Beberapa hari yang lalu, Banyu Himawan mendapat tantangan sekaligus menantang Ivana Wijaya. Akhir dari itu semua tentulah sudah bisa ditebak jika hanya Banyu yang akan menderita. Dengan ringisan yang menyengsarakan jiwanya, Banyu kenakan dasi ke lehernya dan mengumpati persetujuannya. Menerima tantangan dari Ivana tidaklah mudah. Namun Banyu juga kadung tercebur ke dalam sebuah perasaan yang tak bisa membawa dirinya bangkit. Banyu telah jatuh hati dan meletakkan harapannya sepenuhnya kepada Ivana. Kenapa begitu?Iya, kenapa, ya?Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban apa pun dari diri Banyu. Yang ada di benaknya hanyalah langkah apa yang akan dirinya ambil untuk menyelesaikan tantangan dari Ivana. Banyu ingin melakukan semua itu segera dan bisa melepaskan Zahra. Rasa muak dan bosan mulai menyambangi dirinya sehingga Banyu enggan bertemu dengan Zahra secara langsung.Namun pagi ini adalah pengecualian. Banyu menginap di apartemen Zahra yang mana wanita itu sedang berkutat dengan dapur.
Sebuah perjalanan tanpa rasa sakit tidak akan ada artinya. Karena manusia tidak bisa mendapatkan apa pun tanpa mengorbankan sesuatu. Tetapi ketika mereka mampu mengatasi hal itu, manusia akan mendapatkan hati baja yang lebih keras dari apa pun.Seketika Anan teringat pada sesuatu. Di mana seperti sebuah kenangan yang sengaja Anan hilangkan dari ingatannya. Rasanya perih hingga sendi-sendi Anan merasakan sakit tanpa sebuah alasan yang tepat. Anan merasa ini pernah terjadi dan dirinya mengalami dengan nyata. Tapi di mana dan kapan?“Ada yang kamu pikirkan?” tanya Zahra yang sore itu mendatangi Anan di kantornya. Wanita dengan rambut panjangnya yang tergerai itu meletakkan es kopi pesanan Anan di hadapannya dan duduk di sofa tamu tak jauh dari keberadaan Anan. “Wajahmu pucat.” Zahra hendak memegang pipi Anan yang langsung mendapat reaksi dari si empunya. Penolakan Anan hanya Zahra balas dengan senyuman kecil yang canggung. “Oh, maaf.”“Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Oh, ya, ada sesu
Pulang ke rumahnya, wajah Anan sangat semringah dan perasaan puas terlukis jelas membuat Kinar yang menunggunya di teras rumah mengerutkan keningnya. Suaminya itu memberinya pelukan singkat dan kecupan singkat di keningnya alih-alih penjelasan yang membuat wajahnya begitu cerah bak matahari pagi hari.“Sesuatu yang menyenangkan.” Begitu kata Anan yang menggandeng tangan kanan Kinar dan memasuki rumah. “Kamu masak apa? Aku makan siang bersama klien dan perutku sedikit bermasalah.”“Mau salad buah? Aku tidak pernah lupa mengingatkanmu untuk jangan memakan makanan yang tidak bisa diterima oleh perutmu. Kenapa harus sungkan dengan rekan kerjamu jika tahu perutmu selalu bermasalah?” Kinar tidak mengomel. Hanya sedang memberitahu Anan untuk lebih berhati-hati.Berjalan menuju kulkas setelah meletakkan tas kerja Anan di meja makan. Kinar mengeluarkan sekotak salad buah yang selalu dirinya siapkan untuk Anan konsumsi. Dan sebagai bentuk rasa penyesalannya, Anan tidak menolak pemberian Kinar.
“Kamu tahu caranya menjadi serakah?”Pertanyaan itu Kinar ajukan kepada Ivana yang pagi itu menghubungi nomornya dan mengajaknya breakfast. Karena Kinar tidak punya alasan untuk menolak terlebih izin yang Anan berikan tidak menyiratkan amarah atau omelan, maka di sinilah Kinar sekarang.Duduk berhadapan dengan Ivana yang menyesap teh hijaunya seraya melayangkan tatapannya ke arah ke luar jendela. Udara sejuk masih menyelimuti bumi pasundan dengan burung-burung gereja yang beterbangan ke sana kemari. Kawanan mereka sesekali akan mematuki semut-semut yang berada di tanah lalu kembali terbang. Membuat sebuah formasi dengan kelompoknya dan mencicit satu sama lain.Kinar mengenakan dress hamilnya yang super nyaman meski perut buncitnya belum sepenuhnya terlihat. Namun dengan bentuk tubuhnya yang langsing nan ramping, dressnya akan bekerja dengan sangat baik saat angin meniupnya. Jeplakan perut buncitnya yang belum seberapa terlihat dengan apiknya. Motif kembang-kembang merah yang menjalar
“Kamu punya mimpi? Impian, mungkin.”Mustahil! Setiap yang hidup dan terlahir di bumi tidak memiliki mimpi. Paling tidak, mereka yang telah melihat luas dan kejamnya dunia, ada setitik harapan yang mereka gantungkan. Walau dunia bersikap tidak adil sekali pun, harapan dan mimpi mereka jadikan pegangan hidup. Bukan hal yang mudah namun juga tidak bisa dikatakan itu sulit. Sebelum mencobanya, sebelum terjun ke dalam lumpuh yang dipenuhi lintah maka hidup akan begitu-begitu saja: monoton.“Kenapa?” balasnya bertanya yang membuat Anan Pradipta terkekeh. Kinar Dewi yang baru saja menandaskan susu hamilnya menanggapi dengan senyuman miring. Suaminya dan obrolan yang selalu absurd memang topik paling apik di malam hari guna melepas penat. “Aku tidak tahu banyak tentangmu bahkan perihal mimpi-mimpimu selain rumah yang selalu kamu ucapkan sebagai tempat pulang.”“Yang tidak selalu berbentuk bangunan.” Anan menoleh yang dibalas anggukan oleh Kinar. “Hm, aku sendiri juga tidak tahu. Bukan tidak
“Ternyata aku tidak seberharga itu.”Bibir Kinar tersenyum segaris. Menyeruput minuman dinginnya, teriknya matahari siang hari di kota Bandung menjadi kenikmatan tersendiri. Ditemani dengan camilan ringan dan hidangan lainnya, Kinar sambangi apartemennya yang dulu diberikan oleh Anan. Dan curhatan kegalauan Vina menjadi pelengkap yang tak bisa Kinar hindari. Judulnya adalah menikmati dan Kinar tetap sebiasa mungkin untuk mendengarkannya.“Aku tahu!” kata Vina yang mendapat tatapan tak enak dari Kinar. “Aku tahu!” lanjutnya dengan keras kepala diikuti dengkusan yang Kinar tertawai sebagai balasan. “Tatapan kamu tidak bisa ditutupi dan aku tahu artinya. Tapi memang itu perasaan yang sedang aku rasakan. Jadi, tolong sopan sedikit padaku.”Tawa Kinar membahana. Memenuhi ruang apartemennya yang sepi dan hanya terisi oleh mereka berdua saja. Vina berkata dengan sangat santai seolah-olah Kinar sedang menghakiminya. Padahal wanita itu sendiri yang mengundang Kinar untuk memberinya tatapan pen
“Tentang kehilangan, ya?” Kinar mengusap-usap dagunya dengan jariny. Pertanyaan yang Anan ajukan cukup panjang penjabarannya. Karena setiap manusia memiliki deskripsi masing-masing tentang kehilangan. Mereka lebih membawa perasaannya kala ditanya seperti itu dan akan menerawang menembus cakrawala. “Memangnya bagaimana perasaanmu?”“Ini tanya yang dibalas dengan pertanyaan yang baru, ya?” kekeh Anan yang diberi cengiran oleh Kinar. “Hampa, mungkin yang lebih spesifiknya adalah kosong, kesepian dan aku merasa sendiri. Ah, jangan marah, ya,” pinta Anan seraya mengecup pucuk kepala Kinar. “Ini hanya obrolan ringan kita di setiap malamnya. Aku tahu kamu sedang jenuh dan kamu pun ingin didengarkan sebagaimana aku membagi bebanku padamu. Jadi, jauh sebelum kita saling mengenal, aku sudah memiliki perasaan seperti ini. Aku bingung tentang apa yang aku rasakan. Dikatakan kehilangan, itu aneh karena aku masih menggenggam sesuatu ditanganku. Namun jika bukan kehilangan, harus aku artikan apa ras
“Coba tanya bagaimana kabarku hari ini?”Adrian Pradipta menolehkan wajahnya dengan penuh keterkejutan. Seharusnya tidak perlu selebay itu, sih. Tapi Nindi mulai memberikan banyak kejutan yang menyensasikan keanehan untuk dada Adrian. Tidak ingin percaya tapi degupnya jelas terasa amat nyata. Di telapak tangan besar Adrian, rasa itu benar-benar ada. Dan untuk pertama kalinya selama hidupnya, Adrian merasakan hal ini. Tidak pernah sekali pun sebelum ini Adrian merasakannya. Wanita ini sungguh berbeda dari wanita yang pernah Adrian temui sebelumnya. Apakah boleh Adrian simpulkan jika Nindi wanita yang tepat untuknya?“Bagaimana kabarmu?” Adrian ikuti maunya Nindi yang mendapat balasan tawa. “Ada yang lucu?” tanya Adrian bingung sembari menyeruput kopi panasnya. “Aku tidak pandai merangkai kata. Untuk bisa menjadi kalimat, alih-alih membual dan mengumbar janji manis, aku lebih suka bertindak. Aku lihat kamu baik-baik saja, secara fisik. Tapi dengan hatimu, kita perlu berbicara secara men