"Hebat kamu, Dek. Berani berkata seperti itu pada Bu Tari," ucap Bang Jo, ketika masuk ke dalam rumah.Aku sedang duduk di ruang keluarga, sambil mengawasi anak-anak bermain."Habisnya aku kesal sekali, Bang. Orang kok nggak pernah bisa bersyukur. Bisanya hanya mengeluh dan meremehkan orang lain. Merasa dia paling hebat sendiri. Aku nggak ikhlas Deni disepelekan seperti itu. Deni sudah susah payah kerja demi anak istri, masih saja dianggap nggak becus ngurus anak istri. Memangnya Abang nggak kesal, adik sendiri disepelekan?" jawabku sambil nyerocos, menandakan kalau aku sedang kesal sekali. Apalagi jika ingat kejadian tadi."Abang juga nggak ikhlas, Dek. Tapi nggak etis lah kalau laki-laki berdebat dengan perempuan seperti itu. Takutnya nanti malah Abang semakin emosi. Tapi kekesalan Abang sudah terwakili Adek tadi," kata Bang Jo sambil tersenyum."Pantesan Mella orangnya seperti itu, keturunan dari ibunya. Kasihan Deni ya? Bebannya jadi bertambah karena Bu Tari ada disini.""Habis ma
Drtt...drtt ponselku berbunyi lagi. Aku menjauh dari Bang Jo, Deni dan Bu Tari."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika menerima panggilan di ponsel."Waalaikumsalam, apa kabar, Mbak," jawab Aisyah."Alhamdulillah kabar baik, gimana keluarga disana?" ucapku lagi."Alhamdulillah, sehat semua, Mbak. Aku tadi menelpon Bang Jo, tapi nggak diangkat.""Oh, dia lagi asyik ngobrol sama Deni. Mungkin nggak kedengaran.""Oh, ada Deni ya disitu?""Iya, Bu Tari juga.""Apa? Bu Tari ada disitu?" Sepertinya Aisyah kaget mendengar ucapanku."Iya. Beliau kan merawat Mella.""Oh iya? Mbak, rencana besok, Bapak dan Emak akan pulang. Aku dan Mas Arman yang mengantarnya."Aku kaget mendengar ucapan Aisyah, wah bakal jadi keributan besar kalau Emak pulang dan disitu ada Bu Tari."Oh, gitu ya? Jam berapa mau berangkat?" tanyaku lagi."Agak siang, mungkin jam sepuluh.""Ya, nanti aku sampaikan sama Bang Jo dan Deni.""Oke, Mbak. Aku hanya mau mengabari itu saja. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." A
"Apa kabar, Mella?" tanyaku basa-basi."Nggak usah basa-basi. Sudah tahu aku sedang sakit, pakai nanya segala," jawabnya dengan ketus."Ma, Mbak Nova kan nanya baik-baik. Kok jawabannya kayak gitu," kata Deni yang kebetulan masuk ke ruang keluarga."Papa selalu membelanya. Istri papa itu, Mama atau dia," ucap Mella sambil menunjuk ke arahku."Sudah, Den. Nggak usah diperdebatkan. Nggak selesai-selesai nanti kerjaan kita," kataku pada Deni.Sebenarnya aku ingin marah, tapi kasihan melihat Deni. Nanti pasti akan dimarahi oleh Mella. Aku keluar untuk menuangkan kopi ke gelas. Kemudian menaruh beberapa kue di piring. Kubawa lagi piring berisi kue itu ke dalam. Untuk dimakan Bu Tari dan Mella. Sengaja aku memilih kue yang tidak manis."Ini Bu, ada kue," kataku pada Bu Tari dan Mella yang ada di ruang keluarga."Taruh saja di meja," jawabnya.Segera aku meletakkan piring tersebut di atas meja. Terserah mau dimakan atau tidak. Aku langsung keluar lagi, kalau di dalam terus nanti malah emosi
"Hei, tuan rumah disini siapa? Kok situ yang marah-marah," kata Emak. Wah, sudah mulai keluar watak asli Emak. Aku dan Aisyah hanya saling memandang."Ayo, Mak. Kita ke depan saja. Atau kita ke rumah Mbak Nova?" ajak Aisyah sambil menggandeng tangan Emak. Akhirnya Emak mengikuti langkah Aisyah keluar dari dapur. Aku juga berjalan menuju ke depan. Tampak Mella berjalan tertatih-tatih menuju ke kamar. Ketika berpapasan denganku ia menatap sinis padaku. Aku diam saja.Diruang tamu sudah ada Bang Jo, Arman, Bapak dan Deni. Bapak sedang memberi nasihat pada Deni."Terus maumu sekarang bagaimana?" tanya Bapak pada Deni."Deni mau, Mella itu nurut dengan anjuran dokter. Kalau ia mau sehat. Tapi Mella susah sekali dikasih tahu. Masih saja makan mie pakai nasi dan minum teh manis. Terus apa yang bisa Deni lakukan, Pak?" keluh Deni."Ya sudah, Den. Biarkan Mella sesuka hatinya. Nanti kalau jarinya diamputasi kan baru tahu rasa," celetuk Aisyah."Hush, Mama kalau ngomong kok kayak gitu," kata
"Diam semuanya!" teriak Bapak.Lagi-lagi kami terkejut dengan teriakan Bapak. Benar-benar menguras emosi mengikuti musyawarah ini, seperti nonton sinetron. Saling teriak dan saling menyalahkan. Kami semua terdiam, suasana menjadi sunyi. Bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar, saking sunyinya. Bapak menarik nafas, kemudian melanjutkan berbicara. "Sudah, jangan emosi. Tidak ada gunanya saling berteriak, saling menyalahkan. Semua itu justru akan membuat kalian menjadi saling menyakiti. Apa kalian berdua tidak memikirkan Sheila? Kalau sampai berpisah, kasihan dengan Sheila. Cukuplah Johan yang mengalaminya." Bapak berhenti sejenak."Maksud Deni itu benar, ia mengharapkan Mella mau disiplin dalam hal makanan. Kalau Mella mau sehat, kalau nggak mau ya sudah. Bu Tari, kita sebagai orang tua, jangan malah menambah keruh keadaan. Biarkan mereka berdua yang memutuskan. Masalah pendapatan Deni, memang sedikit. Dulu diberi pendapatan besar, tidak bisa mengelola. Buktinya, apa yang mereka pun
Dewi dan Intan sudah berangkat sekolah. Nayla asyik nonton televisi. Bang Jo sudah pergi ke kolam. Aku sedang menyiapkan sayur dan lauk, yang akan dibawa ke rumah Emak dan ke klinik. "Ibu mau kemana?" tanya Nayla yang muncul di warung."Ibu mau ke klinik mengantar nasi untuk Om Deni. Nayla nonton televisi di rumah saja ya? Ada Mbak Warti dan Mbak Minah kok. Nanti kalau mau apa-apa tinggal panggil saja," jawabku."Lama nggak Ibu ke kliniknya?" tanya Nayla lagi."Enggak, hanya sebentar kok.”"Ok, Nay nonton televisi lagi, ya Bu." Nayla beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi."Iya."Semua yang kusiapkan sudah selesai, waktunya berangkat. Aku berjalan menuju ke rumah Emak. "Pak, sudah sarapan?" tanyaku pada Bapak yang sedang duduk di depan rumah."Sudah, makan pisang goreng," jawab Bapak."Ini Nova bawain sayur dan lauk. Nova bawa ke dalam, ya?" kataku."Iya. Kamu mau kemana?" "Mau ke klinik menjenguk Mella."Bapak menarik nafas panjang, kemudian berbicara dengan suara
Aku dan Aisyah masih berada di ruang perawatan Mella. Masih juga penasaran dengan apa yang terjadi di ruang sebelah. Ingin keluar tapi tidak berani."Kenapa ya di sebelah itu?" tanya Bu Tari sambil membereskan piring makan yang ia pegang.Mella sudah selesai makan. Nasi lembek yang diberikan tadi sudah habis ludes dimakan Mella. Walaupun sakit ternyata Mella makannya lumayan banyak, tapi badannya kok nggak gemuk ya? Salut aku dengan Mella. Kalau aku, membayangkan makanan saja, berat badan sudah naik beberapa ons, hihi."Mungkin ada keluarganya yang datang, terus menangis melihat kondisi yang sakit," jawabku."Atau jangan-jangan yang dirawat di sebelah itu meninggal?" sambung Aisyah.Aku langsung melotot ke arah Aisyah, ia tampak cengengesan saja. Sedangkan Mella langsung pucat mendengar ucapan Aisyah."Hush, jangan bilang seperti itu lah. Bikin takut saja," jawabku lagi."Lha soalnya beberapa orang langsung kesitu," kilah Aisyah."Tapi yang dirawat di sebelah itu masih muda lho," jawa
Aku tidak tahu apa yang Bang Jo dan keluarga rencanakan. Yang jelas, tugasku hari ini mengantar makanan untuk Bu Tari. Walaupun kami semua jengkel dengannya, tapi sisi kemanusiaan kami tetap ada. Dengan diantar Bang Jo, aku berangkat ke klinik.Tadi malam Deni tidak datang ke klinik. Ia dirumah menemani Sheila. Kasihan Sheila, kurang perhatian."Assalamualaikum," sapaku pada Bu Tari dan Mella. Bang Jo tidak ikut masuk ke kamar, ia menungguku diluar.Bu Tari sedang duduk menonton televisi, Mella sibuk dengan hpnya."Waalaikumsalam," jawab Bu Tari."Ini, Bu. Ada makanan untuk Bu Tari," kataku sambil menyodorkan kantong berisi makanan. "Ya, taruh saja disitu," sahut Bu Tari sambil menunjuk sebuah meja kecil."Kak Deni kemana, Mbak? Kok nggak kesini?" tanya Mella."Wah, aku nggak tahu, Mel. Tadi aku langsung dari rumah, nggak mampir ke rumah Emak. Aku pikir dia ada disini," jawabku."Dia nggak kesini lagi, sejak kemarin siang, Mbak. Gimana keadaan Sheila? Apakah dia sering menanyakan ke