Share

part 1

Denting jam besar yang berada di tembok ruang keluarga itu terasa begitu nyaring saat beberapa pasang mata di sana enggan mengeluarkan suaranya. Mereka, bahkan untuk bernapas saja terasa begitu menyesakkan saat seorang yang baru saja meninggalkan ruang itu kini tak tertampakkan lagi. Tak ada yang bisa mencegah, bahkan sang kepala keluarga sendiri yang biasanya memiliki suara paling berhak untuk didengar, kini sama sekali tak bisa, bahkan untuk sekedar menghentikan langkah putrinya.

“Zilla, kupikir kau akan bermaksud meminang Farrin untuk putra sulungmu,” ujar wanita berambut merah sepanjang panggul itu kepada wanita berambut dark blue yang berada di hadapannya.

“Aku memang bermaksud demikian. Tapi, ini adalah ide putra sulungku itu. Putra pertamaku itu yang mengusulkan untuk melakukan hal ini,” jawabnya.

“Tapi yang ku tahu, Farrin itu keras kepala melebihi ayahnya-”

Yang merasa disebut menolehkan kepala yang berhias surai pirang dan meliriknya dengan tatapan tajam.

“Maaf, Darius. Tapi itu adalah kenyataan,” imbuh wanita berambut merah.

Lelaki berambut pirang bernama Darius itu hanya bisa terdiam. Memang benar ucapan wanita berambut merah yang berstatus istrinya itu bahwa ia keras kepala. Namun, apakah hal itu layak untuk dikatakan secara gamblang di keadaan mencekam seperti ini? bagaimanapun juga, ada calon besan mereka di hadapannya.

“Anu, boleh saya menyusul Farrin? Sepertinya dia tertekan. Jadi saya berniat untuk menghiburnya. Meski tidak bisa mengembalikan keceriaan seperti semula, saya harap dia nanti bisa lebih mengurangi kesedihannya.” Suara dari satu-satunya pemuda di ruang itu membuat tiga pasang mata lain menoleh ke arahnya secara bersamaan. Ketegangan yang mereka alami beberapa saat yang lalu seolah membuat mereka melupakan eksistensi satu pemuda itu.

“Silakan! Aku mengijinkanmu menemuinya di kamar,” ucap Darius. Ia mengizinkan pemuda itu bukan tanpa pertimbangan. Melihat istri dan sahabat yang seolah memiliki pembahasan lebih lanjut, ia memilih untuk mengiyakan permintaan pemuda yang sudah ia kenal dengan baik. Ia yakin, pemuda itu tak akan melakukan hal di luar batas kepada putri keduanya.

“Tapi Margaret-”

“Nazilla, biarkan saja! Aku yakin Vian bisa menjalankan perannya dengan baik.” Perempuan yang berambut merah panjang yang dipanggil Margaret itu memberikan senyum lembutnya pada perempuan berambut navy tadi, bermaksud mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Meski pada kenyataan tak akan ada yang baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Lalu bagaimana setelah ini? Sejujurnya aku sedikit khawatir akan mereka. Tapi, hal ini adalah permintaan Avan sendiri. Ia yang mengajukan ide ini dan berkata bahwa ia ingin melihat kesetiaan Farrin. Jadi, aku menyetujui saja tanpa berpikir lebih banyak. Kau tahu, 'kan, Garet? Semenjak suamiku meninggal, Avan telah mengambil banyak tanggung jawab dalam perusahaan serta menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Terkadang, aku merasa kasihan padanya. Atas yang kulihat selama ini, sebagai kakak ia telah menjadi lebih dari yang kuharapkan. Aku juga senang tentang hubungannya dengan putrimu. Tapi, satu hal yang sama sekali belum kumengerti di sini adalah keputusannya tentang ini,” jelas Nazilla.

Di usianya yang tak lagi muda itu, Nazilla merasa lelah jika dihadapkan pada tingkah putra sulungnya yang terkadang tak bisa ia mengerti. Andai, putra sulungnya itu tak mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan baik, ia pasti akan mengurungnya di kamar dan menceramahinya habis-habisan.

Sayang, ia tak memiliki waktu yang banyak untuk itu karena putra sulungnya itu terburu-buru mengejar jam terbang pesawat yang akan membawanya melintasi benua lain.

“Bisakah kita menyerahkan segala keputusan ini pada mereka? Kau tahu, aku sudah merasa bersalah dengan menyetujui perjodohan ini begitu saja. Aku tak mau membuat diriku lebih menyesal dari ini dengan ikut campur lebih jauh lagi,” ujar yang kini menjadi satu-satunya pria di ruang itu. Semuanya menunduk, ia tahu jika hal ini terdengar kejam.

Bagaimana tidak? Anak-anak mereka memang menjalin hubungan sebelumnya dan kedua keluarga ini ingin memberi kejelasan akan status yang mereka miliki. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk masing-masing dari mereka mengenal satu sama lainnya. Akan tetapi, yang tidak bisa mereka terima dalam pikiran mereka adalah, bagaimana bisa seseorang yang menjalin kasih lebih memilih menyibukkan diri dalam pekerjaan, dan mengalihkan tanggung jawab bertunangan pada adiknya?

Yah, tidak ada yang benar-benar bisa memahami atas isi hati seseorang. Bahkan entah seberapa dekat kau dengannya.

Bahkan, tanpa pengecualian untuk Avan.

Putra yang Nazilla pandang memiliki pandangan yang lebih mapan dan dewasa dari adiknya, Avian. tidak menyangka jika Avan bisa sebegini kekanakan. Nazilla memang mengetahui jika putra sulungnya memiliki suatu sikap yang terkadang melenceng dari pemikiran orang kebanyakan. Namun, ia tak manyangka jika ide ini terlintas di benak anak itu.

Avan meminta ibunya untuk meminangkan kekasihnya. Bukan untuk dia melainkan untuk adik kembarnya dan berdalih jika ia ingin menguji tentang kesetiaan kekasihnya. Hanya dua bulan, itu yang dikatakan. Lalu selama waktu itu ia akan mengurus perusahaan mereka yang memiliki cabang di Paris dan kembali saat hari pernikahan.

Ya! Avan berencana langsung menikahi kekasihnya begitu ia pulang dan merancang scenario ini. Ia yakin, dengan sangat yakin malah. Bahwa saat ia datang, kekasihnya itu akan merasa senang saat melihat ia menunggu di altar, bukan sang adik yang kini ditunangkan dengannya.

Dia benar-benar yakin dengan keputusannya tanpa memikirkan resiko bahkan yang paling kecil dan menyakitkan sekalipun. Mengingat bahwa selama ini kekasihnya itu teramat setia. Sekali pun Avan tidak meragu untuk hal itu. Bukan apa, ia sudah seringkali menguji kesetiaan kekasihnya dan ia berjanji jika ini adalah yang terakhir ia melakukan hal itu.

Sekali lagi, dia lupa akan satu hal yang paling umum.

Bahwa akan ada saatnya seseorang memiliki titik lelah dan menyerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status