“Kalau ingin bermimpi itu jangan tinggi-tinggi kali, entar kalau jatuh ke timpa tangga, kan sakit!” aku berucap dengan nada yang begitu menjengkelkan.“Kalau mau rumah mewah itu kerja cari uang, bukan kerja merusak rumah tangga orang! Jangan pernah bermimpi untuk menginjakkan kaki di rumahku, karena rumah itu akan selamanya menjadi milikku,” tegasku. “Hal itu juga berlaku untuk kamu, Mas,” imbuhku lagi.“Ibu-ibu dan bapak-bapak, kalian menjadi saksi atas perceraian aku dengan mas Alfi. Mantan suamiku sudah menalak aku di pagi yang berbahagia ini, terima kasih semuanya,” ucapku dengan sedikit menundukkan kepala ke arah para warga yang sedang menonton acara live kami di pagi ini.“kami akan menjadi saksi dengan sukarela, karena pelakor memang tidak bisa dibiarkan,” jawab salah satu ibu-ibu. Terpancar jelas aura kemarahan dari dirinya, mungkin beliau juga salah satu korban sepertiku. Hanya orang yang pernah mengalami yang tahu bagaimana sakitnya.“Setuju Bu Susi. Pelakor memang harus
Tersadar dari lamunan dengan jentikan tangan Mas Fahri yang berada tepat di depan wajahku.Aku gelagapan. Mencoba melemparkan senyuman dan mengatur ekspresi senormal mungkin.“Aku baik-baik saja. Kebetulan sekarang aku lagi menjalankan program diet makanya badan ini terlihat jompo.” Akhirnya alasan itulah yang lolos dari bibir mungilku.“Badan kurus keronta seperti tiang listrik ini masih menjalankan diet? Ada-ada saja kamu ini!” Komentar Mas Farid menanggapi. Seolah mengerti tentang aku yang tak ingin berbagi cerita dengannya, pria itu balik kanan dan berlalu mencari tempat yang nyaman untuknya.Aku hanya tersenyum getir melihat punggung tegap Mas Farid dari belakang.Bodo amad dia mau percaya atau enggak. Lagian itu privasiku. Gerakan tanganku terhenti ketika aku mendengar krasak krusuk dari sebuah meja pelangganku.Wanita dengan perut buncit dan masker yang masih melekat di wajahnya terlihat sedang marah-marah. Ia memaki hidangan di hadapannya.“Nasi apaan ini? Kenapa ada b
Aku sengaja tidak menanggapi ucapan pelakor tidak tahu diri itu, karena aku lebih tertarik dengan mantan suamiku.Hai mantan suami apa kabar? Kapan kamu akan mengurus surat cerai kita? Apa kamu tidak ingin memperistri wanita perusak rumah tangga kita secara negara? Atau jangan-jangan Kamu memang tidak pernah berniat untuk melakukannya? Wajar sih kamu seperti itu, karena wanita murahan seperti Rubah betina di sampingmu itu tidak pantas mendapatkan surat nikah secara negara,” ucapku penuh hinaan.Semua orang yang mengenalku menutup mulut mereka dengan tangan. Mereka tidak pernah melihatku searogan ini sebelumnya. Aku yang selalu bersikap lemah lembut dan penuh perhatian, juga selalu memperlakukan orang lain sebagaimana manusia tanpa pernah menghina mereka.Bahkan aku sering memberikan makanan kepada sesama penjual di rumah sakit ini sehingga Kami semua saling mengenal.Pasti mereka tidak menyangka diriku ternyata bisa bersikap arogan juga.“Tolong istrinya dikondisikan wahai mantan
Tidak semudah itu wahai mantan suami,” jawabku dengan nada yang menjengkelkan.“Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapinya. Bahkan aku tidak mempermasalahkan perselingkuhan kalian ke ranah hukum.” Aku menyunggingkan senyuman ke arah mantan suamiku dan juga wanita yang sudah merusak rumah tanggaku.“aku berbaik hati, tidak menjebloskan kalian ke penjara, karena kasihan terhadap bayi yang ada di kandungan istrimu itu. Namun, sepertinya niat baikku disalah artikan. Aku diam, dikira aku bisa diinjak-injak. Kalian akan melihat siapa Putri sesungguhnya. Bawa istrimu pergi dan kita akan bertemu kembali di pengadilan nanti. Sudah cukup aku bersabar atas perbuatan kalian,” ucapku panjang lebar.“ini negeri wakada, lu punya uang lu berkuasa,” sargah Mutia.Wanita jahanam itu pasti mengira jika aku tidak memiliki uang, karena selama Mas Alfi menceraikan Aku, Ia tidak pernah memberikan aku uang sepeser pun. Terlebih kini lahan kami sudah beralih ke atas namanya. Wanita jahanam itu lupa jik
Harga DiriHerman menetap tajam ke arah Sheila. Ia terlihat tidak seramah tadi. Sepertinya lelaki itu sama kau siapa wanita sialan yang dimaksudkan oleh istrinya.“kamu mau mencoba playing victim? Jadi orang itu jangan suka membolak-balikkan fakta dan menyalahkan orang lain,” ucap Herman dengan emosi tertahan.Baguslah, sepertinya dia memang sudah hafal dengan watak istrinya itu.“Apa kamu belum puas menghancurkan hidup Diah?” tanya Herman. Tatapan matanya begitu tajam tertuju ke arah sang istri.“Aku tidak akan puas sampai kamu berhenti mencintainya. Kamu selalu saja membelanya,” Raung Sheila.“Antara Aku dan Diah sudah berakhir. Tidak ada lagi kisah cinta di antara kami. Aku sudah menjadi suamimu. Apa itu semua tidak cukup untuk kamu?” geram Herman. Sepertinya lelaki itu memiliki stok kesabaran yang cukup tinggi.Terlihat jelas jika dia sedang menahan emosi. Kedua tangannya terkepal kuat hingga kuku-kuku jarinya memutih.Herman beralih menetap ke arahku. “Mbak, atas nama istri saya,
Aku memandang rumah di hadapanku. Rumah yang aku bangun dengan penuh perjuangan. Rumah yang mengingatkan masa-masa sulit aku dengan Mas Alfi. Sepertinya aku harus menjual rumah ini untuk membuang semua kenangan yang membangkitkan eforia ketika mengingatnya. Namun hal itu harus kupertimbangkan masak-masak. “Assalamualaikum,” Aku mengucapkan salam sambil mengetuk pintu. Aku mendengar langkah kaki yang berlari mendekat ke arah pintu. Aris membukakan pintu untuk menyambut kedatanganku. Langsung kurentangkan tangan untuk memeluk sibuah hati. Kubenamkan ciuman penuh kasih di keningnya. Beban yang menindih pundakku seolah sirna tatkala indara penglihatanku mendapati senyuman indah dari wajah kedua malaikat kecilku. “Ayo kita makan,” ajakku. “Mama beli martabak viral ini.” Aku mengangkat tanganku, memperlihatkan kantong kresek yang berisi martabak kesukaan kedua buah hatiku. “asik,” ucap Aris kegirangan. Usia segitu memang saat lagi bahagia bahagianya, karena tidak ada beban yang h
Aku menatap kedua putraku silih berganti, menanti jawaban apa yang akan mereka berikan untukku.“Mama tidak perlu khawatir soal itu, karena Aldo tahu bagaimana sakitnya Mama,” jawab Aldo. “Kakak tidak sebodoh Papa,” imbuhnya.Sementara Aris, bocah itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon. Mungkin otak polosnya belum sampai ke tahap itu.“makasih Sayang, kalian sudah selalu ada untuk Mama,” ucapku. Kembali kurengkuh kedua putraku ke dalam pelukan ini.Lama kami saling berpelukan.Aku menarik diri, kembali menatap mereka silih berganti.“Kalian tidak boleh benci sama papa ya! Kalian juga tidak boleh benci sama Mama baru kalian,” nasehatku.“Kami tidak mau punya Mama tiri. Kami hanya memiliki satu Mama dan akan selamanya hanya satu,” sargah Aldo cepat.“Tapi sebentar lagi kalian akan punya adik baru lho! Yakin enggak mau punya mama tiri ?” godaku. Aku tahu ke dua putraku memang sangat menyukai anak kecil.Meskipun hati ini hancur berkeping, Aku tidak ingin anak-anakku tumb
“Sialan,” ucap Diah sambil menggebrak meja.“Lo pikir gue ini apaan? Lo meremehkan gue? Lo pikir gue enggak laku sampai harus menikahi suami orang?” Murka Diah.“Aku nggak pernah berpikiran seperti itu tentang kamu. Aku masih mencintaimu sama seperti dulu. Aku menikahi Sheila hanya karena perjodohan. Tidak ada cinta di antara kami. Tidak bisakah kamu mengerti akan hatiku?” Ungkap Herman lembut. “Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai, dulu, sekarang, dan selamanya hanya kamu satu-satunya wanita yang bertahta di hatiku, Diah,” imbuh lelaki itu. Tatapannya begitu sayu menatap Diah.“Apa? Cinta? Lu masih berani mengatakan cinta sama gua setelah lu campakkan gua di saat lagi sayang-sayangnya? Lu bilang enggak ada cinta di antara lu dan Sheila? Lalu anak yang berada di kandungan Sheila itu bukan anak Lo, atau anak yang hadir karena kecelakaan gitu?” tanya Diah sinis. Ia menarik sebelah sudut bibirnya.Herman bungkam mendengar penuturan sang mantan.“Berapa kali lagi harus aku katakan