“Selamat pagi semua,” Erika menyapa rekan kerjanya dengan wajah cerah dan senyum lebar seperti biasa. “Loh, Mbak Erika? Kiraiin masih sakit. Kok udah masuk kerja?” Perempuan yang menggantikan Erika bertanya. “Ah, bukan sakit serius kok. Saya juga sudah langsung diizinkan pulang sama dokter,” Erika menjawab dengan senyuman. “Padahal kita sudah rencana mau jenguk sehabis pulang kantor nanti. Tapi syukur deh kalau sudah sembuh. Yakin gak masalah perlu istirahat lagi kan?” Erika menggeleng menjawab pertanyaan rekannya itu. Dia memang merasa sudah sangat sehat. Lagi pula memang tidak ada yang salah dengan tubuhnya, mentalnya yang bermasalah dan Erika sudah bisa mengatasinya dengan baik. “Kenapa kau ada di sini?” Erika langsung berdiri ketika mendengar pertanyaan itu. Dia langsung membungkuk hormat dan membukakan pintu ruangan karena yang datang adalah Kaisar.
“Apa sih yang membuatmu begitu bahagia?” Vaness langsung menyindir begitu melihat wajah Erika. “Ada deh. Kalian gak perku tahu dan hanya perlu membantuku menghabiskan uang,” sahut Erika terkekeh senang. “Dengan segenap hati akan kulakukan,” Lydia memekik riang. Dia sudah memikirkan berbagai jenis camilan. Erika tersenyum riang. Moodnya sedang sangat bagus. Ini semua karena Bima yang terang-terangan mengibarkan bendera perang terhadap saudaranya. Itu sudah sesuai dengan keinginan Erika. Salah satu tujuan utama Erika adalah menghancurkan keluarga Jayantaka dari dalam. Ini adalah salah satu langkah awal, sebelum Bima dan Kaisar saling menghancurkan. “Kuharap aku bisa lebih mempengaruhi Kai,” Erika bergumam pelan. “Kau mengatakan sesuatu?” Cinta yang berjalan paling dekat dengan Erika bertanya. “Tidak. Aku hanya bergumam saja. Sedang berpiki
Erika yang baru saja memarkir mobilnya, terlonjak ketika mendengar suara ketukan di jendela. Itu adalah Bima yang tersenyum lebar menyapanya, bahkan membukakan pintu mobil. “Hai, baru pulang?” tanya Bima tentu hanya basa-basi saja. “Apakah itu pantas disebut pertanyaan?” Erika terdengar sedikit ketus saat menjawabnya. Moodnya yang tadi bagus, kini kembali terjun bebas. “Namanya juga basa-basi,” Bima sama sekali tidak terpengaruh dengan mood Erika. Dia malah ingin mengerjai perempuan itu. “Kenapa sih? Lagi PMS ya?” “Kenapa sih lelaki selalu menganggap perempuan bad mood itu lagi PMS?” Erika mendelik kesal ke arah Bima. “Memangnya gak ada alasan kreatif lain?” “Astaga. Cuma bercanda, Ka,” seru Bima setelah tertawa pelan melihat reaksi ketus pujaannya. “Kalau gitu mau cerita kenapa bad mood?” Erika yang kini tengah menunggui lift, kembali
“Mbak Erika?” “Oh, ya. Kenapa Mbak Mel?” Erika menjawab panggilan itu dengan tergagap. “Kok melamun sih, Mbak?” Imel yang merupakan rekan Erika terkekeh. “Lagi banyak pikiran ya?” “Iya nih. Tahu aja kamu,” jawab Erika tersenyum lebar. “Lagi pikirin siapa? Pak Bima ya?” Imel jelas saja mengambil kesempatan untuk menggoda Erika. Erika sengaja tidak menjawab rekannya itu dan hanya tersenyum saja. Masalahnya akan jadi lebih panjang kalau dia menjawab dan Erika sedang malas berdebat. Dia memang memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan Bima sih. Tapi bukan pria itu yang dipikirkan, melainkan Retno sang ibu. Erika memikirkan pertanyaan perempuan paruh baya itu kemarin. “Terserah.” Itu yang Erika jawab kemarin. Jawaban yang terlalu abu-abu. “Wah, Mbak. Tuh pacarnya datang ngapel.” Erika menoleh ketika mendengar seruan bernada menggoda itu dan tentu saja melihat Bima di sana. Siapa lagi yang bisa disebut Imel sebagai pacar kalau bukan pria itu. Hanya Bima yang mengatakan perasaann
[Erika Bego: Apa kalian masih marah padaku?] Jemari lentik Erika bergerak mulus di atas ponselnya. Sudah tiga hari sejak para sahabatnya ngambek dan belum ada satu pun yang mengirip pesan apa pun di grup atau personal. “Kirim,” gumam Erika sambil menekan tombol kirim. “Yah. Kok gak dibalas sih?” keluh Erika dengan bibir maju, setelah beberapa menit menatap ponselnya. “Apa aku coba godaiin Kaisar saja ya? Aku kan harus lebih gencar lagi padanya.” Erika mengangguk mantap. Perempuan yang sudah menggunakan gaun tidur tipis berbahan satin itu, berbaring menelungkup di atas ranjang empuk dan besarnya. Sudah jam 10 malam, tapi Erika masih belum bisa tidur. “Halo, Sayang.” Erika terkikik geli ketika teleponnya terangkat. “Siapa ini?” terdengar suara mengantuk Kaisar dari seberang sambungan telepon. “Ah, Sayang. Kamu gimana sih? Masa suara pacar sendiri lupa.” Erika pura-pura merajuk, membuat Kaisar terdiam di seberang sana. “Apa kau gila?” kurang dari semenit kemudian, Kaisar sudah
“Kami datang tepat waktu gak?” tanya Retno dengan senyum mengembang, ketika melihat yang empunya rumah membukakan pintu. “Maksudnya apa ya, Bu?” Erika jelas saja bingung dengan pertanyaan itu. “Mama bawaiin sarapan pagi untukmu,” Bima yang menjawab sambil meringis. “Sayang sekali, tapi saya sudah masak dan sementara makan ketika pesan Pak Bima masuk.” Erika menyingkir dari pintu dan membiarkan dua orang itu masuk. Mereka tidak mungkin diminta berdiri di luar kan? Terutama karena Retno terlihat seperti membawa kantongan besar, bahkan Bima juga. “Bimma saja please. Ini bukan di kantor loh,” Bima mengingatkan. “Ada Bu Retno. Saya merasa sungkan.” “Wah, iya. Erika sudah masak mie goreng rupanya.” Kalimat Retno, membuat Bima urung memprotes Erika. Dia kemudian mengikuti jejak sang ibu untuk melihat keadaan dapur. Hal pertama yang Bima lihat memang sepiring mie goreng yang baru dimakan sedikit. Namun rupanya mata Bima cukup jeli. Dia melihat ada dua canngkir di atas island table.
“Pak Kaisar tadi menelepon minta dibawakan mie goreng untuk sarapan pagi. Dari pada beli, saya bawa saja sisa masakan saya.” Retno langsung mendesah lega begitu mendengar jawaban itu. Walau tidak cukup memuaskan, tapi setidaknya tidak terlalu mencurigakan. Dia lupa kalau tidak ada sisa mie, selain yang dipiring. “Boleh Tante ikut mobil kamu gak? Banyak yang ingin Tante tanyakan soal Kaisar.” Erika tak langsung menjawab. Dia sedang mempertimbangkan beberapa hal terlebih dulu, sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin ini jadi kesempatan yang baik untuk mencari tahu beberapa hal atau bisa memprovokasi. “Sudah lama tinggal di sini?” Retno mulai berbicara setelah menelepon putra bungsunya, perihal perubahan rencana dadakan ini. “Apa mengetahui hal itu penting?” Erika menjawab sambil fokus pada jalanan. “Penting gak penting sih.” Retno meringis pelan. “Tolong tanyakan yang amat sangat penting saja,” balas Erika malas sekali melakukan percakapan ini. “Kalau tanya-tanya soal kantor bole
“Apa yang kau lakukan sampai ibuku menempel padamu?” Kaisar menggeram ketika Erika masuk ke ruangannya. “Tanyakan itu pada Pak Bima. Beliau yang membawa Bu Retno ke rumah saya,” Jawab Erika acuh saja, sambil meletakkan berkas yang perlu dikerjakan Kaisar. “Dan bagaimana bisa kau terpergok dengan Bima?” “Nah, itu juga saya ingin tanyakan pada Bu Retno. Sayangnya saya lupa.” “Kau bodoh atau apa sih? Maksud pertanyaanku di sini adalah apa yang kau perbuat dengan Bima, sampai ibuku tahu soal kau.” Erika mengangkat sebelah alisnya. Rasanya tadi pertanyaan Kaisar tidak seperti itu deh. Pria itu jelas-jelas hanya menanyakan ‘bagaimana bisa terpergok,’ bukan ‘apa yang dilakukan saat terpergok.’ “Saya bosan menolak Pak Bima, jadi saya menatang dia untuk mencium saya di tempat umum. Siapa sangka dia benar-benar melakukannya.” Erika memutuskan menjawab dengan nada cuek. Kaisar mengepalkan tangannya yang ada di bawah meja. Sungguh dia tidak suka mendengar hal itu langsung dari mulut sekre