Share

Bab 5

Pagi seperti biasanya Nadira bangun saat qiraah dari toa masjid terdengar. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian Nadira sudah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena tidak mendapati tanda-tanda kehidupan Nadira beranjak ke kamar Lian.

"Mas Lian!"

Nadira mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. Tapi, tak membuahkan hasil sama sekali. Meskipun gamang dia memutuskan untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka, terlihat Lian yang masih tertidur pulas di tempatnya.

"Mas Lian, bangun!" Panggil Nadira, gadis itu berdiri di sisi ranjang. Tak berniat menyentuh Lian karena sudah mempunyai wudu.

"Mas Lian, udah subuh. Shalat yuk!" Ajak Nadira tak pantang menyerah.

Mendengar namanya dipanggil berkali-kali akhirnya Lian bangun. Ia merasa kesal karena tidurnya terganggu.

"Apaan sih, masih pagi juga." Ketus Lian setelah mengumpulkan nyawanya.

"Sudah subuh, Mas. Ayo shalat," Ucap Nadira lembut dengan senyum manisnya.

"Shalat aja sana! Gak usah ajak-ajak."

Nadira menghela napas, tapi kali ini ia tidak ingin menghadapi Lian dengan emosi. Masih pagi juga untuk mulai berdebat.

"Mas Islam, kan? Tahu kan hukum shalat itu gimana?"

Lian juga tidak ingin menghancurkan moodnya. Masih pagi sudah menghadapi Nadira yang menurutnya selalu membuatnya kesal. Pria itu akhirnya mengalah dan memilih meninggalkan Nadira menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Nadira tersenyum senang sambil mengamati kepergian Lian.

"Kamu itu sangat menjengkelkan. Tapi kok, gemes ya lihat kamu bangun tidur kayak gini."

Hati Nadira berdesir. Ada sesuatu yang aneh menggelayut dalam sana. Gadis itu pun akhirnya kembali ke kamar untuk shalat. Sebelum Lian kembali dan akan mengomelinya lagi.

Setelah selesai dengan ibadah paginya Nadira pergi ke dapur. Menyiapkan omelet seperti biasa karena gadis itu lupa belum membeli kebutuhan dapur. Nadira dengan gembira menyiapkan makanan di meja makan. Sampai akhirnya aktivitasnya terhenti ketika melihat Lian turun dari kamarnya. Gadis itu berlari mendekati sang suami.

"Mas sarapan yuk! Aku udah nyiapin." Ajak Nadira antusias.

Lian melirik jam tangan dengan tatapan angkuh.

"Sudah siang. Saya makan di kantor," Balas Lian tanpa melirik wajah Nadira yang mulai mengendur.

Lian berjalan melalui Nadira dengan acuh. Nadira mengejar Lian yang berjalan keluar rumah.

"Tapi Mas-"

Bukk

Nadira menubruk tubuh Lian yang berhenti mendadak.

Lian berbalik badan dengan emosi tersulut.

"Kamu bisa dengar kan. Saya makan di kantor!" Bentak Lian.

Nadira membatin dalam hati, bisa tidak suaminya itu bicara pelan saja. Nadira juga bisa dengar tanpa perlu ia membentak.

Lian hendak melanjutkan langkahnya tapi Nadira kembali menghalangi.

"Apalagi?" Tanya Lian dengan mata tajam.

Nadira tak berani menatap wajah tampan tapi menyeramkan itu. Gadis itu lebih memilih memandangi lantai marmer di bawah kakinya.

"Kalau Mas Lian gak keberatan nanti kita bisa belanja bulanan. Gak ada bahan makanan yang bisa kumasak di dapur."

Lian pergi tanpa mengiyakan permintaan Nadira. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menghela napas panjang.

"Sabar Dira! Sabar, berbakti sama suami itu ganjarannya Surga." Nadira bermonolog sambil mengelus dada berjalan ke arah dapur.

Nadira memutuskan sarapan seorang diri. Menanti Lian juga percuma tak bikin perutnya kenyang. Baru saja gadis itu menyendokkan sesuap nasi, ia dikejutkan oleh kedatangan Lian yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

"Astaghfirullah... Mas ngagetin aja."

Lian mengulurkan ponselnya pada Nadira membuat gadis itu mengerutkan dahi karena bingung.

"Apa Mas? Mau sarapan?"

"Tulis nomor kamu. Saya akan transfer nanti, kamu bisa belanja sendiri."

Ingin bingung tapi ini Lian. Nadira harus siap dengan segala sikap Lian yang penuh misteri. Nadira akhirnya menuliskan nomornya seperti permintaan Lian.

"Hati-hati ya, Mas." Ucap Nadira saat mengulurkan ponsel Lian kembali pada sang pemiliknya. Seperti orang tuli, begitulah Lian saat menghadapi Nadira. Bahkan untuk sekadar berkata ya saja berat. Mungkin memang pria itu benar-benar tuli.

Nadira melanjutkan sarapannya kembali.

Tidak ada aktivitas yang dilakukan Nadira membuat gadis itu bosan. Rumah Lian yang baginya cukup besar untuk ia tinggali seorang diri. Gadis itu pun memilih menyaksikan acara tv di ruang tengah.

Suara dering ponsel membuat gadis itu terperanjat dari posisi nyamannya. Dengan cepat ia menggeser panel hijau untuk menerima panggilan masuk.

"Assalamu'alaikum, halo, Ma!" Sapa Nadira.

"Waalaikumsalam, gimana kabarnya, Nak?" Suara lembut Mama Rena terdengar dari seberang.

"Alhamdulilah, Nadira sehat. Mama dan Papa gimana, sehat 'kan?"

"Alhamdulillah sehat juga, Nak. Lian baikkan sama kamu." Mama Rena bertanya langsung to the point.

Nadira tersenyum getir. Mengingat bagaimana Lian bersikap padanya. Tapi ia juga tidak mau membuat Mama Rena terluka karena Lian masih belum bisa menerima keberadaannya.

Bibir Nadira terangkat membentuk senyuman, meskipun sang Mama tak bisa melihat hal itu.

"Mas Lian baik kok, Ma. Alhamdulillah, malah baik banget."

Mama Rena lega mendengar pengakuan sang menantu. Nadira pasti bisa meluluhkan anaknya yang keras kepala, itulah keyakinan Mama Rena. Dengan kelembutan dan kasih sayang Nadira, Lian akan menerima seiring jalannya waktu.

"Mama senang dengernya, Nak."

Mama Rena memberi jeda.

"Nanti makan malam disini ya. Jangan lupa bilang sama Lian, kalau kamu yang minta pasti mau. Kalau Mama, anak itu pasti ada aja alasannya." Lanjut Mama Rena sambil terkekeh.

Bagaimana Nadira menyampaikan pada sang suami. Jika Mama Rena saja Lian bisa mencari alasan, bagaimana dengan dirinya. Bahkan masih berniat mengutarakan Lian pasti akan membungkamnya lebih dulu dengan omongan tidak sedapnya.

"InsyaAllah,Ma." Nadira terpaksa mengiyakan saja permintaan Mama Rena

"Mama tunggu lho. Mama kangen sama menantu mama."

Panggilan berakhir setelah Nadira menjawab salam dari sang mertua. Kini gadis itu bingung bagaimana cara menyampaikannya pada Lian.

Saat pikiran berkelana tanpa ada arah, ponsel Nadira kembali berbunyi. Berbeda dengan dering yang tadi, kali ini tanda pesan masuk.

Sebuah pesan masuk dari m-bankingnya. Lian baru saja mentransfer uang sebesar sepuluh juta ke no rekeningnya yang baru saja ia kirim. Tak lama kemudian pesan Lian datang.

[Buat belanja kebutuhan dapur. Kalau untuk yang lain, silakan minta kalau kurang]

Nadira hanya mencebikkan bibir.

"Andai aja transfer cinta semudah transfer duit dari atm."

Karena Nadira sudah mendapat jatah bulanan, ia pun bersiap untuk pergi ke mall dan berbelanja kebutuhan dapur dan yang lain. Seelah ganti baju ia pergi dengan ojek online yang, sudah ia pesan.

Dua puluh menit kemudian Nadira sudah sampai di tempat tujuan.

Nadira langsung menuju tempat kebutuhan dapur. Memasukkan belanjaan pilihannya ke troli. Nadira membeli beberapa bahan pokok makanan dan kamar mandi. Setelah selesai ia membayarnya di kasir. Tak banyak yang ia beli. Mungkin cukup untuk kebutuhan seminggu mendatang.

Nadira menenteng belanjaan di kedua tangannya keluar mall. Tapi saat berada di depan mall tak sengaja ada seorang yang lari dan menabraknya.

"Maaf!" Ucap gadis itu pada Nadira yang memunguti barangnya jatuh. Gadis itu pun tak lupa membantunya.

"Gak papa, lain kali hati-hati ya, Mbak." Kata Nadira dengan senyum ramah.

Gadis di depannya itu merasa bersalah karena kurang hati-hati, dan terburu-buru.

"Sekali lagi saya minta maaf."

"Tidak masalah Mbak."

Nadira meninggalkan gadis itu.

"Lian! Aku tunggu kamu di tempat biasa."

Nadira memutar badannya. Gadis itu terlihat menempelkan benda tipis di telinga. Apa pemilik nama itu sama dengan sang suami.

Nadira berpikir sejenak.

"Ah mana mungkin. Nama juga bisa pasaran kan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status