"Bantuan, ini bantuan buat kita!" seru Bella senang sekaligus takut.
"Hah?" Mereka kompak melongo tidak mengerti. Bahkan Galih yang biasanya datar pun menampilkan wajah konyolnya.
Sekuat tenaga Bella menahan tawanya supaya tidak lepas saat melihat reaksi para sahabatnya. Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lagi.
"Kalau surat yang dari pelaku tentang korban selanjutnya. Maka beda dengan ini yang ngasih kita petunjuk tentang pelakunya," jelas Bella menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Davin.
Tidak mau semakin dilanda kebingungan, Davin langsung menerimanya.
"Seharusnya kamu tidak melupakan masa lalu kamu, Bella. Jika ingin menemukan pelaku, ingatlah dulu masa lalumu." Davin membaca tulisan yang ada pada kertas tersebut dengan suara sedang.
"Masa lalu? Emang lo enggak inget sama masa lalu lo, Bel?" tanya Luna menatap Bella aneh. Menurutnya, sangat tidak mungkin seseorang bisa lupa ak
Tetap semangat meskipun tidak ada yang memberi semangat :) Terima kasih sudah mampir. Sayang kalian ❤️
Bella yang tidak mendengar suara bibinya pun bergetar ketakutan. Tidak tahan dengan pemandangan rumahnya yang begitu gelap, Bella memilih memejamkan mata seraya mendudukkan diri di tempatnya berpijak. Hatinya juga tidak berhenti untuk merapalkan do'a apa pun yang ada di ingatannya saat ini. Dalam keadaan takut seperti ini, ayat kursi yang sudah sangat dihafalnya pun mendadak lupa. Bukan, bukan takut ada orang jahat yang tiba-tiba masuk. Namun Bella takut jika ada hantu yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Di tengah ketakutannya, Bella mendengar suara ketukan pintu yang begitu pelan tetapi berirama. Keadaan sekitar yang begitu hening membuat suara tersebut terdengar begitu jelas dan meninggalkan kesan horor bagi Bella. "Kenapa di saat kayak gini mereka pada hilang sih?" Bella mencebikkan bibinya kesal saat semua pekerja di rumahnya tidak ada yang menampakkan diri. Bahkan bibi yang tadi menjemputnya pun pergi entah ke mana. Hal yang terakh
Davin yang sedang memperhatikan sekitarnya pun menoleh. Menatap selembar foto yang dipegang Bella. Matanya menyipit dan segera mengambil foto yang terasa familiar tersebut untuk melihat lebih dekat. "Loh, lo kok punya foto ini juga?" tanya Davin balik. Bella menaikkan sebelah alisnya heran. "Juga?" Davin menyerahkan kembali foto tersebut yang langsung diterima oleh Bella. Keduanya terlihat sama-sama bingung. "Ini emang bener nyokap gue. Lo dapet dari mana? Soalnya di rumah juga ada foto kayak gitu," ungkap Davin menggaruk pelipisnya pelan. "Eh, ya wajar sih kalau lo juga punya. Soalnya di situ 'kan juga ada nyokap lo." Mendengar ucapan Davin tersebut membuat Bella melotot kaget. Menatap foto di tangannya dengan saksama, berusaha mencari mamanya seperti yang dibilang Davin. Di dalam foto tersebut terdapat enam orang. Dua laki-laki dan empat perempuan. "Mama gue yang mana, Vin?" tanya Bella cemas. Davin mendekat, menunjuk seseora
"Mama? Papa?" Bella yang baru saja membuka pintu rumah dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang sedang duduk santai di ruang tamu. Sepasang suami istri itu menoleh dengan senyum teduhnya. Tangannya melambai memberi isyarat kepada Bella untuk mendekat yang langsung dituruti oleh gadis tersebut. "Mama sama Papa kok udah pulang?" tanya Bella heran. Papa Dion menaikkan sebelah alisnya tidak kalah heran. "Kamu nggak suka kalau kami pulang?" "Bukan, bukan gitu, Pa," sahut Bella menggelengkan kepalanya cepat. "Bella cuma kaget aja. Bukannya Papa sama Mama pulangnya besok ya?" "Iya, Sayang. Ada hal penting yang mau kami bicarakan sama kamu. Makanya mama sama Papa bisa di sini sekarang," timpal Mama Dea membuat Bella menatap takut wajah orang tuanya yang berubah serius. Keadaan seperti ini yang selalu berhasil membuatnya was-was. Takut jika dia tanpa sengaja telah membuat kesalahan hingga orang tuanya murka. Sungguh, rasanya Bella ingin me
Bella beserta sahabat-sahabatnya berjalan cepat keluar dari cafe, menuju kerumunan kecil yang berada tepat di samping tempat mereka berada. Dengan perasaan cemas, mereka mencoba membelah kerumunan. Namun, sesampainya di depan, mereka tidak menemukan seseorang yang katanya keracunan. Sontak membuat kerutan samar hadir di kening mereka. Yuda berjalan menghampiri tiga gadis yang sedang bergosip dengan suara kecil. Dia sempat melihat mereka di cafe tadi. "Permisi," ucap Yuda membuat atensi ketiga gadis tersebut teralihkan. Terlihat gadis yang memakai baju hitam menatap datar Yuda. Sepertinya, dia tidak menyukai kehadiran Yuda yang mengganggu kegiatan mereka. Sedangkan kedua temannya yang berbaju pink dan putih tersenyum ramah. "Ada apa ya, Mas?" tanya gadis berbaju putih membuat Yuda meringis di dalam hati. "Mau tanya, katanya ada yang keracunan. Tapi kok enggak ada ya?" tanya Yuda langsung. Mendengar pertanyaan Yuda yang merupakan
"Pikirin nanti aja, sekarang kita cari orang yang keracunan tadi," celetuk Galih yang sedari tadi diam. Tanpa permisi, dia meraih tangan Bella untuk digenggam lalu mengajaknya berjalan menuju resepsionis. Davin dan Maya yang melihat perilaku sahabatnya yang seenaknya itu entah kenapa menjadi tidak suka. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Galih memanfaatkan Bella yang masih melamun untuk bisa menggenggam tangannya. "Ayo!" sentak Luna mengagetkan keduanya yang langsung mendapat tatapan tajam, membuat gadis tersebut cengengesan tidak jelas. "He he gue cuma mau bilang kalau kita udah ditinggal sama Galih." Ucapan Luna tersebut membuat Davin dan Maya mengalihkan pandangannya ke arah perginya Galih dan Bella tadi. Benar saja, keduanya sudah tidak ada. Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Meninggalkan Luna yang melongo tidak percaya dan Yuda yang menahan tawa. "Gitu
"Permisi," ucap Bella dan Maya serempak kepada tiga orang wanita dan dua lelaki paruh baya yang sedang berbincang di depan warung kecil. Mereka menoleh. Senyum ramah terpampang jelas di wajah mereka yang sudah terdapat kerutan halus. "Ada apa ya?" tanya Ibu yang memakai daster berwarna ungu. Bella dan Maya saling pandang seraya tersenyum kikuk saat kelima orang di depannya menatap intens. "Saya mau tanya, Bu. Rumahnya Albara di mana ya?" tanya Bella serius. Kini, giliran Ibu dan Bapak tersebut yang saling pandang. Raut ramah dan senyum manis mereka mendadak hilang, tergantikan dengan raut yang tidak dapat diartikan. Perubahan mereka itu ditangkap dengan baik oleh Bella dan Maya. Keduanya merasa ada yang tidak beres di sini. "Lebih baik kalian pulang aja, Nak." Bukan Ibu daster ungu yang berucap, tetapi Ibu berbaju hitam. Kalimat yang mengandung usiran secara halus itu semakin memperkuat kecurigaan Bella dan Maya. "Saya harus ke
Seorang laki-laki tampan yang berpakaian cukup rapi melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah. Matanya menatap lurus ke depan dengan tangan yang sesekali memijat keningnya, merasa pening. Saat melewati ruang tengah, dia menangkap keberadaan sepasang suami istri yang merupakan orang tuanya sedang fokus dengan ponselnya masing-masing. Laki-laki tersebut melewatinya begitu saja. Tidak ada sapaan hangat yang biasa dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya. Baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, sebuah suara yang begitu lembut memanggil namanya. "Gery," panggil Anna, wanita paruh baya yang merupakan ibu Gery. Dengan gerakan malas Gery menoleh. Matanya meredup, menatap orang tuanya lembut. "Ya, Ma?" "Dari mana aja kamu?" tanya Mama Anna berjalan mendekati sang anak yang masih terdiam di anak tangga pertama. "Dari main di rumah teman, Ma," jawab Gery tersenyum manis hingga tiba-tiba suara gebrakan meja membuat keadaan menegang
"Sayang, kamu mau ikut ke supermarket nggak?" tanya Mama Dea kepada Bella yang sedang menonton televisi. Bukan, lebih tepatnya televisinya yang melihat Bella. Pasalnya, gadis itu melamun dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. "Sayang," panggil Mama Dea menjentikkan jarinya di depan wajah Bella, membuat sang empu tersentak kaget. Bella mengerjap pelan lalu menatap Mamanya yang sedang menatapnya tajam. "Ada apa, Ma?" "Kamu ini, masih pagi udah ngelamun aja. Nggak baik, Sayang. Kamu mikirin apa sih?" Mama Dea mendudukkan diri di samping sang anak dengan tangan yang mengusap rambutnya lembut. Bella menggeleng pelan seraya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Seolah dirinya memang tidak memikirkan apa pun. Bella hanya tidak ingin Mama atau papanya kembali marah saat tahu dia belum juga berhenti menyelidiki kasus itu. Apalagi saat mereka tahu bahwa sekarang, pikirannya sedang penuh. Yang ada mereka akan semakin murka, karena men