Farrin masih tetap dengan pandangannya keluar jendela café yang kini tengah ia gunakan untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tentu saja, ia masih belum tenang akibat berita pertunangannya yang begitu mengejutkan itu. Pun masih tak habis pikir, bagaimana bisa kekasih yang telah menjalin kasih selama tiga tahun ini dengannya bisa digantikan hanya dengan waktu satu malam saja tanpa pemberitahuan sebelum itu. Jangankan untuk pemberitahuan, bahkan untuk kata putus saja tidak ada di antara mereka. Memang, ia telah mengenal Vian jauh hari sebelum ini, tetapi tetap saja hal ini tak dapat ia terima dengan mudah.
Memang kau masih bisa menerima pertunangan dengan adik kekasihmu, di saat yang bahkan kau saja ingat jika tidak ada masalah di antara kalian?
Heol! Jika saja bukan adik dari kekasih yang kini menjadi tunangannya, ia tak akan merasa sakit lebih dari ini. Ia akan lebih menerima jika yang ditunangkan dan dijodohkan dengannya adalah orang lain.
Di mana hati mereka? Semudah inikah mempermainkan perasaan seseorang?
Padahal keluarganya dan keluarga kekasihnya sangat dan amat tahu jika mereka tengah menjalin kasih. Lalu, dengan seenak hati merubah status mereka menjadi tunangan tentu dengan merubah orang yang akan ditunangkan juga. Lagi, kabar yang lebih menyakitkan adalah kekasihnya pergi di hari yang sama dengan waktu ia ditunangkan. Sebegitu tak inginnyakah pria itu?
Padahal jika dipikir, kurang apa ia selama ini?
Ia telah cukup sabar mengahdapi kekasihnya. Ia sudah meminimalisir pertengkaran di antara mereka. Ia juga sudah belajar lebih banyak untuk bersikap lebih dewasa dan berusaha menjadi calon istri yang lebih baik. Apakah hal itu masih kurang? Ia bahkan yakin jika calon ibu mertuanya itu –yang artinya ibu dari kekasihnya--- dengan terang-terangan telah menyetujuinya dengan putranya.
Atau sebenarnya hidupnya hanya bisa begini? Hanya bisa terus disakiti tanpa dia bisa memilih?
Ia bahkan masih ingat dengan hubungannya dengan dua pria sebelum ini. Pertama ia di duakan, dan yang kedua, ia ditinggalkan begitu saja karena perjodohan.
Cih!
Perjodohan lagi.
Tak adakah hal lain selain perjodohan?
Karena sepertinya ia merasa muak dengan kata itu.
Kata yang mengungkapkan tentang ketidakberdayaan melawan manusia yang lebih tua dari segi umur darinya, dan berlaku seenaknya dengan dalih kebaikan untuk anak mereka.
Heh!
Ia janji, jika kelak ia memiliki anak, ia tak akan menggunakan kata perjodohan untuk anak-anaknya. Ia akan membebaskan apa yang ingin anaknya raih. Bagaimanapun keadaannya. Ia juga berjanji siapapun pasangannya nanti, akan ia layani sepenuh hati. Ia tak ingin menyesal di tengah jalan dengan menyia-nyiakan hal yang ada di hadapannya. Sebenarnya ia juga tak ingin naïf jika ia menginginkan kebahagiaan, tetapi, yang pelajari sejak kecil bahwa kebahagiaan akan datang jika ia menjalani hidup apa adanya dan mengikuti kata hatinya. Memang, bagi sebagian orang ia dinilai terlalu keras kepala. Tapi beginilah caranya. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya, itu saja.
Lalu dengan menerima orang yang kali ini digadang-gadang akan menjadi pendampingnya di waktu kurang dari dua bulan ke depan adalah keputusannya.
I let my guard down and then you pull the rug,
I was getting kinda used to being someone you loved.
Seakan ditertawakan, diejek, dan dicela oleh dua baris syair yang tentunya ia faham artinya, Farrin merasa jika ia pun begitu. Tak ada ubahnya dengan lagu yang sekilas ia dengarkan dari audio café yang diputar dalam playlist mereka. Ia yang mengingat detail dengan baik jika akhir-akhir ini mereka sama sekali tak memiliki masalah berarti. Namun, bukan berarti mereka tak pernah memiliki masalah selama menjalin hubungan.
Bukan!
Bukan begitu.
Mereka pernah beberapa kali cekcok atau berseteru tentang beberapa hal. Setelah itu tak akan lama sebab mereka kemudian menyelesaikannya dengan baik-baik. Tidak seperti sekarang ini. Di mana mereka baik-baik saja. Namun, tiba-tiba dia pergi dan meninggalkannya tanpa kejelasan dan penjelasan sama sekali. Malah, dengan tidak etisnya kekasihnya merelakan ia bertunangan dan akan menikah dengan adiknya.
Dalam benaknya, apakah Avan sudah tak memiliki keberanian atau setidaknya hal untuk memperjuangkan ia di hadapan orang tua mereka? Hingga mereka menyerah akan keputusan ibunya yang lebih menginginkan jika ia bersanding dengan Vian?
Jika begini pun, ia hanya bisa insecure.
Tentu saja ia tak akan bisa menandingi pesona kakaknya yang hebat di segala bidang hingga mendapat kepercayaan dari orang tua mereka untuk melanjutkan bisnis property yang sudah berkembang itu. Ia yang tak tertarik sama sekali dengan dunia bisnis seperti kakaknya hanya bisa menjadi seorang guru di salah satu playgroup terkemuka di kotanya. Jangan salah, karena nyatanya menjadi salah satu pengajar di sana haruslah mengikuti seleksi ketat dan tidak bisa menerima orang sembarangan karena playgroup tersebut terkenal akan kualitasnya hingga banyak dilirik oleh pengusaha yang ingin penerus mereka mendapat pendidikan terbaik.
Tetapi tetap saja, penghasilannya tidak akan dapat menandingi pendapatan kakaknya sebagai seorang manager, ‘kan? Hal itulah yang membuatnya seakan dipandang sebelah mata. Tak hanya oleh orang tua, melainkan oleh beberapa orang di sekitarnya juga. Meski yang terlihat kedua orang tuanya tak mempermasalahkan hal itu, ia bisa menangkap gelagat tak mengenakkan karena meski mereka menyembunyikannya terlalu baik, ia tetap dapat melihat betapa raut kecewa itu tersirat di pandangan mereka. Apa lagi dengan pernikahan kakaknya dengan seorang yang memiliki jabatan yang sama, seorang pewaris. Hal itu juga menambah beban pikir Farrin.
Ia bisa mengerti akan hal itu. Karena pasti setiap orang tua ingin anaknya memiliki karir yang sukses dan masa depan yang cerah dengan gaji besar dan pasangan yang tak jauh darinya. Sedang ia? Hampir mendapat yang setara suami kakaknya, malah terbelokkan dan mendapat kepala divisi.
Ah, mungkin juga calon mertuanya malu mendapat menantu yang hanya seorang guru hingga merasa tak layak jika disandingkan dengan putranya yang luar biasa itu.
Akan tetapi, apakah memang benar begitu sesuai dengan pemikirannya ini?
“Aku lelah. Kepalaku terasa panas. Sepertinya hal ini bukan hal baik jika aku berlanjut memikirkan keadaanku. Pasti anak-anak akan terkena imbasnya,” bisiknya yang entah pada siapa.
Farrin memang sangat menyukai anak-anak dan segalanya tentang dunia kecil mereka hingga ia memutuskan untuk mengambil jalan ini. Ia tak menyesal, sungguh! Karena ia bahkan rela menanggung tekanan ini begitu lama. Sekarang, hal itu terbayar. Hanya dengan melihat murid-murid kecil itu ia bisa melepaskan segala beban yang selama ini menggelayuti pundaknya.
Lalu sepertinya, ia juga akan melakukan hal itu pada keadaannya sekarang.
Ia tak boleh berlama-lama terlarut dalam kesedihan akibat ditinggal kekasihnya pergi. Sama seperti ia melupakan pandangan mereka terhadapnya, begitu pula ia akan melakukannya.
Karena setelah ini bertekad jika ia akan menerima siapa pun tunangannya dan mencoba menerimanya apa adanya. Lagi pula ia pikir hal itu tidak terlalu buruk sama sekali. Ia bisa menerima perlahan, memulai kembali dan menjadi istri yang baik di waktu yang kurang dari dua bulan ini. Karena ia yakin, pernikahan mereka akan tetap berlangsung bagaimanapun keadaannya. Ia juga yakin jika sama sekali tak akan bisa menolak apapun alasan yang ia lontarkan pada mereka.
Karena memang sedari dulu selalu begitu. Tak akan ada yang menganggap penting dan mendengar pendapatnya.
“Boleh aku duduk di sini? Tempat lain sudah penuh dan hanya kau orang yang kukenal dan memiliki bangku kosong untuk kududuki.”
Farrin yang menghentikan lamunannya karena sebuah suara yang masuk indera pendengaran kini mendongakkan kepalanya. Ia bisa melihat jika suasana café sudah lebih ramai dari kedatangannya tadi itu hanya bisa membenarkan ucapan pemuda bertubuh jakung tersebut. Dengan perlahan, ia menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan pemuda itu duduk di hadapannya.
“Terima kasih sudah mengizinkanku untuk duduk di sini,” ucapnya pada Farrin.
“Sama-sama.”
Farrin tahu, inilah langkah awal yang seharusnya ia jalani.
Karena mungkin setelahnya, ia akan melangkah ke depan dan membuang semua hal di awal sebelum ini.
“Aku tahu kau masih belum menerima tentang semua ini. Tapi aku mohon, jangan terlalu dipikirkan tentang pertunangan kita,” ucapnya.Farrin menatap bola mata sehitam arang di hadapannya ini dengan tatapan menyelidik. Beberapa hari ini, ia memang terlalu memporsir tenaga untuk memikirkan pertunangannya. Hingga ia merasa jika badannya lebih ringan karena nafsu makan yang menurun. Juga, ia harus mempersiapkan mental untuk pernikahan yang akan dijalaninya kurang dari dua bulan mendatang.“Aku tahu, mungkin aku sama sekali belum layak untuk menjadi pendamping kakakmu, Vian. tapi kau juga mengenalku dengan baik bahwa aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa layak bersanding dengannya. Lalu. apakah aku sangat kurang sempurna hingga Vian tidak mau aku bersanding dengannya dan memilih untuk pergi dariku, Vi? Selama ini aku yakin jika aku sama sekali tidak memiliki kesalahan yang fatal padanya.”Pria yang duduk di depannya itu, Vian, tidak tahu
“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu tela
Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi putra sulungnya itu dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat hatinya menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sbagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.“Ibu jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.” Begitulah jawaban yang di lo
Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.“Turunkan aku!” pekik Farrin.Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jik
Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.Ia tahu.Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pe
[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]Send“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah
Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu pe
Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dip