“Aku tak akan meminta izin untuk diperbolehkan masuk olehmu atau tidak. Aku juga akan menunggu, jika dalam waktu lima menit kau tak membukakan pintu untukku, aku akan masuk. Aku sudah mendapat kunci duplikat kamarmu,” ujar Vian. Ia tahu jika dirinya kini tengah was-was karena takut ketahuan berbohong atas ucapannya.
Jujur saja, kini Vian tengah mencoba peruntungan. Ia berbohong jika ia memegang kunci duplikat pintu kamar yang ada di hadapannya, yang nyatanya tak ia pegang sama sekali. Selain itu, ia juga memikirkan tentang celah kecil dari ancamannya. Ia tahu jika kunci tidak akan berfungsi dari luar jika dari dalam masih ada kunci yang menggantung.
Namun, jika memikirkan kondisi Farrin yang kacau tadi, ia berharap jika Farrin lengah dan menanggapi ucapannya tanpa berpikir. Ia memang tak mengenal Farrin secara dekat dan tak lebih dekat dari Avan, kakaknya. Akan tetapi, waktu empat tahun juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu beberapa hal tentang gadis berambut pirang panjang tersebut.
Cklek!
Vian banyak berucap syukur dalam hatinya karena Farrin masih mau untuk membukakan pintu untuknya. Setidaknya, ia harus berbicara beberapa patah kata agar suasana hatinya membaik. Ia tahu, ia menyayangkan sikap Avan yang dengan seenaknya mengambil keputusan begitu saja tanpa meminta pendapat ia atau ibunya. Namun, untuk ikut campur terlalu dalam dan membuat Farrin semakin terpuruk, tentu hal itu bukan hal yang bagus sama sekali. Jadi, ia memilih untuk sedikit menghibur suasana hati wanita itu.
“Boleh aku masuh ke kamarmu? Kita perlu bicara,” ujar Vian. Ia masih berdiri di pintu kamar Farran dan tak berani masuk tanpa dipersilahkan si empu kamar. Lagi pula, ini pertama kali ia menginjakkan kaki ke wilayah pribadi wanita yang menjadi kekasih kakak kembarnya itu.
Farrin mengangguk pelan, ia masih menundukkan kepala dengan isakan sudah tak terdengar lagi di telinga Vian. Begitu ia membukakan pintu untuk Vian, ia langsung berbalik dan berjalan pelan ke dalam kamarnya. Jujur saja, Farrin tak ingin sosok lemahnya begitu terlihat di mata lelaki yang mulai malam ini menjadi tunangannya secara sepihak itu.
“Duduklah di mana pun kau mau!” perintahnya.
Vian mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya dan yakin jika Farrin sama sekali tak akan tahu jika ia mengangguk. Jujur saja, ia tak pernah masuk ke dalam kamar wanita mana pun selain ibunya sebelum ini. Ia mengagumi tatanan kamar Farrin yang terlihat minimalis untuk ukuran wanita yang beranjak dewasa sepertinya. Dulu, ia pernah mendengar jika Farrin tak banyak mengoleksi banyak hal, dan ia kini percaya jika pernyataan itu benar adanya. Tak banyak barang di ruangannya. Sebagian adalah barang yang benar-benar selalu dibutuhkan dan umum untuk berada di kamar. Seperti buku-buku, laptop, dan beberapa barang perempuan seperti boneka.
Boneka? Oh, sepertinya wanita itu begitu menyukai boneka kelinci hingga di kamarnya ini terlihat beberapa boneka kelinci dengan berbeda bentuk, pose dan warna. Ada yang berwarna biru, ungu, dan merah muda.
“Boleh aku duduk di sofa?” tanya Vian setelah matanya melihat siluat sebuah sofa tunggal yang berada tak jauh dari ranjangnya. Dari sana, ia bisa menyimpulkan jika sofa itu biasa Farrin gunakan untuk membaca. Terbukti dari adanya rak buku yang berada di dekat sofa itu.
Farrin mengangguk dan bergumam pelan jika ia memperbolehkan Vian duduk di sana. Vian mendengarnya. Setelah itu, ia langsung mendudukkan dirinya di sofa berwarna biru gelap tersebut.
“Maaf, aku tak punya kudapan untuk disuguhkan padamu. Aku juga terlalu malas untuk ke dapur dan mengambilkan untukmu,” ucap Farrin. Ia memang jarang membawa kudapan ke dalam kamarnya. Selain faktor malas, ia juga tidak ingin mengalami obesitas ataupun kelebihan kadar gula karena kudapan manis. Ia hanya akan mengambilnya di dapur hanya untuk saat-saat tertentu.
“Tak masalah untukku, lagi pula aku di sini untuk berbincang. Tak masalah jika tak ada kudapan atau minuman, aku sudah kenyang karena tadi kita telah makan bersama.”
Farrin masih menundukkan wajahnya. Ia masih malu untuk sekedar mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah eksistensi pria yang berusia tujuh menit lebih muda dari kekasihnya itu. Ah, atau mungkin bisa dikatakan mantan kekasih untuk saat ini?
Hening melingkupi keadaan mereka untuk beberapa saat. Farrin tahu, pemuda itu lebih pendiam ketimbang kakak kembarnya. Lalu, ia juga bingung ingin berbicara apa untuk memecah keheningan di antara mereka. Meski sudah beberapa menit berlalu sejak Vian duduk di sofa, ia sama sekali belum membuka mulutnya untuk berbicara seperti tujuan awalnya ke sini.
“Jika tak ada yang kau katakan, sebaiknya temui keluargamu agar aku bisa istirahat!” sarkas Farrin.
Vian mengerti, kata-kata itu adalah kata pengusir untuknya karena ia tak segera membuka percakapan pada gadis yang kini tengah duduk di ranjang itu. Ia sebenarnya tak tahu harus memulai dari mana, yang jelas, kini ia tengah mencari topic pembicaraan yang pas.
“Maaf,” ucap Vian. Ia memang bingung atas apa yang akan dikatakannya. Akhirnya, hanya ucapan maaflah yang bisa keluar dari mulutnya saat ini.
“Untuk?” tanya Farrin.
“Kakakku.”
“Mengapa kau yang meminta maaf? Jika memang kakakmu yang merasa bersalah, maka dialah yang harus meminta maaf. Bukan dirimu.”
“Aku tahu. Tapi aku juga ikut andil karena aku tak berusaha lebih keras untuk mencegahnya melakukan hal ini.”
Farrin menunduk, ia tahu jika Vian lah yang akan meminta maaf karena ia telah mengetahui tabiat calon adik iparnya itu. Ah, atau bisa di bilang kini calon suaminya karena pria itu telah menjadi tunangannya.
“Itu bukan salahmu. Lebih keras membujuknya atau tidak sama sekali, itu tak akan merubah apapun. Avan sangat keras kepala. Aku juga tak yakin jika ada yang bisa membuat keputusan yang ia buat berubah dalam hitungan menit.”
“Ya, seperti itulah kakak.” Avan tersenyum. Memang benar apa yang diucapkan oleh wanita itu tentang kakaknya. Tentu saja, apa yang akan kau harapkan dengan hubungan mereka yang tidak sebentar itu?
“Boleh kutahu di mana ia sekarang?”
Vian menghembus nafasnya dengan pelan. Ia tak tahu apakah jawabannya ini berdampak buruk atau tidak untuk calon kakak iparnya ini. “Dia telah terbang ke New York. Mungkin sudah lepas landas lima belas menit yang lalu. Sebelum ke sini, kami mengantarkan dia terlebih dahulu ke bandara,” ujarnya.
Air mata yang sebelumnya telah berhenti kini kembali mengalir lagi di pipi tirus milik Farrin. Vian menyadarinya. Namun, ia baru menyadari malam ini jika pipi Farrin lebih tirus dari terakhir mereka bertemu satu tahun yang lalu.
Sebelum ini, Avan memang menghindari Farrin karena mendengar kabar jika kakaknya akan meminang Farrin dalam jangka waktu dekat. Setelah kabar itu, ia memilih untuk menenangkan hatinya dan pergi ke negeri Paman Sam dengan dalih mengurus perusahaan yang kini berganti kakaknya yang mengurusnya karena beberapa hal dan ia ditugaskan kembali ke perusahaan lama menjadi karyawan biasa.
Lalu, tanpa disadari siapapun juga, ia diam-diam telah menaruh hati pada calon kakak iparnya ini. Jadi, boleh ia berharap lebih meski pada nyatanya nanti ia tak akan mendapatkannya? Ia ingin menikmati saat-saat menjadi tunangan Farrin walau hanya sebentar saja.
Farrin masih tetap dengan pandangannya keluar jendela café yang kini tengah ia gunakan untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tentu saja, ia masih belum tenang akibat berita pertunangannya yang begitu mengejutkan itu. Pun masih tak habis pikir, bagaimana bisa kekasih yang telah menjalin kasih selama tiga tahun ini dengannya bisa digantikan hanya dengan waktu satu malam saja tanpa pemberitahuan sebelum itu. Jangankan untuk pemberitahuan, bahkan untuk kata putus saja tidak ada di antara mereka. Memang, ia telah mengenal Vian jauh hari sebelum ini, tetapi tetap saja hal ini tak dapat ia terima dengan mudah.Memang kau masih bisa menerima pertunangan dengan adik kekasihmu, di saat yang bahkan kau saja ingat jika tidak ada masalah di antara kalian?Heol! Jika saja bukan adik dari kekasih yang kini menjadi tunangannya, ia tak akan merasa sakit lebih dari ini. Ia akan lebih menerima jika yang ditunangkan dan dijodohkan dengannya adalah orang lain.Di
“Aku tahu kau masih belum menerima tentang semua ini. Tapi aku mohon, jangan terlalu dipikirkan tentang pertunangan kita,” ucapnya.Farrin menatap bola mata sehitam arang di hadapannya ini dengan tatapan menyelidik. Beberapa hari ini, ia memang terlalu memporsir tenaga untuk memikirkan pertunangannya. Hingga ia merasa jika badannya lebih ringan karena nafsu makan yang menurun. Juga, ia harus mempersiapkan mental untuk pernikahan yang akan dijalaninya kurang dari dua bulan mendatang.“Aku tahu, mungkin aku sama sekali belum layak untuk menjadi pendamping kakakmu, Vian. tapi kau juga mengenalku dengan baik bahwa aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk bisa layak bersanding dengannya. Lalu. apakah aku sangat kurang sempurna hingga Vian tidak mau aku bersanding dengannya dan memilih untuk pergi dariku, Vi? Selama ini aku yakin jika aku sama sekali tidak memiliki kesalahan yang fatal padanya.”Pria yang duduk di depannya itu, Vian, tidak tahu
“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih selama beberapa tahun. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”“Sudah kubilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”“Salah! Tentu saja kau salah!” pekik Vian. Ia reflek memekik karena pertanyaan Farrin. Bagi Vian, tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya salah di satu sisi, dan itu di bagian Avan.“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu tela
Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi putra sulungnya itu dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat hatinya menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sbagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.“Ibu jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.” Begitulah jawaban yang di lo
Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.“Turunkan aku!” pekik Farrin.Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jik
Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.Ia tahu.Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pe
[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]Send“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah
Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu pe