"Maksud saya kesini tadi karena ingin bertemu dengan besan. Ada acara di rumah anaknya kok nggak datang. Banyak yang bilang, katanya Makwonya Nayla dan Mella nggak diundang sama Nova. Saya jadi nggak enak mendengarnya. Masa sih, Nova seperti itu?" ucap Ibu."Mereka berdua diundang kok sama Nova. Waktu Nova mengundang, saya ada di rumah. Sekali lagi maafkan kami ya Bu?" kata Bapak lagi."Ada apa ini?" Tiba-tiba ada yang datang.Suara Deni mengagetkan kami. Wah bakal menjadi ramai ini. Deni tampak bingung melihat kami satu persatu. Mella langsung mendekati Deni dengan wajah yang memelas."Kak, aku ditampar sama Mbak Nova," ucap Mella dengan nada yang dibuat seperti kesakitan. Sambil memegang pipinya, kemudian ia meringis menandakan seolah-olah ia benar-benar kesakitan. Deni langsung menatap ke arahku, dengan tatapan tidak suka. Aku jadi kesal melihat Mella yang melakukan drama."Aku mengantar Ibu kesini, karena Ibu ingin bertemu dengan Emak," ucapku pada Deni. "Terus kenapa kok sampai
Malam ini undangan yang datang cukup banyak. Emak, Mella dan Deni juga datang. Berarti Bapak berhasil membujuk mereka. Mereka hanya diam saja. Ibu duduk di sebelah Emak, menghormati beliau sebagai besan. Kulihat Mella sangat sibuk dengan hpnya. Mungkin untuk menghindari berbicara dengan orang lain. Acara dimulai dengan sambutan dari tuan rumah yang diwakili oleh Pakwo. Karena beliau juga sesepuh di dusun kami. Kemudian sambutan dari Pak Kades. Dilanjutkan dengan mengirimkan doa, untuk leluhur-leluhur kami yang sudah meninggal. Dipimpin oleh Pak Haji Sobri. Selesai acara, para undangan disuguhi soto ayam dan snack. Semua menikmati makanan sambil berbincang-bincang. Aku juga sudah menyiapkan nasi kotak dan snack dalam kotak, untuk dibawa pulang oleh tamu undangan. Sengaja aku siapkan makanan untuk dibawa pulang. Seperti orang habis kenduri, pulang membawa 'nasi berkat', istilah orang Jawa. Dulu waktu aku masih kecil, paling senang kalau Bapak pergi kenduri. Aku dan Septi adikku, men
Pagi ini kami berencana merobohkan warung bekas tempat jualan kami. Seperti rencana semula, kayu dan papan, juga sengnya akan digunakan untuk membuat kandang ayam."Kenapa Bang, kok sepertinya Abang tidak bersemangat gitu," tanyaku pada Bang Jo."Nggak apa-apa, Dek. Abang cuma nggak tega saja merobohkan warung itu." Bang Jo menghela nafas panjang."Ya sudah, Abang disini saja. Nggak usah kesana," sahutku."Bukan begitu Dek. Kesannya kok kita tega dengan keluarga sendiri, sampai merobohkan warung itu. Kan bisa dimanfaatkan untuk yang lainnya. Apa kata orang-orang nantinya," sanggah Bang Jo."Oh, jadi Abang nggak ikhlas kalau warung itu dirobohkan? Tapi kita butuh papan dan kayunya. Kalau Deni dan Mella meminta baik-baik denganku, akan aku berikan pada mereka. Tapi nyatanya mereka malah selalu bikin emosi." Aku mulai kesal dengan Bang Jo."Kemarin Emak meminta pada Abang untuk tidak merobohkan warung itu. Abang jadi nggak tega," ucap Bang Jo dengan pelan.Aku mulai emosi dengan ucapan B
"Dek, jahat sekali Adek mau melaporkan Emak ke polisi. Apa Adek nggak mikirin dampaknya nanti bagi kita semua," kata Bang Jo setelah mengantar Emak pulang. Bang Jo tampak emosi padaku. Aku kaget mendengar ucapan Bang Jo.Emak tadi memang tampak pucat dan lemah setelah aku bilang tentang polisi. Karena itu Bang Jo mengantarnya pulang, takut nanti terjadi apa-apa. Sebenarnya kasihan juga melihat Emak seperti itu. Ada rasa menyesal sudah mengatakan itu. Tapi biarlah, sedikit pelajaran untuk Emak. Padahal tidak ada niat sedikitpun untuk melaporkan Emak. Hanya untuk menakutinya saja. Ah, Emak, andai Emak bisa bersikap lebih baik kepadaku. Semua ini tidak akan terjadi."Enggak lah Bang, aku nggak sejahat itu. Hanya untuk menakuti Emak saja. Biar Emak itu berpikir dulu sebelum berbicara dan bertindak." Aku menjawab pertanyaan Bang Jo, sambil tangan dan mata asyik berselancar di dunia maya. Impianku memiliki semacam tempat nongkrong anak-anak muda, harus terwujud.Bang Jo tampak bernafas le
"Enggak Bang, nggak apa-apa. Aku ingin melihatnya," sahutku lagi."Ya sudah, ayo kita sama-sama ke sana," ucap Bapak.Aku, Bapak dan Bang Jo berjalan ke warung lama. Kulihat atap dan dinding papannya sudah di buka semua. Beberapa anak buah Pak Salim sudah mulai mengangkut papan dan kayu ke rumahku yang baru. Cepat juga kerjanya Pak Salim dan anak buahnya."Pak, istirahat dulu," kataku pada Pak Salim."Iya, Mbak. Sebentar lagi, tanggung nih," sahut Pak Salim. Aku menyaksikan warung dan rumah yang dulu aku tempati, sekarang tinggal puing-puing saja. Ada rasa lega dihatiku, proses merobohkan warung ini tidak banyak kendala. Walaupun sempat diwarnai drama pelemparan asbak. Akhirnya Pak Salim dan empat anak buahnya beristirahat. Ada beberapa tetangga yang membantu. Mereka menikmati nasi bungkus yang aku bawa tadi. Aku berkeliling bekas bangunan warung dan rumah, melihat-lihat siapa tahu ada harta karun, hihi."Gayanya seperti bos saja, mondar-mandir nggak karuan," celetuk seseorang dari
"Bu, Ibu, Pakwo sakit, badannya panas sekali," ucap Dewi."Hah? Dewi lihat kalau Pakwo demam?" tanyaku."Iya, Bu. Dewi pegang badan Pakwo panas," ungkap Dewi.Ada siapa di rumah?" tanyaku."Semuanya ada, Bu." Aku segera berlari ke ruang Emak bersama Dewi."Assalamualaikum," ucapku sambil masuk ke dalam rumah."Iblis betina datang," ucap Deni mengejekku. Deni dan Mella sedang makan makanan yang dibawa Dewi tadi. Dasar nggak punya malu, sering mengejekku, padahal makan masih menunggu kiriman dariku juga."Mana Pakwo?" tanyaku pada Dewi."Dikamarnya, Bu."Aku dan Dewi segera masuk ke kamar Bapak. Tampak Bapak berbaring dengan tubuh ditutupi selimut, seperti kedinginan. Emak berbaring di sebelahnya."Eh Nova," sambut Bapak dengan wajah pucat."Bapak kenapa?" tanyaku."Ngapain kamu kesini," ucap Emak yang terbangun dari tidurnya. Entah tidur beneran atau pura-pura tidur."Menjenguk Bapak, Mak?" jawabku."Bapak nggak apa-apa, hanya demam biasa. Tadi sudah Emak kompres, bentar lagi juga sem
"Hush, nggak boleh ngomong gitu. Meninggal itu urusan Allah. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha. Usaha yang sudah kita lakukan adalah membawa Pakwo ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Kita doakan saja semoga Pakwo bisa kembali sehat." Aku berkata dengan bahasa yang mudah dipahaminya."Dewi takut kalau Pakwo meninggal. Dewi sering membuat Pakwo kecewa." Dewi berkata sambil meneteskan air mata."Nanti pulang sekolah, kamu bisa gantian menunggui Pakwo di klinik. Jangan terlalu sedih ya, berdoa untuk Pakwo," lanjutku lagi."Iya, Bu," sahut Dewi sambil beranjak dari duduknya, "Dewi mau membangunkan Intan dulu."Aku Mengangguk dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Bang Jo menginap di klinik, menunggu Bapak. Jadi pagi ini tidak perlu bikin kopi.Anak-anak selalu aku biasakan untuk membantuku bekerja. Supaya nanti mereka terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Pagi hari biasanya Dewi menyapu dan mengepel, dibantu oleh Intan. Kemudian mereka bersiap-siap ke sekolah. Selesai makan,
Ucapan Bapak membuatku sangat terharu, mataku berkaca-kaca."Enggak, Pak. Kami nggak pernah merasa direpotkan oleh Bapak. Ini sudah kewajiban kami sebagai anak. Berbakti kepada orang tua. Maafkan kami yang belum maksimal berbakti pada Bapak dan Emak," ucapku lagi.Aku dan Bang Jo pulang, sepanjang perjalanan kami hanya diam saja. Sepertinya banyak hal yang dipikirkan oleh Bang Jo. Akhirnya sampai rumah juga. Aku menuju ke warung sedangkan Bang Jo langsung masuk ke dalam rumah."Siapa yang pesan nasi sebanyak ini?" tanyaku pada Warti dan Minah yang sedang membungkus nasi."Bapak itu Bu? Pesan nasi dua puluh bungkus," ucap Warti."Pakai minum nggak?" tanyaku."Pakai, Bu. Sudah saya siapkan tadi," jawab Minah.Aku menuju ke meja kasir."Ini Bu, uangnya," kata Bapak yang memesan nasi tadi sambil menyerahkan uang."Terima kasih, Pak," jawabku."Nayla tadi rewel nggak?" tanyaku pada Warti."Enggak kok, Bu. Hanya minta makan saja, terus nonton televisi lagi." Warti menjawab pertanyaanku.Tak