan
“Miriam, kemarilah!” Joanna memanggil wanita yang dulu dipercaya sebagai kepala pelayan di keluarga Ghazy itu agar masuk ke dalam.“Nona,” jawab Miriam dengan penampilannya yang tetap terlihat elegan di mata siapapun.“Singkirkan dia!” “Baik, Nona.” Miriam mengangguk patuh, ia sangat tahu jika Joanna tidak suka dibantah. Perempuan muda itu pun pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata. Miriam masih dalam posisi menunduk dengan kedua telapak tangan saling menggenggam di depan. “Kerjakan dengan rapi!” Joanna menepuk bahu Miriam yang terlihat tegang.Miriam mematung hingga di sepersekian detik, hingga ia tersadar dari lamunan yang menuntutnya untuk menuruti perintah majikannya. Ia yang telah terdesak oleh keadaan terpaksa harus setuju dengan tawaran yang diberikan oleh Joanna kepadanya. Miriam yang takut mati itu pun sepakat untuk bekerja dengan Joanna sebagai salah satu syarat.“Oh my God,” gumamnya lirih saat melihat Marissa yang sudah tidak bergerak.“Sam!” Miriam memanggil seseoran
“Dasar anak tidak tahu diri. Apa yang sudah kau lakukan, Sam Antonio Bennedict?” teriak wanita berusia 60 tahun itu dengan berkacak pinggang—marah. “Seharusnya kau membawa calon pengantin, bukannya—argh ….!” Bibi May meluapkan emosinya setelah membantu Sam membaringkan tubuh Marissa di kamar tamu. Bibi May berdiri dengan gelisah, bahkan celemek untuk memasak masih dikenakan wanita berpostur tambun tersebut. Saat Sam datang, kedua telapak tangan wanita itu menyambutnya dengan sarung tangan anti panas untuk mengangkat ayam saus tomat dalam oven. “Bibi, aku tidak bilang kalau ….” “Alah, kau ini banyak alasan dari dulu. Mana ada gadis yang mau denganmu jika kau setiap hari sibuk bekerja dan lihatlah kondisimu sekarang. Pulang-pulang bukannya membawa istri, tapi membawa ….” bibi May menghembuskan napas dengan kasar setelah melirik ke arah pintu kamar, ia tidak meneruskan kalimatnya. Wanita berambut sebagian memutih dan digelung asal tersebut memilih untuk berdiri, ia berkacak pinggang
“Nona hanya menderita syok, Bi. Saya sudah mengobati lukanya, jadi Bibi jangan terlalu khawatir.” Dokter Ramon meletakkan beberapa obat di atas meja dan memberi petunjuk cara minum sesuai dosisnya.“Apa Sam akan kembali, Bi?” tanya dokter Ramon yang menatap kasihan pada bibi May yang telah menghabiskan masa tuanya sendirian tanpa ada sanak saudara.“Entahlah, Ramon. Terima kasih sudah jauh-jauh datang ke sini,” jawab bibi May dengan mengedikkan bahunya.“Nanti ada Frans yang datang ke mari. Aku sudah memintanya membantuku selama nona muda masih dalam pemulihan,” lanjutnya setelah duduk di kursi yang berseberangan dengannya.Kini mereka duduk dalam satu meja di ruang makan. Hidangan yang sudah dimasaknya sengaja dihangatkan kembali saat dokter Ramon singgah. Ia ingin membaginya dengan dokter muda itu agar makanan yang telah masak tidak terbuang sia-sia.“Begitukah? Sungguh aku khawatir jika meninggalkan Bibi sendirian seperti ini. Syukurlah jika ada yang menemani, jadi aku tidak terlal