Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.
“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.
Ia tahu.
Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.
“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”
Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.
“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pendampingku.”
Meski saat makan siang tadi Farrin telah mengatakan jika ia menerima Vian, Farrin masih menyimpan sebuah rasa yang janggal tentang hal itu. Ia masih merasa jika hatinya sama sekali belum terbuka untuk orang yang menjadi tunangannya saat ini. Namun, ia juga tak memungkiri jika ada sesuatu yang membuatnya harus melanjutkan hal yang telah berjalan ini.
Ia tahu dirinya munafik, atau bahkan yakin jika ia sangat menjunjung tinggi materi dan martabat keluarganya. Ia akui juga dulu ia menerima pernyataan cinta Avan semata-mata agar ia bisa melihat kedua orang tuanya mengatakan bangga padanya.
Ya! Sedari awal, bukan cinta yang mendasari hubungan Farrin dengan Avan. Melainkan kondisi Avan lah yang membuatnya menerima pemuda itu. Bagaimana tidak? Di usia muda ia telah mendapat jabatan CEO sebuah perusahaan besar --meski pada kenyataannya ia mendapatkannya karena terpaksa akibat kematian ayahnya--- dan hal itu ia pertimbangkan karena mungkin dengan begitu orang tuanya akan memandangnya sama dengan kakaknya.
Lagi-lagi kakaknya.
Orang yang selalu orang tuanya banggakan karena prestasinya sejak usia belia, pergaulan yang luas, dan sekarang ditambah dengan memiliki pasangan yang memiliki jabatan baik di perusahaan.
Jujur saja, ia iri pada kakaknya.
Padahal, meski tak memiliki pergaulan yang luas seluas kakaknya, ia juga memiliki prestasi yang tak kalah membanggakan. Namun, orang tuanya sama sekali menganggap hal itu bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Mereka hanya memandang biasa akan hal itu. Menganggap bahwa hal itu adalah hal yang seharusnya ia lakukan. Ia tak pernah mengecewakan mereka. Meski pada akhirnya, mereka sering membuatnya kecewa dengan mengabaikan semua hal yang selalu ia usahakan untuk menyenangkan mereka.
Puncaknya, saat ia malah memilih menjadi tenaga pengajar.
Ia memang memiliki rasa ketertarikan tersendiri kepada anak-anak hingga ia memilih jurusan ilmu pendidikan di universitasnya, tentunya dengan mengabaikan permintaan orang tua yang meminta untuk memasuki jurusan bisnis seperti kakaknya. Hal itu telak menjadi pukulan berat untuk mereka di kala itu. Meski pada akhirnya diterima di sebuah sekolah paling bergengsi pun tak bisa memberi Farrin muka dari kedua orang tuanya.
Lalu kedatangan Avan, membuatnya kembali mendapatkan hal itu, muka dan atensi dari orang tuanya. Karena latar belakang keluarga Avan yang masih merupakan sahabat mereka di masa Junior High, hingga Avan yang merupakan CEO. Hal itu mendapatkan perhatian dan sebuah penerimaan yang besar dari mereka. Setidaknya, kehadiran Avan menjadi hal yang membuat orang tuanya memandangnya kembali. Ia tahu, orang tuanya tidak bermaksud kejam. Mereka hanya tidak bisa mengapresiasikan rasa sayang dan mengatakan padanya jika orang tuanya ingin kehidupan dirinya di esok hari menjadi layak dan terjamin. Setidaknya, begitulah pikir Farrin.
Mengenai Avan, ia sama sekali tak menyangka jika senior masa kuliah itu menaruh hati dan memberikan atensi padanya. Avan pernah mengatakan Farrin jika lelaki itu telah mengetahui dan mengenalnya sejak ia menjadi mahasiswa baru di universitas. Sayangnya, Avan tidak berani mendekatinya karena ia tak yakin akan waktu karena kesibukan yang seakan dikejar untuk belajar mengenai bisnis dari orang kepercayaan ayahnya dulu. Begitu Avan telah mendapat waktu yang sedikit longgar, barulah ia berani mendekati Farrin. Setelah itu, setahun setelah pendekatan mereka, Avan meresmikan hubungan mereka.
Farrin juga telah mengetahui jika Avan memiliki seorang kembaran yang tak jauh berbeda dengannya. Seorang adik kembar yang hanya memiliki perbedaan di model rambut belakang mereka. Avan yang memiliki kuncir panjang, dan adik kembarnya yang memilih model undercut. Ia juga tahu jika adik Avan sama sepertinya, sama-sama bukan prioritas. Karena kejadian ini, ia semakin yakin jika kali ini ia benar-benar tak memiliki lagi hal yang bisa membuat orang tuanya memandang dengan layak lagi.
Akan tetapi, sudahlah!
Biarkan saja hal ini terjadi.
Mungkin, inilah saatnya ia menyerah.
Menyerah untuk menyenangkan keluarganya karena pada kenyataannya menjalin hubungan dengan Avan merupakan hal cukup membuatnya mengurasnya emosi. Avan yang masih dengan tingkah kekanak-kanakan dan tak jarang ia harus menahan kesal akibat perlakuan pria itu. Ia tak tahu maksud Avan seperti apa. Namun, seringkali ia mendengar dari mulut pemuda itu jika ia hanya ingin menguji kesetiaan Farirn pada Avan. Hell, jika saja orang tuanya tak setuju dengan Avan, ia pasti sudah menendang pria itu jauh dari hidupnya. Ia juga tak memungkiri jika dengan perlahan ia telah memiliki rasa sayang untuk pemuda itu seiring dengan waktu kebersamaan mereka.
Sayang, ya.
Karena cinta bagi Farrin adalah sesuatu yang terlalu mewah untuk diberikan pada pemuda itu.
Sekarang, tentunya ia harus kembali menata hati untuk melupakan Avan dan menggantikan dengan adiknya. Karena jika dipikir, sosok seorang Vian sama sekali bukan orang yang buruk di matanya. Farrin mendapat pandangan baik selama ia mengenal Vian. Ia tahu jika Vian bukan pemuda yang suka mengobral omongan manis kepada setiap wanita. Ia bahkan sanksi jika sebelum ini pemuda itu tengah menjalin hubungan romantis dengan seorang gadis. Pun tak pernah mendengar ataupun melihat Vian kencan dengan seorang wanita.
Yang ia tahu, pemuda itu hanya lebih suka berkutat dengan study dan pekerjaannya. Meski ia tak mendapat jabatan penting seperti Avan atau mendapat kepercayaan dari ibunya, ia tahu jika Vian tak pernah menganggap remeh akan hal yang ada di hadapannya. Tak ayal, hal itu menjadi sebuah nilai plus untuknya. Ia yakin jika selama ia memperhatikan lelaki itu secara diam-diam, tak akan ada yang menyadarinya sama sekali termasuk Avan.
[Besok aku akan ke apartmentmu pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan kita. Pastikan kulkasmu untuk terisi beberapa bahan untuk dimasak, ya.]
Send
Ia berharap dengan awal hubungan mereka, ia memiliki hal yang patut untuk ia perjuangkan dan pertahankan nanti. Ia tahu hubungannya dengan Avan telah berakhir dan ia juga harus menata ulang lagi apa yang ia lakukan untuk kedepannya. Ia merasa jika saat ini lperasaan ebih menyuruhnya untuk bersama Vian ketimbang Avan. Tak apa. Toh, pada akhirnya sama saja jika nanti orang tuanya tetap berbesan dengan teman sekolah mereka.
“Persetan dengan hidup layak. Aku masih bisa hidup layak dengan hasil pekerjaanku sendiri. Tak masalah jika harus sederhana, karena ku harap setelah ini aku tak tertekan akan bayang-bayang tuntutan orang tuaku. Biar saja mereka merasa jika hanya memiliki satu putri. Aku tak masalah dengan hal itu,” putusnya.
Benar.
Ia tak ingin lagi menuruti apa yang orang tuanya tuntutkan untuk hidupnya. Baginya, meski hidup sederhana saja sudah cukup selama suaminya tahu bagaimana cara menghargai istri. Ia memang belum mengenal Vian lebih jauh. Namun, dalam pandangannya, Vian bukanlah pria keras pada wanita dan suka memaksakan kehendak. Sekali lagi, setidaknya ia menjadikan hal itu sebagai poin penting dalam menata hati untuk Vian.
Di usia yang hampir menyentuh seperempat abad beberapa bulan lagi, Farrin tak menginginkan banyak hal istimewa. Ia ingin hidup dengan baik, meski tak memiliki kemewahan yang kakaknya miliki. Ia ingin hidup sederhana dengan pria yang menyayangi dan menghargainya dengan baik sebagai seorang istri. Itu sudah terasa cukup. Ia tak ingin serakah dengan meminta lebih. Inginnya benar, kan?
[Maafkan aku. Mungkin aku tak akan bisa memasakkan makan siang seperti kemarin karena aku harus menjaga salah satu anak didikku.]Send“Setidaknya dengan begini aku tak harus menanggung rasa bersalah yang lebih besar,” ujar Farrin pada kesunyian.Yah! Kali ini makan siangnya tak bisa berjalan lancar seperti yang telah ia dan Vian sepakati bersama karena entah mengapa, hari ini salah satu anak didiknya mendadak rewel dan tak mau dijemput ayahnya seperti biasa. Di hari biasa, ia akan mendapat waktu istirahat dua jam saat siang hari karena ia harus berganti jaga dengan pengajar lainnya.Kelas umum memang berakhir di jam siang. Namun, untuk beberapa hal, sekolah memiliki jam bebas setelahnya hingga petang sampai jam pulang kantor karena beberapa wali murid mengajukan usul untuk menambah jam bebas. Tentu saja hal ini bertujuan agar mereka tidak perlu lagi menyewa babysitter atau pengasuh untuk mengawasi anak-anak mereka setelah jam sekolah
Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu pe
Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dip
Vian pernah membayangkan jika kelak ia kencan, ia akan berpenampilan menarik dan terlihat menawan di hadapan pasangan kencannya. Saat ini, di kencan pertamanya, ia justru terlihat buruk karena penampilan setelah berkerja tak ia benahi. Tak ada baju rapi dan badan segar, yang ada hanya wajah dan baju yang kusut disertai dengan badan kumal tanpa mandi.Menyedihkan, ya.Namun, yang sama sekali tak ia sesali adalah bagaimana cara Farrin menjalankan kencan pertama mereka yang melebihi ekspektasi yang Vian inginkan. Farrin masih terlihat begitu menawan meski ia sama sepertinya yang kusut karena seharian bekerja. Melalui temaram lampu cafetaria di pinggir pantai itu, diam-diam Vian mengagumi paras Farrin. Ah, tidak. Ia memang selalu mengagumi paras Farrin. Lalu untuk malam ini, ia lebih mengaguminya.Farrin menjadi sosok sempurna dalam bayangannya. Tak ada kesalahan dalam kencan mereka, dan Vian sama sekali tak menyesal karena telah mengikuti ajakan Farrin untuk kencan
Sial!Vian telah kecolongan. Ia yakin jika ia tak akan bisa menepati janjinya beberapa waktu yang lalu tentang ia yang ingin membawa Farrin untuk berkunjung ke pantai setiap hari.Baiklah, ia akan meralat permintaannya yang itu. Setelah ini, mungkin ia akan berhati-hati dengan permintaannya.“Maafkan aku. Aku hanya ingin menikmati bagaimana angin pantai membelai rambut dan tubuhku. Bagaimana aku bisa mencium aroma laut dari jarak sedekat ini tidak seperti biasanya yang hanya bisa aku nikmati di balik kaca mobil. Aku tahu hal itu kekanakan. Tapi, sungguh! Aku hanya ingin menenangkan hatiku dengan memandang laut,” ujar Farrin.Vian memandang wajah Farrin. “Mengapa harus pantai?” tanyanya.Farrin menolehkan wajahnya dan memandang Vian dengan pandangan keheranan. “Maksudku ada pilihan lain untuk menenangkan diri selain pantai, ‘kan? Jika kau suka akan kesunyian dari hiruk pikuk manusia, bukankah ada gunung atau hutan
“Jadi, apakah lelaki itu yang membuatmu murung seperti ini? Apa perlu kita kembali dan membiarkanku memberikan beberapa pukulan di wajahnya karena membuat seorang wanita menjadi murung karena kedatangannya?” tanya Vian. Ia merasa amat tidak nyaman ketika mendapati Farrin tengah berwajah muram seperti ini. “Untuk apa? Tidak akan ada gunanya. Kau hanya akan melukai dirimu sendiri nantinya. Aku tak mau hal itu terjadi karena aku yakin semua hanya sia-sia semata,” jawab Farrin. Vian ingin sekali membalas ucapannya. Namun, seakan hal itu hanya bisa berhenti di mulut dan tak boleh mengeluarkan kata sama sekali. Menang benar, mungkin semua kaan menjadi sia-sia saja jika Vian kembali dan membalas perlakuan pria tadi karena secara tak langsung kedatangannya membuat wanita itu murung. Sedangkan Farrin, wanita itu merasa jika dirinya bersalah dalam hal ini. Vian, meski nyatanya mereka baru bersama dalam waktu dekat ini, ia bisa merasakan jika ada suatu perasaan yang men
Vian masih setia duduk dan diam memperhatikan Farrin yang masih sesenggukan. Jika saja bisa, ia ingin memeluk dan menyalurkan sebuah dukungan untuk wanita itu. ia ingin mengatakan berhenti. Namun, hal itu tak akan membuatnya lega karena cerita belum selesai.“Aku sama sekali tak tahu mengapa aku selalu berada di posisi seperti ini. Karena yang kutahu, aku ingin membahagiakan pasanganku. Aku ingin menjalani hidup dengan baik dan aku ingin aku tidak menyesal jika suatu saat aku kembali ditinggalkan. Hatiku seolah mengatakan jika aku harus melakukan hal itu atau hanya penyesalan yang ku dapat nantinya. Tapi sepertinya hidup tidak berjalan sesuai apa yang kita inginkan, ya? Nyatanya selalu ada penyesalan di setiap keputusan yang aku ambil.”Tangis Farrin makin deras. Vian mengerti, Farrin hanya mencoba untuk menjalani hidupnya dengan baik dan menginginkan sebuah hubungan yang baik pula. Ia kini merutuki kakak kembarnya yang bersikap semaunya sendiri itu. Bagaim
Saat ini, Farrin merasa jengah.Tentu saja.Karena pria yang beberapa hari lalu ia temui di pantai itu kini tak henti-hentinya menganggu semua hal yang berhubungan dengan Farrin saat wanita itu tidak dalam keadaan mengajar. Seperti saat ini, ia duduk di kursi yang terletak di taman sekolah tempat Farrin mengajar. Pria itu juga mengambil tempat yang berada di hadapan Farrin.Sebenanya, Farrin enggan menemui pria dari masa lalunya itu. Namun, mendapat tatapan tak mengenakkan dari kepala sekolah karena mengabaikan tamu membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali tak menganggap kedatangan lelaki itu. Karena bagi kepala sekolah, seorang tamu harus menjadi prioritas dan di perlakukan dengan baik. Kepala sekolah sama sekali tak mau tahu akan apapun yang terjadi di antara mereka berdua. Yang terpenting, Naru harus memperlakukan tamu dengan baik, itu poin utamanya.“Aku tahu aku yang salah di sini. Tapi, bisakah kita berbicara berdua? Aku ingin mengakui be