Denting jam besar yang berada di tembok ruang keluarga itu terasa begitu nyaring saat beberapa pasang mata di sana enggan mengeluarkan suaranya. Mereka, bahkan untuk bernapas saja terasa begitu menyesakkan saat seorang yang baru saja meninggalkan ruang itu kini tak tertampakkan lagi. Tak ada yang bisa mencegah, bahkan sang kepala keluarga sendiri yang biasanya memiliki suara paling berhak untuk didengar, kini sama sekali tak bisa, bahkan untuk sekedar menghentikan langkah putrinya.
“Zilla, kupikir kau akan bermaksud meminang Farrin untuk putra sulungmu,” ujar wanita berambut merah sepanjang panggul itu kepada wanita berambut dark blue yang berada di hadapannya.
“Aku memang bermaksud demikian. Tapi, ini adalah ide putra sulungku itu. Putra pertamaku itu yang mengusulkan untuk melakukan hal ini,” jawabnya.
“Tapi yang ku tahu, Farrin itu keras kepala melebihi ayahnya-”
Yang merasa disebut menolehkan kepala yang berhias surai pirang dan meliriknya dengan tatapan tajam.
“Maaf, Darius. Tapi itu adalah kenyataan,” imbuh wanita berambut merah.
Lelaki berambut pirang bernama Darius itu hanya bisa terdiam. Memang benar ucapan wanita berambut merah yang berstatus istrinya itu bahwa ia keras kepala. Namun, apakah hal itu layak untuk dikatakan secara gamblang di keadaan mencekam seperti ini? bagaimanapun juga, ada calon besan mereka di hadapannya.
“Anu, boleh saya menyusul Farrin? Sepertinya dia tertekan. Jadi saya berniat untuk menghiburnya. Meski tidak bisa mengembalikan keceriaan seperti semula, saya harap dia nanti bisa lebih mengurangi kesedihannya.” Suara dari satu-satunya pemuda di ruang itu membuat tiga pasang mata lain menoleh ke arahnya secara bersamaan. Ketegangan yang mereka alami beberapa saat yang lalu seolah membuat mereka melupakan eksistensi satu pemuda itu.
“Silakan! Aku mengijinkanmu menemuinya di kamar,” ucap Darius. Ia mengizinkan pemuda itu bukan tanpa pertimbangan. Melihat istri dan sahabat yang seolah memiliki pembahasan lebih lanjut, ia memilih untuk mengiyakan permintaan pemuda yang sudah ia kenal dengan baik. Ia yakin, pemuda itu tak akan melakukan hal di luar batas kepada putri keduanya.
“Tapi Margaret-”
“Nazilla, biarkan saja! Aku yakin Vian bisa menjalankan perannya dengan baik.” Perempuan yang berambut merah panjang yang dipanggil Margaret itu memberikan senyum lembutnya pada perempuan berambut navy tadi, bermaksud mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Meski pada kenyataan tak akan ada yang baik-baik saja seperti sebelumnya.
“Lalu bagaimana setelah ini? Sejujurnya aku sedikit khawatir akan mereka. Tapi, hal ini adalah permintaan Avan sendiri. Ia yang mengajukan ide ini dan berkata bahwa ia ingin melihat kesetiaan Farrin. Jadi, aku menyetujui saja tanpa berpikir lebih banyak. Kau tahu, 'kan, Garet? Semenjak suamiku meninggal, Avan telah mengambil banyak tanggung jawab dalam perusahaan serta menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Terkadang, aku merasa kasihan padanya. Atas yang kulihat selama ini, sebagai kakak ia telah menjadi lebih dari yang kuharapkan. Aku juga senang tentang hubungannya dengan putrimu. Tapi, satu hal yang sama sekali belum kumengerti di sini adalah keputusannya tentang ini,” jelas Nazilla.
Di usianya yang tak lagi muda itu, Nazilla merasa lelah jika dihadapkan pada tingkah putra sulungnya yang terkadang tak bisa ia mengerti. Andai, putra sulungnya itu tak mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan baik, ia pasti akan mengurungnya di kamar dan menceramahinya habis-habisan.
Sayang, ia tak memiliki waktu yang banyak untuk itu karena putra sulungnya itu terburu-buru mengejar jam terbang pesawat yang akan membawanya melintasi benua lain.
“Bisakah kita menyerahkan segala keputusan ini pada mereka? Kau tahu, aku sudah merasa bersalah dengan menyetujui perjodohan ini begitu saja. Aku tak mau membuat diriku lebih menyesal dari ini dengan ikut campur lebih jauh lagi,” ujar yang kini menjadi satu-satunya pria di ruang itu. Semuanya menunduk, ia tahu jika hal ini terdengar kejam.
Bagaimana tidak? Anak-anak mereka memang menjalin hubungan sebelumnya dan kedua keluarga ini ingin memberi kejelasan akan status yang mereka miliki. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk masing-masing dari mereka mengenal satu sama lainnya. Akan tetapi, yang tidak bisa mereka terima dalam pikiran mereka adalah, bagaimana bisa seseorang yang menjalin kasih lebih memilih menyibukkan diri dalam pekerjaan, dan mengalihkan tanggung jawab bertunangan pada adiknya?
Yah, tidak ada yang benar-benar bisa memahami atas isi hati seseorang. Bahkan entah seberapa dekat kau dengannya.
Bahkan, tanpa pengecualian untuk Avan.
Putra yang Nazilla pandang memiliki pandangan yang lebih mapan dan dewasa dari adiknya, Avian. tidak menyangka jika Avan bisa sebegini kekanakan. Nazilla memang mengetahui jika putra sulungnya memiliki suatu sikap yang terkadang melenceng dari pemikiran orang kebanyakan. Namun, ia tak manyangka jika ide ini terlintas di benak anak itu.
Avan meminta ibunya untuk meminangkan kekasihnya. Bukan untuk dia melainkan untuk adik kembarnya dan berdalih jika ia ingin menguji tentang kesetiaan kekasihnya. Hanya dua bulan, itu yang dikatakan. Lalu selama waktu itu ia akan mengurus perusahaan mereka yang memiliki cabang di Paris dan kembali saat hari pernikahan.
Ya! Avan berencana langsung menikahi kekasihnya begitu ia pulang dan merancang scenario ini. Ia yakin, dengan sangat yakin malah. Bahwa saat ia datang, kekasihnya itu akan merasa senang saat melihat ia menunggu di altar, bukan sang adik yang kini ditunangkan dengannya.
Dia benar-benar yakin dengan keputusannya tanpa memikirkan resiko bahkan yang paling kecil dan menyakitkan sekalipun. Mengingat bahwa selama ini kekasihnya itu teramat setia. Sekali pun Avan tidak meragu untuk hal itu. Bukan apa, ia sudah seringkali menguji kesetiaan kekasihnya dan ia berjanji jika ini adalah yang terakhir ia melakukan hal itu.
Sekali lagi, dia lupa akan satu hal yang paling umum.
Bahwa akan ada saatnya seseorang memiliki titik lelah dan menyerah.
“Aku tak akan meminta izin untuk diperbolehkan masuk olehmu atau tidak. Aku juga akan menunggu, jika dalam waktu lima menit kau tak membukakan pintu untukku, aku akan masuk. Aku sudah mendapat kunci duplikat kamarmu,” ujar Vian. Ia tahu jika dirinya kini tengah was-was karena takut ketahuan berbohong atas ucapannya.Jujur saja, kini Vian tengah mencoba peruntungan. Ia berbohong jika ia memegang kunci duplikat pintu kamar yang ada di hadapannya, yang nyatanya tak ia pegang sama sekali. Selain itu, ia juga memikirkan tentang celah kecil dari ancamannya. Ia tahu jika kunci tidak akan berfungsi dari luar jika dari dalam masih ada kunci yang menggantung.Namun, jika memikirkan kondisi Farrin yang kacau tadi, ia berharap jika Farrin lengah dan menanggapi ucapannya tanpa berpikir. Ia memang tak mengenal Farrin secara dekat dan tak lebih dekat dari Avan, kakaknya. Akan tetapi, waktu empat tahun juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu beberapa hal tentang gadis be
Farrin masih tetap dengan pandangannya keluar jendela café yang kini tengah ia gunakan untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tentu saja, ia masih belum tenang akibat berita pertunangannya yang begitu mengejutkan itu. Pun masih tak habis pikir, bagaimana bisa kekasih yang telah menjalin kasih selama tiga tahun ini dengannya bisa digantikan hanya dengan waktu satu malam saja tanpa pemberitahuan sebelum itu. Jangankan untuk pemberitahuan, bahkan untuk kata putus saja tidak ada di antara mereka. Memang, ia telah mengenal Vian jauh hari sebelum ini, tetapi tetap saja hal ini tak dapat ia terima dengan mudah.Memang kau masih bisa menerima pertunangan dengan adik kekasihmu, di saat yang bahkan kau saja ingat jika tidak ada masalah di antara kalian?Heol! Jika saja bukan adik dari kekasih yang kini menjadi tunangannya, ia tak akan merasa sakit lebih dari ini. Ia akan lebih menerima jika yang ditunangkan dan dijodohkan dengannya adalah orang lain.Di
“Aku tahu kau masih belum menerima tentang semua ini. Tapi aku mohon, jangan terlalu dipikirkan tentang pertunangan kita,” ucapnya.Farrin menatap bola mata sehitam arang di hadapannya ini dengan tatapan menyelidik. Beberapa hari ini, ia memang terlalu memporsir tenaga untuk memikirkan pertunangannya. Hingga ia merasa jika badannya lebih ringan karena nafsu makan yang menurun. Juga, ia harus mempersiapkan mental untuk pernikahan yang akan dijalaninya kurang dari dua bulan mendatang.“Aku tahu, mungkin aku sama sekali belum layak untuk menjadi pendamping kakakmu, Vian. tapi kau juga mengenalku dengan baik bahwa aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa layak bersanding dengannya. Lalu. apakah aku sangat kurang sempurna hingga Vian tidak mau aku bersanding dengannya dan memilih untuk pergi dariku, Vi? Selama ini aku yakin jika aku sama sekali tidak memiliki kesalahan yang fatal padanya.”Pria yang duduk di depannya itu, Vian, tidak tahu
“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu tela
Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi putra sulungnya itu dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat hatinya menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sbagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.“Ibu jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.” Begitulah jawaban yang di lo
Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.“Turunkan aku!” pekik Farrin.Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jik
Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.Ia tahu.Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pe
[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]Send“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah