Share

7. Insiden Kecil

Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?

Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.

Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.

Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.

Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya.

"Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."

Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri.

"Dasar pelayan tak tahu diri, apa kau sengaja ingin mencelakaiku ?" bentak nyonya Alisha lalu menyiramkan teh panas itu ke tubuhku.

Aku yang tidak siap tentu saja tak bisa mengelak, dan meringis kesakitan. Teh panas itu mengenai kulitku dan terasa perih.

"Auuu...aa..ampun nyonya..i..ini"

"Ada apa ini ?" kudengar suara Azhar bertanya dengan gusar. Mungkin dia merasa terganggu karena obrolannya terhenti karena insiden kecil ini.

Untunglah teh panas itu hanya mengenai tanganku, aku mengangkat lengan kananku yang memerah dan melepuh. Sambil meringis, aku berusaha meniup lenganku.

"Pecat pelayan yang tak tahu diri ini," nyonya Alisha berkacak pinggang sambil tangan kanannya diangkat dan menunjuk tepat di depan wajahku.

Kudengar kursi berbunyi, aku menahan nafas. Seseorang menghampiriku, semoga bukan Azhar. Aku tak mau dipermalukan seperti ini, tapi apa boleh buat aku hanyalah bawahan rendahan.

"Apa yang terjadi nyonya ?"

Itu suara Erwin yang tepat berdiri di belakangku.

"Aku tak ingin melihat pelayan ini di kantor ini, aku meminta teh hangat dan dia membawakan teh panas mendidih untuk kuminum"

Aku kini mengerti, nyonya sengaja melakukan ini agar aku dipecat.

Erwin langsung berdiri di sampingku, dan dia hendak memarahiku. Namun saat dia hendak mengatakan sesuatu, matanya seketika terbelalak dan mulutnya menganga.

"Ka...kau..."

Kulihat Erwin melirik ke belakang. Mungkin dia terkejut melihatku. Karena dia sudah mengenal wajahku ketika apel sore berlangsung.

"Ini mungkin salah paham nyonya," suara Erwin terdengar sangat pelan.

"Salah paham apa maksudmu, sejak kapan kau membela pelayan di depan bosmu sendiri ?"

"Pagi-pagi kau sudah membuat keributan diruanganku Alisha, keluar sekarang dari sini !" Seru Azhar dengan marah. Mungkin dia merasa terganggu dengan ulah isterinya.

"Aku hanya meminta pelayan ini dipecat, mengapa kau malah mengusirku ?"

Melihat situasi yang tidak baik ini, aku segera membungkuk dan memohon diri.

"Hei kau mau kemana ?" nyonya Alisha mencekal lengan kananku yang tadi melepuh sehingga membuatku mengaduh.

"Auww, wishhh," aku meringis kesakitan.

Erwin melihat hal itu segera mencegah isteri bos untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan.

Kudengar kursi berbunyi, artinya Azhar sudah berdiri menghampiri kami. Aku semakin menunduk.

Aku tak bisa melihat bagaimana wajah ketiganya karena aku berusaha melepaskan cekalan tangan nyonya Alisha.

"Kau ! mulai detik ini keluar dari sini, dan ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di kantor ini apa kau paham ?"

"Ba..baik nyonya, ta..tapi tolong lepaskan dulu tanganku nyonya," pintaku dengan pilu. Air mata ini rasanya akan tumpah, bukan karena pemecatan tapi karena luka lecet di lenganku akibat teh panas yang disiramkan nyonya.

"Lepaskan tangannya !" Azhar sudah berdiri disampingku. Entah dia mengenali suaraku, atau karena dia kasihan melihat tanganku yang melepuh.

Aku tak berani mengangkat wajahku.

"Bawa dia ke klinik," titah Azhar pada Asistennya.

"Aku ingin dia dipecat."

Masih kudengar teriakan nyonya Alisha ketika Erwin membimbingku keluar.

Kami masuk ke ruangan yang masih berada di lantai tujuh. Rupanya ini klinik yang dikatakan Azhar.

"Dokter tolong diobati lengan kanannya, sepertinya teh panas mengenai kulitnya sehingga melepuh."

Dokter dengan cekatan memeriksa lengan dan tangan kananku.

"Jika kena air panas, kenapa bisa sampai lecet seperti ini ?"

Sambil mengobati lengan dan tangan kananku, dokter bergumam yang tentunya tetap di dengar Erwin.

"Tuan bisa meninggalkan aku disini, aku bisa sendiri," ucapku sambil tersenyum pilu.

Erwin menatapku dengan lekat.

"Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya.

***

Azhar POV

Aku dan Erwin masuk ke ruangan, kulihat Alisha sudah duduk dengan menyilangkan kakinya di kursi sofa. Aku tidak menggubrisnya. Bisnisku lebih penting ketimbang menanyakan apa maksudnya datang sepagi ini di kantorku.

"Pembangunan hotel berbintang di kawasan Indonesia Timur jangan sampai gagal. Kosongkan jadwalku minggu depan. Kita akan mengunjungi pulau yang indah itu."

Aku membicarakan dengan serius tentang rencanaku pada Erwin, sehingga pelayan yang datang membawakan teh untuk isteriku tak kuhiraukan. Sampai insiden kecil itu membuatku terganggu dan setelah meminta asistenku membawa pelayan itu ke klinik, aku memarahi Alisha.

"Jangan terlalu berlebihan Alisha, bagaimana mungkin persoalan sekecil itu sampai membuatmu ingin memecat karyawanku ?"

Aku menarik kursi dan duduk menegur isteriku.

"Kenapa ? apakah pelayan itu sangat penting bagimu ?" Alisha tak mau kalah. Dia masih tetap bersikukuh ingin memecat pelayan itu.

"Apa-apaan kau Alisha, sudah cukup kau mencampuri urusanku sampai sejauh ini. Tapi mulai detik ini jangan pernah sekalipun mencampuri urusanku, apa kau paham ?" aku semakin gusar melihat tingkah isteriku yang keras kepala.

"Sebenarnya ada apa antara kau dengan pelayan itu hah ?"

Lagi-lagi aku harus dengan sabar menahan emosiku.

"Apa maksudmu, aku bahkan tak mengenal pelayan itu !" jawabku sambil menahan diri.

"Benarkah ? bukankah kau sengaja memindahkan gadis itu khusus membersihkan ruanganmu ?" Alisha terlihat semakin berapi api.

"Apa ?" Aku terkejut setengah mati. Jadi pelayan yang tangannya melepuh itu Mita ? Oh Tuhan bagaimana aku sampai tidak mengenalinya ?

Aku mengatupkan rahangku dengan keras, isteriku sudah sangat keterlaluan. Mita pasti tak akan pernah memaafkan aku.

"Siapapun dia, kau tak boleh menghakimi sesuka hatimu. Sekarang keluar dari ruanganku !" Ucapku lalu berdiri membuka pintu.

Alisha menatapku dengan garang. "Jadi benar rupanya, aku akan membuat perhitungan dengan gadis itu !" teriak Alisha histeris.

"Aku tekankan sekali lagi, jangan pernah mencampuri urusanku. Dan aku ingatkan padamu, jangan pernah menyentuh karyawanku sedikitpun. Ini bukan perusahaan ayahmu, apa kau tau itu ? keluar sekarang !"

Alisha membanting kursi dan segera berlalu dari ruanganku dengan kemarahan yang dalam. Aku tak memperdulikannya, selama ini aku terus mengalah karena keluarga maupun dirinya terus mengintimidasiku. Tapi itu dulu, tidak sekarang. Jika bukan karena ibu, aku sudah lama menceraikan dirinya. Lagi-lagi ibuku yang menjadi penghalang akan kebahagiaan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status