Senyuman di wajah tampan Reza Pratama, pria tinggi berhidung mancung yang saat ini berusia 30 tahun tak pernah luntur, sekalipun gundukan ‘luka’ tumbuh di tenggorokannya, yang kini perlahan membuatnya sesak.
Dia masih berusaha bersikap manis, sekalipun hatinya sudah babak belur karena sikap istri dan keluarganya. Seperti halnya saat ini, dia hanya berdiri dengan senyum yang mulai hampa, kala istrinya berdandan dengan cantik. Bukan tak senang, hanya saja penampilan cantik itu ditunjukkan sang istri untuk orang lain, bukan dirinya. "Sa, aku temenin kamu, ya!" Raysa melirik Reza dengan ekor matanya, kemudian dia memutar bola matanya dengan jengah. Sudah bosan mendengar ucapan Reza yang menurutnya tidak masuk diakal. "Kamu mau mempermalukan aku atau gimana sih. Jangan menghayal, kamu itu gak sekelas sama kita!" "Tapi, bukankah orang lain ditemani suaminya. Jadi—" Belum sempat Reza menyelesaikan kalimatnya, Rasya langsung keluar dari kamar sembari membawa tas branded berwarna hitam metalik. Disusul Reza yang kini berjalan cepat, berusaha mengimbangi langkah sang istri di anak tangga. Reza bukan siapa-siapa, dia hanya seorang suami yang menghabiskan waktunya di rumah. Tak memiliki pekerjaan, hanya menumpang hidup pada istrinya yang merupakan seorang pebisnis sukses di bidang kecantikan. Itulah kenapa dia diremehkan karena memang selama menikah, dia hanya bergantung pada Raysa Aulya Widya saja. Di rumah besar itu hanya ada satu asisten rumah tangga dan satu sopir pribadi untuk mertuanya, hanya saja semua pekerjaan rumah harus Reza yang kerjakan. Namun, tetap saja di mata semua orang dia hanyalah laki-laki tak tahu diri yang malas bekerja dan tak memiliki masa depan. "Ada apalagi sih, Sa?" tanya seorang wanita tua yang sekarang tinggal bersama dengan Raysa. "Gak tau tuh, pengen banget ikut. Dia gak ngaca gimana penampilannya," gerutu Raysa sembari melirik Reza yang berpenampilan biasa. "Daripada ikut Raysa ke pertemuan penting, mendingan cari kerja sana! Di rumah terus gak malu kamu, Za?" ujar wanita yang terlihat lebih tua di antara yang lainnya. Reza tak menanggapi itu, dia bersikap biasa saja seolah tak mendengar ucapan Marsya. Wanita itu adalah mertuanya. Hanya di awal pernikahan saja Marsya memperlakukan Reza dengan baik, setelahnya dia berubah karena tahu kalau Reza tak memiliki uang lagi. Bukan tak ingin bekerja, Reza sudah sering melamar pekerjaan di luar, tetapi ujungnya Rasya akan kembali menyeretnya menjadi suami yang hanya tinggal di rumah dengan alasan pekerjaannya terlalu rendahan. Sebenarnya bukan hanya hari ini, setiap hari pun Reza terus mendapatkan banyak protes dan komentar tentang semua hal yang dilakukannya. Semuanya salah dan semuanya memang tak layak di mata keluarga istrinya itu. Entah terbuat dari apa hatinya, yang jelas dia sangat sabar menghadapi mereka semua. Keluarga Raysa benar-benar menganggapnya sebagai menantu tak berguna. Perusahaan kecantikan milik Raysa sangat terkenal. Banyak selebriti papan atas yang dijadikan brand ambassador olehnya, membuat popularitas perusahaannya semakin baik di kalangan masyarakat. Kosmetiknya benar-benar laku di pasaran. Itulah kenapa dia sangat besar kepala, menganggap kalau semua yang dimilikinya atas kerja kerasnya sendiri. Raysa lupa kalau itu karena campur tangan Reza juga. "Mas Reza, kamu mau ikut sama aku?" Sontak Reza langsung berbalik menatap istrinya dengan senyuman mengembang. Dia mencintai Raysa, sangat mencintai perempuan yang sudah menyelamatkan hidupnya puluhan tahun lalu itu. Jadi apa pun itu yang membuat Raysa bahagia, Reza akan berusaha mewujudkannya. "Tapi kamu cuma boleh nganterin sampai parkiran aja. Kamu jadi sopir aku buat hari ini.” Reza membersihkan tangannya, kemudian berjalan di belakang Raysa. Keduanya benar-benar sangat berbeda, terlihat seperti si miskin dan si kaya. "Bu, padahal Kak Raysa bisa punya suami yang jauh lebih ganteng dan kaya dari kita. Kenapa masih mempertahankan laki-laki miskin yang gak tau diri itu, sih. Beban tahu gak!" ucap Andien yang merupakan adik kandung Raysa. Setiap hari dia berperan sebagai seseorang yang tuna rungu, mencoba menepis semua ucapan yang menyakitkan. Reza di sana hanya untuk Raysa, bukan yang lainnya lagi. "Aku senang kalau akhirnya kamu sadar kalau ini semua terjadi karena—" "Karena apa? Kamu?" sahut Raysa yang kini malah tertawa. Dia menatap Reza yang terlihat kembali mengulum senyumannya. Raysa menggelengkan kepalanya, dia tidak habis pikir kalau sampai Reza merasa dirinya terlibat dalam pencapaiannya saat ini. Raysa menyentuh tangan Reza dengan senyuman manisnya, tetapi kemudian dia memicingkan matanya dengan menunjukkan senyuman picik. "Aku gak akan pernah merasa hutang budi sama kamu Mas, aku bisa berada di titik ini karena kemampuanku sendiri. Lagian itu uang mahar yang kamu kasih ke aku, 'kan aku gak pernah memintanya. Jadi jangan merasa kamu berkontribusi dalam kesuksesan aku ini!" Ucapan Raysa seperti belati yang menghunus tepat di jantung. Menyakitkan. Sesak dan membuatnya perlahan mati. Harusnya demikian, faktanya Reza hanya tersenyum hampa kemudian memalingkan wajahnya. Dia berusaha mengontrol dirinya sendiri dan kembali memilih bungkam. Reza turun lebih dulu, dia membukakan pintu untuk Raysa. Mereka kini berada di parkiran sebuah pusat perbelanjaan, di mana salah satu brand milik Raysa diluncurkan hari ini. Dia mengadakan acara di dalam bangunan itu. "Jangan ikuti aku, kamu cukup menunggu di sini dan ...." "Bu Raysa!" panggil seseorang yang kini berjalan mendekat, sontak itu membuat Raysa berbalik dan melemparkan senyuman dengan manis. Sosok itu datang dan mengulurkan tangannya, yang dengan sukarela membuat Raysa menerima jabatan tangan itu. "Pak Ardian?" tanyanya. "Benar sekali. Senang bisa bertemu di sini, bagaimana kabarnya, Bu Raysa?" "Alhamdulillah baik. Terima kasih sudah mau datang ke acara saya," ucap Raysa yang masih menguatkan senyumannya agar tak luntur. Namun, pandangan Ardian kini tertuju pada sosok di belakang Raysa. Dia menunjuknya dan kemudian bertanya, "Dia pasti suaminya Bu Raysa, ya?" Saat Reza akan mengulurkan tangannya dengan cepat Raysa menyela dengan membantah tuduhan kolega bisnisnya itu. "Gak mungkin dong, dia ini cuma sopir saya." "Cepat masuk!" ucap Raysa mengusir Reza. Reza mengangguk kecil, ada rasa kecewa yang tak bisa dijelaskan. Namun, lagi-lagi dia juga tak bisa membantah ucapan Raysa karena tahu saat ini dia hanya beban bagi istrinya itu. Tidak diusir Raysa saja sudah untung baginya, karena bagaimanapun Reza berhutang nyawa padanya. Raysa dan rekan bisnisnya itu masuk ke dalam gedung tersebut, saat Reza masuk ke mobil dia menemukan dompet istrinya di dalam sana. Dia langsung membawanya dan berniat mengantarkan dompet itu, siapa tahu Raysa akan mencarinya nanti. Kaki Reza memasuki pusat perbelanjaan terbesar di ibukota Harua, dia tersenyum puas saat melihat isinya. Dulu dia pernah bermimpi membangun pusat perbelanjaan, mengisinya dengan berbagai store dari brand yang dia sukai. Kini semua hanya tinggal angan saja. "Raysa," gumam Reza. Saat hendak memasuki tempat acara Raysa berada, dua orang berpakaian serba hitam menahannya. Mereka menatap Reza dengan lekat, seolah tengah mengamati sesuatu dari wajahnya. "Kalian mau apa? Kalian siapa?" tanya Reza saat dua orang itu menarik tangannya. "Jangan takut Tuan Muda, kami anak buah dari kedua orang tua Anda. Kami selama ini sudah mencari keberadaan Anda, Tuan Muda El!" ucapnya lagi yang membuat Reza mengerutkan keningnya karena tak mengerti.Reza meminta dua pria misterius itu menjauh dari keramaian dan dari kejauhan Raysa melihatnya. Reza kini berada di parkiran, masih menatap penasaran dengan dua orang yang kini berada di hadapannya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun tidak tahu siapa mereka."Tunggu, sepertinya kalian salah orang. Saya benar-benar tidak mengenal kalian berdua. Apa kalian mengenaliku?" tanyanya lagi."Tentu saja, Tuan Muda. Nama asli Anda Elreza Arkha Wijaya!" jawabnya sembari sedikit menunduk memberi hormat pada Elreza.“Tuan, kami sudah mencari Anda selama ini dan beruntung bisa bertemu Anda di sini." Kalimat itu membuat Elreza mengerutkan keningnya, dia mundur beberapa langkah untuk mengamati kembali siapa dua orang yang kini berbicara dengannya.Elreza masih berdiri dengan dompet milik istrinya di tangan, dia dibuat bergeming di tempat dengan banyaknya ingatan di masa lalunya. Tentang kecelakaan dua puluh tahun yang lalu, tentang dia yang kehilangan separuh ingatannya, tentang perempuan yang meny
Reza membuang napasnya dengan kasar, saat melihat keadaan halaman belakang yang sangat berantakan. Rumput yang sudah tinggi dan dedaunan yang berserakan di tanah membuat keadaan di sana sangat kotor, berantakan, dan sudah dipastikan dialah yang harus membersihkan semuanya.Namun, mengeluh pun dia tak bisa karena memang pria tampan itu dituntut untuk segala bisa. Reza tengah memotong rerumputan, mengumpulkannya, dan memasukannya ke dalam lubang sampah yang nantinya akan dibakar. Keadaannya saat ini sangat kotor dan bau asap.Sesekali pria berambut gondrong sebahu itu mengusap keringat di wajahnya dengan tangannya yang kotor, yang mana membuat wajah tampannya itu ikut kotor juga. "Heh, kalau anak saya telepon itu diangkat. Kamu ngapain aja sih, dari tadi Raysa telepon kamu!" teriak Marsha.Reza sontak mendongak, dia kemudian bangun sembari merogoh ponselnya yang ada di saku celananya. Dia memang mematikan dering ponsel, membuat panggilan dari Raysa tidak didengarnya."Ada 'kan? Dasar s
Senyum merekah saat kedua mata menangkap pemandangan indah di pantulan cermin. Wajah cantik dengan warna kulit khas wanita Indonesia. Terlebih bibir itu tak pernah absen tersenyum, pada siapa pun juga dia selalu bersikap ramah. Membuatnya semakin terlihat indahTubuh tinggi semampai itu sudah dibalut pakaian kerja, khas seorang SPG kecantikan. Rambut panjangnya dicepol dan dipakaikan harnet pita berwarna hitam merah muda. Cantik. Itulah kata yang menggambarkan seorang Riviya Pandhita.High heels dia kenakan begitu keluar dari kamar kosnya, sembari mengunci pintu dia menundukkan kepalanya memberi salam pada setiap orang yang melihatnya. “Selamat pagi, selamat beraktifitas!”“Via mau berangkat ke mall?”“Iya, Mbak Naura mau jaga toko juga di mall?” tanyanya balik dengan senyum yang masih merekah indah.Percakapan singkat antara sesama penghuni kos-kosan. Via memang terkenal ramah dan sangat murah senyum, dia juga merupakan lulusan sarjana yang nasibnya sedikit kurang baik. Di mana buka
Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu."Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar.Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza."Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi.Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau m
Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!""Ke-kenapa?""Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi.Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini.Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing."Aku sudah bangun re
Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah