Seperti yang seharusnya terjadi, tak ada seorang pun yang mampu mencegah kedekatanku bersama Akram, termasuk Om Ashraf sendiri. Bahkan, suamiku itu sekarang harus menelan pil pahit bahwa alat tempurnya tak lagi berfungsi untuk dia gunakan pada wanita lain selain diriku. Efek guna-guna ini sangat luar biasa. Siapa sangka seorang pria tampan dengan pesona yang luar biasa kini hanyalah pria loyo yang kehilangan keperkasaan, kecuali bersamaku. 'Kau tidak bisa mengkhianatiku lagi, Om!' ucapku dalam hati.Aku tersenyum sinis melihat kemesraan yang dia berikan pada Mama Widya, sementara aku menikmati kebersamaanku bersama Akram. Sesekali Om Ashraf melirikku dari kejauhan. Aku tahu dia cemburu. Biarlah, toh aku tidak pernah terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukai putra semata wayangnya. Meski demikian, aku masih bisa menjaga sikap. Aku tak ingin jika tindakanku terlihat terlalu kentara ingin mendekati Akram. Dia adalah laki-laki yang kucintai, dia juga seorang calon pewaris tunggal dar
POV Hafsa "Mas--" Lirih kuucapkan memanggil suamiku yang terbaring lemah di atas ranjang kami. Dia tidak mendengarku sama sekali. Besar inginku untuk segera menghampirinya. Namun, bukan hanya dia yang berada di atas peraduan kami, melainkan juga wanita lain yang menjadi sumber kerusakan rumah tangga kami. Siapa lagi jika buka Fara--adik kesayangan dari suamiku. Entah aku harus bereaksi seperti apa, hati ini begitu perih melihat pemandangan yang tak mengenakkan mata. Apalagi aku baru saja mendengar berita miring tentang mereka dari mantan rekan kerjaku tadi. Sekarang mereka justru memamerkan kemesraan di hadapanku. Fara begitu telaten menyuapi Mas Akram. Suamiku itu pun menikmati perlakuannya sambil menggenggam tangan Fara. Mereka lebih terlihat seperti pasangan yang romantis. Ah, mengapa tangan mereka saling menggenggam seperti itu, seolah mereka berdua bersama-sama meremas jantungku yang kian lama kian perih. "Udah," ucap suamiku sambil tersenyum tipis dengan suara yang lemah, seme
Mas Akram menunjukkan sikap seperti bukanlah dirinya. Dia meraung, menjerit dan menggelepar seperti makhluk air yang terdampar di daratan, sementara Fara di sisinya terlihat sangat panik. "Mas, kamu kenapa, Mas? Ini aku Fara. Mas Akram ..." ucapnya mencoba untuk menyadarkan suamiku yang masih menggelepar. Aku pun meraih kedua kaki Mas Akram yang terasa dingin, tapi basah oleh keringat. Sentuhanku membuat Mas Akram menendang-nendangkan kakinya ke udara seolah mencoba untuk melepaskan diri dariku. Padahal aku hanya menyentuh--tidak lebih dari itu. "Pergi! Kamu 'gak sadar kalau dia 'gak suka kamu sentuh," bentak Fara padaku. Kesal! Tentu saja. Aku adalah istri sah Mas Akram. Aku lah wanita yang pernah menyentuh suamiku luar dalam. Tapi sikap Fara menunjukkan bahwa seolah-olah dirinya lah yang berhak menyentuh suamiku. Pelukan itu, sungguh membuatku semakin terbakar. Namun, aku bisa berbuat apa? Suamiku sendiri bahkan seolah menolakku, tapi justru membebaskan Fara menyentuhnya dem
Cukup lama Fara memelas di luar kamar, sementara Mas Akram terus terusan memanggilnya. Aku pun tetap membaca surah-surah syifa' sambil mengaktifkan ponselku dan berbalas pesan dengan Via. Kukirimkan pesan berulang kali ke ponsel mama mertua. Jujur saja aku kepikiran dengan putraku yang sejak tadi kuabaikan. Aku tak punya pilihan lain selain tetap berada di ruanganan ini. "Apa gue perlu nyamperin rumah lo?" tanya Via padaku. Dia pun mengkhawatirkan keselamatanku. Dia takut jika Mas Akram mengamuk karena aku mengunci diri bersamanya, atau kenekatan Fara yang bisa saja terjadi. Di saat yang bersamaan mama mertuaku mengirim pesan ke ponselku, "Mama bawa Zubair berobat ke ustadz, anak kamu rewel banget, Hafsa. Nanti mama jelaskan di rumah, mama gak lama, kok. Pantau terus suamimu. Kalau ada apa-apa kabarin mama ya," ucap mama mertuaku memberi wejangan. Aku sedikit lega meski rasa panik itu belum sepenuhnya hilang. Tangisan Fara yang pilu masih terdengar di depan pintu, tangisan yang m
"Hafsa, Mas lapar," ucap Mas Akram saat gelap memeluk bumi. Kupaksakan diri ini tersadar. Rupanya sudah dua jam aku tertidur di sisi suamiku. Ah ... Tubuhku benar-benar letih dengan payuda** yang membengkak. Seharian ini aku tak menyusui Zubair. Apa boleh buat, saat ini dia harus kukalahkan sejenak. Aku terpaksa fokus pada kesembuhan Mas Akram yang tak boleh lepas dari pantauanku. "Mas ..." ucapku bergeser mendekatinya. Wajah tampan suamiku yang tersenyum membuat letih ini terbayarkan. Jarang sekali dia menghadiahiku senyuman semanis itu. Namun, hati ini kembali tercubit manakala kumengingat bahwa senyuman yang serupa selalu dia berikan pada Fara. "Mas lapar," ulangnya. Tentu saja, sejak tadi dia tidur dan terus meracau. Lepas Isya' barulah dia sedikit tenang sehingga aku bisa beristirahat di sisinya. Selama itu dia tidak memakan apa pun. Bahkan, seingatku dia sempat memuntahkan seluruh isi perutnya. Aku yakin dia tertidur dalam keadaan perut yang benar-benar kosong."Maaf Mas, a
"Aaaa! Api ... Api ..." Tiba-tiba saja percakapan kami terhenti saat terdengar teriakan dari lantai bawah. Aku dan Mas Akram meyakini bahwa itu adalah suara yang bersumber dari kamar Mama Mertua. Gegas aku berlari menuju sumber suara, sementara Mas Akram mengenakan celana piyama panjangnya dengan tergesa tanpa memedulikan tubuh bagian atasnya yang masih polos. "Ma, kenapa?" tanya Mas Akram. Aku justru takjub dengan suamiku sendiri, bukankah kondisinya masih belum sepenuhnya pulih. Tapi, pergerakannya begitu gesit saat berlari di belakangku tadi. "Api!!!" Mama Mertua kembali histeris dengan menunjuk tembok kamarnya. "Gak ada api, Ma. Mama cuma mimpi," ucap Mas Akram. Aku pun menoleh ke arah dinding tembok yang dimaksud. Benar kata suamiku, tak ada api di sana. Kondisi mama yang berkeringat dengan tempat tidur yang berantakan membuatku yakin bahwa beliau sedang bermimpi buruk. Segera aku menuju dapur untuk mengambil air minum, tapi sosok Fara yang berdiri di tangga membuatku hampir
AKRAMSituasi sulit kini harus aku jalani agar aku bisa mengendalikan prasangka buruk mama dan Hafsa. Mau tidak mau aku harus sedikit bersandiwara di hadapan mereka. Maafkan aku, Fara ... Hanya dengan mengabaikanmu lah cara terbaik agar kita bisa terus bersama. Walau ingin rasanya aku meluapkan amarah pada mereka yang berusaha memisahkanmu dariku. "Hafsa, Mas lapar," ucapku ketika tengah malam. Sebelumnya aku mendapati istriku terlelap di sisiku. Kumanfaatkan waktu untuk menghubungi Fara-ku selagi Hafsa sibuk dengan mimpinya. Aku yakin Fara-ku tengah bersedih karena aku tak bisa menepati janji untuk tidur bersamanya malam ini dan malam-malam selanjutnya. Sadar ... Aku sungguh sadar akan posisiku sebagai seorang suami yang seharusnya memprioritaskan anak dan istriku. Namun, aku tak mampu melawan rasa untuk terus melindungi Fara. Aku pun tak sepenuhnya yakin jika Fara adalah adik biologisku. Kudengar bahwa ibu kandungnya merupakan mantan pekerja se* komersial. Seperti yang pernah dika
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan