Share

Gelang Pembawa Sial

Reza membuang napasnya dengan kasar, saat melihat keadaan halaman belakang yang sangat berantakan. 

Rumput yang sudah tinggi dan dedaunan yang berserakan di tanah membuat keadaan di sana sangat kotor, berantakan, dan sudah dipastikan dialah yang harus membersihkan semuanya.

Namun, mengeluh pun dia tak bisa karena memang pria tampan itu dituntut untuk segala bisa. Reza tengah memotong rerumputan, mengumpulkannya, dan memasukannya ke dalam lubang sampah yang nantinya akan dibakar. Keadaannya saat ini sangat kotor dan bau asap.

Sesekali pria berambut gondrong sebahu itu mengusap keringat di wajahnya dengan tangannya yang kotor, yang mana membuat wajah tampannya itu ikut kotor juga. "Heh, kalau anak saya telepon itu diangkat. Kamu ngapain aja sih, dari tadi Raysa telepon kamu!" teriak Marsha.

Reza sontak mendongak, dia kemudian bangun sembari merogoh ponselnya yang ada di saku celananya. Dia memang mematikan dering ponsel, membuat panggilan dari Raysa tidak didengarnya.

"Ada 'kan? Dasar suami gak berguna, istri kamu itu butuh bantuan kamu. Cepat angkat teleponnya!"

Reza tak menimpali ucapan mertuanya itu, dia hanya menurut saja dan menghubungi Raysa kembali. Saat panggilan itu terhubung, Raysa langsung berteriak dengan kasar pada suaminya.

[Heh, dasar suami gak tahu diri. Kamu lagi ngapain sih, aku dari tadi nelepon terus, loh. Kalau aku telepon itu angkat, gak ada kerjaan tapi so sibuk banget!] teriaknya tanpa mengatakan salam atau bertanya apa pun pada suaminya.

"Aku lagi beresin halaman belakang. Kamu kenapa telepon?"

[Pake nanya kenapa lagi, kamu gak baca pesan aku juga, hah? File penting ketinggalan di rumah. Kamu ngapain aja sih, sampai berkas penting aja gak masuk ke tas aku.]

"Sa, aku selama ini gak kamu izinkan buat sentuh barang kamu. Apalagi dokumen penting milik perusahaan, aku—"

[Jangan banyak omong, kalau bukan salah kamu terus ini salah siapa? Kalau tahu ketinggalan harusnya kamu lekas kabari aku. Kamu mau salahi aku gitu? Dasar gak tau diri, cepat bawa dokumen itu ke sini sebelum aku beneran murka sama kamu!] teriaknya lagi dan lagi.

Reza mencuci tangannya dan hendak masuk rumah, tetapi dia ditahan oleh mertuanya.

"Mau ngapain kamu?"

"Mau ganti pakaian dulu Ma, soalnya—"

"Cepat sekarang. Ini berkas penting, kalau sampai kerjaan Raysa terganggu karena kamu, aku akan minta ganti rugi!" ucapnya sembari menyerahkan dokumen itu dengan kasar.

Reza tak banyak bicara, untungnya dia mengendarai motor, jadinya Reza tak terjebak macet. Dia bisa sampai ke tempat Raysa dengan cepat.

Di sisi lain, Raysa sudah menunggu dengan perasaan gelisah dan marah. Dia mondar-mandir seperti setrikaan. Begitu melihat Reza berjalan di lorong, Raysa langsung menghampiri suaminya dengan mulut yang sudah siap mengutuk.

Dari kejauhan mata, Reza melihat seseorang seperti mengamatinya. Dia hendak pergi ke sana untuk mengecek, tetapi tangannya tiba-tiba ditarik Raysa.

"Mau ke mana sih, udah tahu aku butuh berkas ini malah mau keluyuran. Ngapain hah?"

"Tadi itu ada yang liatin kita, dia kayak bawa kamera sama—"

Raysa berkacak pinggang dan menatap Reza dengan tajam. "Mau alasan apalagi hah, kamu ini kerjaannya bikin masalah terus. Sana pulang!"

Tanpa melakukan pembelaan, Reza pun balik badan untuk kembali ke rumah. Dia berjalan gontai, sembari melihat-lihat suasana di mall. Pusat perbelanjaan masih ramai, di tengah gencarnya toko online.

Tubuh Reza tersenggol saat ada seseorang yang secara tiba-tiba menabraknya. Dia hendak marah, tetapi terlihat gadis dengan pakaian SPG itu terburu-buru. Sosoknya tampak tersenyum dengan lebar dan mengangguk kecil, seolah meminta maaf.

Mungkin dia memang tengah buru-buru, jadinya tidak melihat jalan. Reza kembali membenarkan topinya, percuma juga dia meminta gadis itu meminta maaf, karena dari kejauhan dia melihat bagaimana gadis itu berjalan cepat menuruni eskalator yang tengah bergerak turun.

"Kenapa orang-orang selalu terburu-buru," ucapnya.

Reza turun ke parkiran untuk pulang, baru saja dia mengenakan helm seseorang menepuk pundaknya. "Mas, Pak, tolongin saya ya, saya harus buru-buru ngambil barang ke gudang. Stok di toko saya habis dan saya harus segera ambil!" ucapnya sembari menarik-narik pakaian Reza.

Reza mengerutkan keningnya.

"Maaf, saya harus pulang da—"

"Saya bayar kok, Mas. Beneran loh, ini lagi urgent banget. Pokonya anterin saya, gak jauh dari sini. Tolongin saya kali ini."

"Kalau gitu kamu pesan taksi atau ojek online aja. Saya beneran harus pulang, lagian is--.” Belum sempat Reza menjelaskan, gadis itu sudah naik ke motor Reza.

Reza enggan pergi awalnya, dia tidak pernah membonceng perempuan lain selain istrinya. 

Akan tetapi, ada rasa iba juga pada gadis yang kini duduk di jok motornya. Alhasil Reza menurut saja dengan memberikan helm satunya lagi. "Makasih banyak ya, Mas. Tolong ya, soalnya saya beneran lagi buru-buru banget. Jika saya naik taxi pasti terjebak macet."

Tak ada jawaban, Reza hanya bungkam saja sembari melajukan kendaraan roda duanya. Beberapa kali gadis itu menepuk pundak Reza memintanya untuk mengebut di jalanan.

"Ya Allah, jangan sampai aku dipecat soalnya ini salah si Mas ojek ini bukan salah aku!" mohonnya.

Reza hanya menggelengkan kepalanya saja. Gadis itu langsung turun begitu sampai di tempat tujuannya. Dia langsung beranjak dari hadapan Reza. "Eh, Mbak!"

"Kenapa?"

"Ongkosnya, ya?" tanya gadis itu sembari mulai meraba-raba tubuhnya yang ternyata dia tidak membawa uang sepeser pun

Reza masih menatap tanpa mengatakan apa pun.

"Sebentar ya, kayaknya tadi bawa uang kok, kok sekarang malah ilang," ucapnya lagi sembari terus mencari uang di saku rok dan juga pakaiannya.

Reza mengulurkan tangannya, membuat gadis dengan nama Via itu tersenyum hampa.

"Mas, ternyata saya gak bawa ongkos. Gimana kalau nanti kita ketemu lagi, terus—"

"Saya cuma butuh helmnya bukan ongkos, lagian saya bukan tukang ojek!" timpal Reza yang mana itu membuat via membulatkan mata.

Dia tersenyum kikuk kala tangannya menyentuh helm yang masih ada di kepalanya. Dia menyerahkan helm itu dengan malu-malu, tetapi saat matanya menemukan kondisi kepalanya di spion motor membuatnya malah membulatkan mata.

"Apa-apaan ini, kenapa malah berantakan. Astaghfirullah, ini juga sanggulnya kenapa malah jadi ... argh, kenapa hari ini aku sial banget."

"Demi apa pun, aku tadi bawa uang cuma gak tau kenapa malah ilang. Mungkin gak kebawa kali ya, Mas. Aduh, gimana dong?"

Tampak jelas kalau Via merasa bersalah, tetapi Reza bersikap biasa saja. Lagipula dia tidak sedang menjadi tukang ojek, dia pun ada di sana karena dipaksa. "Gak apa-apa, Mbak. Saya permisi!"

"Eh, mana bisa kayak gitu. Tunggu dulu, jangan ke mana-mana, aku mikir dulu sebentar!"

"Mbak, saya sudah harus pulang," ucap Reza.

"Oh iya, bawa ini aja. Sebagai jaminan, besok kita ketemu di toko Lamria di mall yang tadi. Jam segini lagi, nanti aku bayar. Ini bawa dulu, ya!" ucapnya memaksa sembari menyerahkan gelang yang dia kenakan.

Reza sudah menolak, tetapi gadis itu tetap memaksa dan via pun lekas  pergi dari sana setelah memberikan gelangnya sembari melambaikan tangan dan Reza juga pergi, dia tidak mau berlama-lama di sana.

***

Raysa masuk ke kamar sembari melempar tas kerjanya. Dia langsung berbaring di tempat tidur. "Mas, bawakan aku minuman dong.”

Reza yang kebetulan tengah duduk di kamar pun bangun. Dia pun beranjak pergi untuk membuat pesanan istrinya. Raysa membuka blazer yang dikenakannya, tetapi matanya memicing, dia melihat sesuatu yang baru di atas meja riasnya.

Raysa mendekat dan dia mengambil benda berkilau di sana. "Gelang siapa ini?" tanyanya.

Raysa tersenyum mengejek, karena dia tahu itu pasti gelang yang dibeli Reza untuknya.

"Astaga, dia pasti beli gelang ini di pasar loak atau di toko mainan. Murahan banget, bisa-bisanya dengan PD dia beli ini buatku," ucap Raysa mengejek.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status