Reza meminta dua pria misterius itu menjauh dari keramaian dan dari kejauhan Raysa melihatnya. Reza kini berada di parkiran, masih menatap penasaran dengan dua orang yang kini berada di hadapannya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun tidak tahu siapa mereka.
"Tunggu, sepertinya kalian salah orang. Saya benar-benar tidak mengenal kalian berdua. Apa kalian mengenaliku?" tanyanya lagi. "Tentu saja, Tuan Muda. Nama asli Anda Elreza Arkha Wijaya!" jawabnya sembari sedikit menunduk memberi hormat pada Elreza. “Tuan, kami sudah mencari Anda selama ini dan beruntung bisa bertemu Anda di sini." Kalimat itu membuat Elreza mengerutkan keningnya, dia mundur beberapa langkah untuk mengamati kembali siapa dua orang yang kini berbicara dengannya. Elreza masih berdiri dengan dompet milik istrinya di tangan, dia dibuat bergeming di tempat dengan banyaknya ingatan di masa lalunya. Tentang kecelakaan dua puluh tahun yang lalu, tentang dia yang kehilangan separuh ingatannya, tentang perempuan yang menyelamatkan nyawanya, dan tentu saja tentang dia yang melamar Raysa karena janjinya. Akan tetapi, El tak mengingat pasti siapa sebenarnya dirinya dan kenapa mereka semua mencarinya. Elreza kini menatap dua orang itu, yang terlihat memang bukan orang sembarangan. Postur tubuh mereka sangat tegap dan juga berotot, menunjukkan kalau mereka memang dua orang yang terlatih untuk melindungi seseorang. "Kami berdua staf keamanan di perusahaan keluarga Anda, Tuan. Kami benar-benar yakin kalau Anda adalah Tuan Muda Elreza yang selama ini kami cari." "Sebutkan sesuatu yang bisa membuat saya percaya!" pintanya yang mana mata Elreza kembali memicing, menunggu jawaban keduanya. Mereka saling memandang untuk beberapa waktu, sampai akhirnya dua orang itu menunjukkan sesuatu yang membuat Elreza terkejut. Tentu saja itu foto dirinya dan kedua orangtuanya. Itu juga foto yang diambil di kediaman mewah mereka, tepatnya rumah yang bahkan sudah tak pernah Elreza singgahi lagi. "Kami sudah mencari Anda selama ini, dan ini saatnya Anda kembali ke Aru Malaca dan bungkam mereka semua yang sudah menganggap remeh Anda," ucap salah satunya. “Aru Malaca!” “Iya Tuan. Tuan harus ikut kami ke Aru Malaca untuk menerima warisan dan mengelola perusahaan. Hanya saja, Anda sendirian yang harus pergi ke sana.” "Aku tidak bisa kembali, Aku harus menjaga Raysa, aku—" "Tolong pikirkan baik-baik Tuan, di sani tidak ada yang menghargai Anda apalagi menghormati Anda. Tidak sepantasnya mereka memperlakukan Anda seperti ini," jelas yang lainnya berusaha mempengaruhi pemikiran Elreza. El mengerti, dia paham bagaimana sakitnya menjadi dia yang sekarang. Tanpa identitas yang pasti, tanpa keluarga, tanpa kekayaan, semuanya memang mempersulitnya. Namun, dia tidak mungkin pergi meninggal Raysa sendiri karena perempuan itu adalah tanggungjawabnya. Kepala El bergerak, dia menggelengkan kepalanya menolak keinginan dua orang misterius itu. El masih ragu dengan semua ucapanya. Saat ini, setidaknya sekarang dia tidak ingin kembali. Elreza ingin tetap di samping Raysa apa pun yang terjadi. "Siapa kalian?" ujar seseorang dengan suara yang nyaring. Reza tahu siapa dia, itulah kenapa dia menggerakkan matanya meminta kedua pria itu untuk segera pergi. Mereka mengerti dengan isyarat El, tapi semua terlambat Raysa sudah menangkap basah Reza. Raysa datang sembari memicingkan matanya, dia kini melipat kedua tangannya di dada dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Elreza yang hanya diam tanpa ekspresi. “Siapa kalian?” bentak Raysa. “Kami--,” “Pasti kalian rentenir bukan, cepat jawab!” teriak Raysa menyela pembicaraan. Reza memberi isyarat agar kedua pria itu mengiyakan perkataan Raysa dan segera pergi. “Iya Bu, suami ibu meminjam uang kepada bos kami. "Dasar gak tau diri, kamu pinjam uang ke rentenir. Berapa banyak kamu pinjam, sampai dia mencarimu kesini," tuduhnya. Reza hanya terdiam ketika tangan Raysa mulai mencubit tubuhnya. Itulah kebiasaan Raysa jika kesal. “Kalian tahu Reza itu gak punya uang. Jadi kalian gak perlu ngasih pinjaman sama dia. Berapa hutang dia!” teriak Raysa. “Sudah Sa gak enak didengar orang banyak,” sahut Reza “Kalian berdua pergi!” perintah Reza yang dibalas anggukan. Raysa menggigit bibirnya sendiri, dia kembali menatap Reza yang hanya diam saja. Wanita itu mengusap wajahnya dengan kasar, dia kembali menatap suaminya yang hanya berdiri. Bahkan kini Reza terlihat menunjukkan senyuman kecil di wajah tampannya itu, membuat Raysa seketika mengeluh dengan frustrasi. Tak ada kalimat merayu, membela diri, atau semacamnya. Reza benar-benar membiarkan Raysa berasumsi sendiri tanpa berniat membenarkan. Reza membukakan pintu dan kemudian mempersilakan istrinya untuk duduk. Dia juga masuk ke mobil, kemudian mengenakan sabuk pengaman untuk Raysa. "Kita mau langsung pulang atau mau ada yang kamu beli dulu, Sa?" "Emang kamu punya uang? Enggak 'kan jadi jangan banyak tanya, kita langsung pulang aja. Masakin aku, aku udah lapar banget!" ucapnya yang mana kini malah menurunkan posisi kursi dan Raysa sedikit mengubah posisi duduknya menjadi miring ke arah pintu mobil. Reza bergegas ke dapur setibanya di rumah, sementara Raysa pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Baru saja selesai dengan satu masalah, kini Reza dihadapkan dengan banyaknya pasang mata yang tengah menatapnya dengan sinis. Raysa yang baru saja keluar dari kamarnya dan langsung bergabung dengan saudari juga ibunya, sempat melirik Reza sebentar, hanya untuk memastikan, tetapi kemudian dia melangkah ke sisi lain dengan acuhnya. "Raysa, bagaimana produknya, sold out kah?” Raysa mengangguk dengan bangganya pada diri sendiri. "Terus-terus, perusahaan mana aja yang ngajuin . Raysa pun tersadar dan dia kembali menceritakan tentang produk barunya itu. Dia memang selalu merasa bangga pada dirinya sendiri. Lupa dengan siapa yang terus mendukungnya di belakang sana. Reza diam sejenak dari aktivitasnya, dia mengamati Raysa dari kejauhan, sembari mendengar percakapan mereka semua yang tak jauh dari merendahkannya. Seketika ingatan Reza pun kembali lagi pada kejadian itu, di mana dia mengalami kecelakaan, saat dia masih berusia 10 tahun. Kepalanya terasa pening dengan banyak luka di tubuhnya, tetapi samar-samar dia melihat sosok perempuan yang ikut khawatir dengan kondisinya. Bahkan beberapa kali dia mengelus tangannya, seolah menguatkan. Reza tak lagi mengingat apa pun hari itu, dia hanya ingat ada anak perempuan yang menolongnya, siapa lagi kalau bukan istrinya, Raysa. Tiba-tiba lap meja terlempar ke arahnya yang membuat ingatan Reza di beberapa tahun ke belakang buyar seketika. "Kenapa diem aja, ha? Mikirin apa kamu, saham perusahaan lain yang lagi naik, atau lagi mikir mau bikin usaha apa, atau lagi bayangin jadi seorang jutawan? Mimpi!" teriak Marsya sembari menatapnya dengan sinis. Reza mengambil lap yang ada di dadanya, dia hendak berbalik lagi untuk fokus membuat makanan. Namun, aktivitasnya terhenti saat telinganya mendengar sesuatu yang membuat tubuhnya bergeming. "Ceraikan saja Sa, Mami udah gak tahan punya menantu gak berguna kayak dia!" "Bener tuh, kamu mau cari cowok yang kayak gimana pun sekarang ini pasti bisa," timpal adik iparnya, Siska. Reza dengan jelas melihat Raysa tersenyum saja, tak membantah, apalagi mencoba membelanya. “Ma, tadi aku ketemu wanita jalang itu!” sahut Raysa yang membuat wajah Marsya seperti tak suka.Reza membuang napasnya dengan kasar, saat melihat keadaan halaman belakang yang sangat berantakan. Rumput yang sudah tinggi dan dedaunan yang berserakan di tanah membuat keadaan di sana sangat kotor, berantakan, dan sudah dipastikan dialah yang harus membersihkan semuanya.Namun, mengeluh pun dia tak bisa karena memang pria tampan itu dituntut untuk segala bisa. Reza tengah memotong rerumputan, mengumpulkannya, dan memasukannya ke dalam lubang sampah yang nantinya akan dibakar. Keadaannya saat ini sangat kotor dan bau asap.Sesekali pria berambut gondrong sebahu itu mengusap keringat di wajahnya dengan tangannya yang kotor, yang mana membuat wajah tampannya itu ikut kotor juga. "Heh, kalau anak saya telepon itu diangkat. Kamu ngapain aja sih, dari tadi Raysa telepon kamu!" teriak Marsha.Reza sontak mendongak, dia kemudian bangun sembari merogoh ponselnya yang ada di saku celananya. Dia memang mematikan dering ponsel, membuat panggilan dari Raysa tidak didengarnya."Ada 'kan? Dasar s
Senyum merekah saat kedua mata menangkap pemandangan indah di pantulan cermin. Wajah cantik dengan warna kulit khas wanita Indonesia. Terlebih bibir itu tak pernah absen tersenyum, pada siapa pun juga dia selalu bersikap ramah. Membuatnya semakin terlihat indahTubuh tinggi semampai itu sudah dibalut pakaian kerja, khas seorang SPG kecantikan. Rambut panjangnya dicepol dan dipakaikan harnet pita berwarna hitam merah muda. Cantik. Itulah kata yang menggambarkan seorang Riviya Pandhita.High heels dia kenakan begitu keluar dari kamar kosnya, sembari mengunci pintu dia menundukkan kepalanya memberi salam pada setiap orang yang melihatnya. “Selamat pagi, selamat beraktifitas!”“Via mau berangkat ke mall?”“Iya, Mbak Naura mau jaga toko juga di mall?” tanyanya balik dengan senyum yang masih merekah indah.Percakapan singkat antara sesama penghuni kos-kosan. Via memang terkenal ramah dan sangat murah senyum, dia juga merupakan lulusan sarjana yang nasibnya sedikit kurang baik. Di mana buka
Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu."Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar.Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza."Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi.Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau m
Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!""Ke-kenapa?""Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi.Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini.Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing."Aku sudah bangun re
Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu