“Sabrina, bangun, Nak!” Di tengah mimpi indahnya –ia dan Dewa bertemu walau dalam mimpi—suara Bunda menyadarkannya pada kenyataan bahwa hingga pagi ini pun Dewa tidak membalas satupun pesannya. Masih setengah sadar, Sabrina menarik nafas dalam dan berat, mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Dewa? Sesibuk apa dirinya hingga tak sanggup membalas satupun dari sekian banyak spam pesan yang dikirimkan. Seperti bukan Dewa yang ia kenal. Dewa adalah tipe fast response. Ketika dia mulai slow response hingga berhari-hari, tentu meninggalkan tanda tanya besar. Ada apa?
-Kabari aku kalau kamu nggak sibuk ya, Sayang
Penuh harap kali ini akan dibalas, Sabrina kembali meninggalkan sebuah pesan lalu keluar menghampiri Ibundanya yang memanggilnya dari dapur.
“Kenapa, Bun?” tanya Sabrina sambil menggaruk rambutnya yang gatal. Sesakali ia menguap karena
Sabrina memandangi ponselnya. Dewa masih tidak membalasnya. Ia telah mencoba menghubungi ponselnya namun nada sambung tak terjawab. Tak tahan menghadapi ketidakpastian ini, Sabrina berniat untuk datang ke tempat Dewa di jam istirahat nanti. “Ehm!” Sabrina terkejut dan ponselnya terjatuh. Ia tidak menyadari jika Reyhan sudah berdiri di hadapannya. “Ba-bapak!” Sabrina langsung berdiri. “Ada apa, Pak?” tanya Sabrina gelagapan. Reyhan melotot. “Kamu nih kerja yang fokus!! Saya sudah berdiri lama disini dan kamu malah asyik sama ponsel kamu! Kamu mau saya pecat?!” lagi, kebiasaan Reyhan adalah mengancam. Sabrina mulai kebal dengan ancaman Reyhan. Dia sudah merasakan kehilangan dirinya dan jiwa sombong Sabrina selalu berkata ‘pecat aku dan kamu pasti kelabakan’. Tapi bukan berarti kemudian Sabrina menyepelekan pekerjaannya. “Maaf, Pak,” Sabrina meringis malu.
“Sab! Sab!” Sabrina tersentak mendengar panggilan Awang. Sabrina, Awang, dan Erika tengah berkumpul di kantin, menikmati makan siang di jam istirahat mereka. “Kamu dari kemarin melamun. Kenapa, sih?” Awang terlihat khawatir. “Iya. Kamu lesu banget hari ini,” sambung Erika. Sabrina tersenyum kecil. “Nggak apa-apa,” jawabnya. Awang tidak begitu saja percaya. Ia kenal Sabrina. Wanita muda itu adalah wanita yang ceria. Diam dan melamun, sudah pasti bukan Sabrina. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Soal pacar kamu itu, ya?” tebak Awang. Sabrina memandang Awang. Ia kemudian menggeleng dengan hela nafas berat. Sabrina tidak pintar berbohong. Ekspresinya selalu menjelaskan apa yang sedang ia pikirkan. “Aku ambilin jus jeruk ya? Biar pikiranmu seger!” tawar Erika sambil beranjak.
Awang melirik Sabrina dari sudut matanya. Sabrina hanya bersandar lesu dengan pandangan kosong ke depan. Ia belum berbicara lagi sejak keluar dari kantor Dewa. "Sab,” panggil Awang pelan. Sabrina tidak menjawab. Pikirannya masih melayang pada Dewa yang tidak bisa ia temui. Kalut dan pikiran negatif tanpa jawaban pasti memenuhi kepalanya. Awang menghela nafas. Ia merasa sedih saat melihat Sabrina seperti ini. Ia kemudian menepikan mobilnya di halaman parkir sebuah minimarket. Barulah Sabrina tersadar dari lamunanya. “Wang, ada apa?” Sabrina tampak bingung. “Cokelat atau vanilla?” bukannya menjawab, Awang malah memberinya dua pilihan. Alis Sabrina mengkerut. “Cokelat?” ia menjawab bingung. Tanpa menjelaskan apa maskud dua pilihan itu, Awa
"Kuliah sih iya tinggi, S2, tapi nganggur juga," Sabrina memutar bola matanya kesal mendengar ucapan salah satu tetangganya yang tengah berkumpul di salah satu teras rumah Apalagi kalau bukan bergunjing? Jika norma dan etika tidak ada di dunia ini, mungkin sekantung plastik berisi sayuran dan bumbu dapur yang ia tenteng sudah terlempar ke kerumunan tetangganya itu. Sabrina menghela nafas. Ia menendang kerikil jalanan.Apa yang salah dengan tidak bekerja? Aku tuh nggak santai-santai aja kok! Aku cari kerja juga! Nggak tahu kan mereka sudah berapa amplop cokelat yang habis untuk paket dokumen lamaran kerjaku? Nggak tahu kan mereka sudah berapa lowongan perusahaan yang aku daftar? Nggak tahu 'kan mereka betapa percaya dirinya aku daftar ke perusahaan yang bahkan belum buka lowongan kerja? Sabrina beringsut. Kadang ingin rasanya ia pindah saja dari rumah ini. Lingkungan sek
Pagi itu, jalanan Ibu kota ramai lalu lalang kendaraan dan pekerja kantoran yang berangkat untuk mengais rejeki. Sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman lobi gedung perkantoran. Seorang pria berusia tiga puluh tahun turun dari bangku penumpang. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan kemaja biru donker sebagai dalamannya. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah tas laptop sementara di tangan kirinya, tergenggam ponsel keluaran terbaru yang terus berdering menuntut jawaban. Kehadiran pria itu membuat para karyawan yang semula duduk santai di lobi, berbincang dengan sesame karyawan lain, mendadak gugup. Mereka bergegas berdiri, berpura-pura sibuk dan menghindarinya. Pria dengan rambut yang tertata rapi itu sepertinya sangat ditakuti oleh para karyawan. Postur tubuhnya tinggi tegak, ekspresi wajahnya tegas dengan rahang kaku dan hidung mancung. Alisnya tebal, bersorot mata tajam dengan bulu mata yang lentik. Seperti itulah sosok Reyhan Malik Narendra, Direkt
Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya. Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya. "Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja terse
“Sebenernya, kita mau kemana sih?” pukul setengah tujuh malam, Dewa sudah berada di rumah Sabrina. Tadi Siang, Sabrina memintanya untuk menemui seorang teman malam ini. “Mau ketemu Lia, sahabat aku waktu pendidikan pasca sarjana. Tunggu sebentar, ya!” Jawab Sabrina. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Ia belum selesai bersiap. Bedaknya belum tercampur sempurna dengan bubuk putih tebal di beberapa sisi. Alisnya baru tergambar separuh dan rambutnya masih tergelung berantakan. “Kamu jangan lama-lama dandannya! Bisa tua disini aku nungguin kamu dandan!” Dewa dongkol tiap kali menunggu Sabrina berdadan. Lama! Aku mungkin bisa menyelamatkan dunia bersama ‘Avenger’ sembari menunggu Sabrina selesai berdadan, terutama saat mengukir alis dan eyelinernya! “Lebay kali, ah!” Sabrina menyahut dari kamar. Dari jendela kamarnya, ia melihat Bu Fenti di teras rumah memperhatikan
Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview. “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?! “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina. Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan! Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada.. “Mau interview