"Uhukkk" Raka langsung keselek ludah sendiri. "Hamil bagaimana maksudnya apa Mir?""Loh Raka? Kenapa kamu yang jawab telepon Abian?"Raka langsung menoleh pada Abian. Ekspresi pria itu terlihat kaget dan pucat. Abian tidak terlihat marah, yang menandakan bahwa apa yang dikatakan Miranda kemungkinan besar Abian paham duduk perkaranya."Abian lagi ada rapat Mir! Coba kamu ceritain ke aku apa maksudnya tadi? Kok bisa kamu hamil anaknya Abian?" tanya pria itu tanpa mengindahkan tatapan Abian di sampingnya.Miranda menarik napas panjang sebelum mengucapkan kata-kata yang akan mengubah hidup mereka semua. "Ceritanya panjang Raka, intinya aku hamil anak Abian. Jadi kamu harus menyuruh Abian menemuiku sekarang juga.""Kalau Abian tidak mau gimana Mir?""Kalau tidak, aku akan berbuat nekat!" ucapnya dengan suara serak.Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Abian, yang kebetulan berada di samping Raka, merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Ia segera
Raka tak sabar ingin melihat apa yang ada di ponsel Abian. Dia langsung merebut ponsel itu dengan gerakan cepat.Raka menatap layar ponsel Abian dengan kening berkerut, matanya terbelalak saat melihat foto-foto panas antara dirinya dan Miranda, mantan kekasihnya, yang terpampang jelas di galeri. Kedua tangannya gemetar, tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. "Ini bukan editan, benar-benar terjadi," gumamnya penuh emosi.Abian yang menyadari isi ponselnya telah direbut, langsung berdiri dan mencoba merebut kembali ponselnya, namun Raka lebih sigap. "Miranda pasti sengaja melakukan ini! Aku ... Aku tidak mungkin kayak gini" Abian mengepalkan tangannya sambil mencoba menjelaskan.Raka mengumpat keras, "Kau tahu betul ini bukan editan, dan kau masih berani menyangkalnya, Abian?!" tanya Raka dengan nada tinggi, geram akan perbuatan mantan kekasih Abian yang menjebak Abian.Sementara itu Abian terlihat kalut. Hatinya bimbang, bingung harus berbuat apa. Istrinya yang sedang menunggu d
Abian menatap dalam ke mata Miranda, penuh penyesalan dan keputusasaan. "Aku minta maaf, Miranda," katanya dengan suara serak. "Aku tahu aku salah karena menikah tanpa memberitahumu. Tapi aku hanya ingin menjalani hidup yang baik bersama istriku yang sekarang."Miranda mendengus, wajahnya memerah oleh amarah yang membara. "Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja, Bian? Kamu nggak mau aku dan bayi kamu kenapa-bapa kan," tantangnya, mengepalkan tangannya erat-erat.Sialan! Abian hampir lupa kalau di perut Miranda ada darah dagingnya. Meskipun Abian belum yakin Miranda sungguh hamil atau tidak, tetap saja ia khawatir. "Aku tidak akan membiarkanmu bahagia dengan wanita lain, sementara aku di sini, hancur karena dikhianati!"Abian merasa jantungnya berdegup kencang, khawatir akan apa yang akan dilakukan Miranda selanjutnya. "Miranda, tolong jangan ganggu hubungan kami. Aku sudah memilih jalan ini, dan aku akan menjalaninya. Jadi aku harap tolong mengerti," pinta Abian dengan n
Abian duduk di sebuah meja makan di restoran dengan gelisah, menatap piring berisi steak daging utuh di depannya. Disampingnya, Miranda asyik menyantap hidangan mewah yang ia pesan. Abian tidak dapat melupakan Diana, istrinya, yang sedang menunggunya dan mungkin sedang mencemaskannya..Abian malas sekali mendengar ancaman Miranda bertubi-tubi. Gadis itu lagi-lagi mengatakan akan bunuh diri jika Abian tidak menemani makan siang dengannya. Abian merasa terpaksa, demi menjaga keselamatan Miranda.Miranda melirik Abian yang tidak menyentuh makanannya. "Kenapa kamu tidak makan?" tanya Miranda mulai sewot.Abian tersenyum paksa. "Masih kenyang," jawabnya singkat, padahal pikirannya terus melayang pada Diana yang mungkin sedang cemas menunggu keberadaannya.Tak puas dengan jawaban Abian, Miranda makin kesal saat melihat pria itu masih menatap layar ponselnya. "Matikan ponselmu, aku tidak suka kamu melihat ponsel saat bersama denganku," ujar Miranda tegas, lalu menambahkan ancaman, "Jika tid
Kejadian Abian yang menghilang tanpa kejelasan terlupa begitu saja. Sejak saar itu Diana dan Abian adalah pasangan yang sangat mesra dan saling mencintai. Keduanya masih tinggal bersama di apartemen pusat kota. Malam itu, mereka sedang menikmati waktu berdua di kamar tidur mereka. Diana, yang cantik dan anggun, sedang bercanda dan tertawa bersama Abian, suami tampan dengan senyum yang manis."Mas, kenapa sih kamu selalu bisa membuatku bahagia," ucap Diana sambil tersenyum lebar. Abian pun membalas senyuman Diana, mencium keningnya lembut."Tentu saja, Sayang. Karena kamu adalah alasan kebahagiaanku," jawab Abian dengan suara lembutnya. Mereka pun saling berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain.Namun, tiba-tiba Diana merasa ada yang aneh dengan sikap Abian yang selalu menyembunyikan ponselnya beberapa hari ini.Pria itu terlihat gugup dan sering melirik ponselnya yang berada di atas meja. Diana pun mulai curiga dan bertanya-tanya apa yang disembunyikan Abian darinya."Mas, kam
Abian duduk di sudut kamar, menatap kosong dinding sambil berpikir keras. Kata-kata Diana tadi malam membuatnya gelisah. "Kalau kamu bohongin aku, aku bakalan pergi ninggalin kamu!" Ancaman itu terus terngiang di benaknya.Abian merasa terjepit, di satu sisi dia tak ingin kehilangan Diana yang selama ini menjadi kebahagiaan dan kekuatannya. Namun, di sisi lain, dia masih menjalin hubungan dengan mantannya, Miranda. Abian tahu jika Diana mengetahui hal tersebut, pastilah akan terjadi keretakan dalam hubungan mereka."Aku nggak mau Diana sampai kecewa. Tapi gimana caranya membuat Miranda pergi sedangkan gadis itu saja terus meminta pertanggung jawaban dariku?" gumamnya.Keringat dingin mengucur di kening Abian saat dia membayangkan reaksi Diana jika ia mengakui segalanya. Wajah Diana yang marah dan kecewa, lalu meninggalkan Abian begitu saja. Tapi di sisi lain, rasa bersalah Abian semakin menggerogoti hatinya karena terus menyembunyikan hubungan gelap dengan Miranda.Dalam kebimbangan,
******"Apa baiknya aku periksa sekarang aja? Tapi kalau nggak sesuai ekspektasi gimana?" Gadis itu bergumam sendiri di kamar.Diana merasa ada yang tidak biasa dengan tubuhnya beberapa hari ini. Tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya, dan perutnya kadang terasa mual. Selain itu, bulanannya belum juga datang meskipun sudah terlambat hampir dua minggu. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menghantui pikirannya."Kayaknya sekarang aja deh mumpung aku lagi rumah kakek!"Pagi ini, Diana yang sedang berada di rumah kakek, akhirnya meminta salah satu pelayan untuk membelikan tes kehamilan. Ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengetahui apakah benar dia hamil atau tidak. Setelah pelayan kembali, Diana segera mengunci diri di kamar mandi sambil membawa beberapa alat tes kehamilan.Jantungnya berdegup kencang saat menunggu hasilnya. Satu per satu tes kehamilan menunjukkan garis-garis yang jelas. Semua menunjukkan hasil positif, dua garis. Tidak ada keraguan lagi, Diana hamil! K
Diana duduk di kursi teras, menatap langit yang mulai mendung sambil menggenggam erat ponsel di tangannya. Hari ini seharusnya Diana dan Abian berencana melihat calon kampus impian , namun rencana itu harus batal karena kakek Bram tiba-tiba sangat posesif dan melarang Diana keluar rumah akibat kehamilannya yang baru terungkap. Sekarang di rumah Kakek Bram yang besar ini Diana merasa sangat terkekang dan ingin berbagi kabar gembira tersebut dengan Abian, suaminya.Diana merasa gugup menunggu Abian yang seharusnya sudah datang, namun tak kunjung muncul. Hingga akhirnya ponselnya berbunyi, menampilkan notifikasi pesan suara dari Abian."Hah? Abian? Apa ini..." Jantung Diana berdebar kencang saat membaca isi pesan tersebut. "Diana, maaf, aku nggak bisa datang. Mendadak ada urusan mendesak di kantor."Hati Diana hancur, rasa kecewa yang tak terkendali meluap di benaknya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, menahan rasa sedih yang amat mendalam.Tak lama kemudian ponsel Diana ber