Share

part 8

Farrin tak mampu lagi membendung air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ia yang kini berada di balkon kamarnya hanya bisa terisak sambil menekuk lututnya dan membenamkan kepalanya di antaranya. Ia tahu jika ia lemah. Terlalu lemah hingga ia bisa menangis meski hanya sekedar mengingat kekasihnya yang pergi.

“Mengapa kau begitu tega? Tak cukupkah aku yang selalu mengalah jika kita bertengkar? Tak cukupkah aku yang selalu menahan cemburu saat kau menggoda wanita yang lain. Lalu, apakah arti pengorbananku selama ini jika pada akhirnya kau menyerahkanku pada adikmu?” bisiknya.

Ia tahu.

Jika pertanyaannya sama sekali tak akan ada yang menjawabnya.

“Aku bahkan sudah membayangkan betapa bangganya kedua orang tuaku nanti saat kita bersanding di altar.”

Lagi, ia tetap berkata pada kesunyian meski ia tahu tak akan ada jawaban untuk itu.

“Nanti, aku harus mengubur hal itu dalam-dalam karena hanya adikmu yang akan menjadi pendampingku.”

Meski saat makan siang tadi Farrin telah mengatakan jika ia menerima Vian, Farrin masih menyimpan sebuah rasa yang janggal tentang hal itu. Ia masih merasa jika hatinya sama sekali belum terbuka untuk orang yang menjadi tunangannya saat ini. Namun, ia juga tak memungkiri jika ada sesuatu yang membuatnya harus melanjutkan hal yang telah berjalan ini.

Ia tahu dirinya munafik, atau bahkan yakin jika ia sangat menjunjung tinggi materi dan martabat keluarganya. Ia akui juga dulu ia menerima pernyataan cinta Avan semata-mata agar ia bisa melihat kedua orang tuanya mengatakan bangga padanya.

Ya! Sedari awal, bukan cinta yang mendasari hubungan Farrin dengan Avan. Melainkan kondisi Avan lah yang membuatnya menerima pemuda itu. Bagaimana tidak? Di usia muda ia telah mendapat jabatan CEO sebuah perusahaan besar --meski pada kenyataannya ia mendapatkannya karena terpaksa akibat kematian ayahnya--- dan hal itu ia pertimbangkan karena mungkin dengan begitu orang tuanya akan memandangnya sama dengan kakaknya.

Lagi-lagi kakaknya.

Orang yang selalu orang tuanya banggakan karena prestasinya sejak usia belia, pergaulan yang luas, dan sekarang ditambah dengan memiliki pasangan yang memiliki jabatan baik di perusahaan.

Jujur saja, ia iri pada kakaknya.

Padahal, meski tak memiliki pergaulan yang luas seluas kakaknya, ia juga memiliki prestasi yang tak kalah membanggakan. Namun, orang tuanya sama sekali menganggap hal itu bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Mereka hanya memandang biasa akan hal itu. Menganggap bahwa hal itu adalah hal yang seharusnya ia lakukan. Ia tak pernah mengecewakan mereka. Meski pada akhirnya, mereka sering membuatnya kecewa dengan mengabaikan semua hal yang selalu ia usahakan untuk menyenangkan mereka.

Puncaknya, saat ia malah memilih menjadi tenaga pengajar.

Ia memang memiliki rasa ketertarikan tersendiri kepada anak-anak hingga ia memilih jurusan ilmu pendidikan di universitasnya, tentunya dengan mengabaikan permintaan orang tua yang meminta untuk memasuki jurusan bisnis seperti kakaknya. Hal itu telak menjadi pukulan berat untuk mereka di kala itu. Meski pada akhirnya diterima di sebuah sekolah paling bergengsi pun tak bisa memberi Farrin muka dari kedua orang tuanya.

Lalu kedatangan Avan, membuatnya kembali mendapatkan hal itu, muka dan atensi dari orang tuanya. Karena latar belakang keluarga Avan yang masih merupakan sahabat mereka di masa Junior High, hingga Avan yang merupakan CEO. Hal itu mendapatkan perhatian dan sebuah penerimaan yang besar dari mereka. Setidaknya, kehadiran Avan menjadi hal yang membuat orang tuanya memandangnya kembali. Ia tahu, orang tuanya tidak bermaksud kejam. Mereka hanya tidak bisa mengapresiasikan rasa sayang dan mengatakan padanya jika orang tuanya ingin kehidupan dirinya di esok hari menjadi layak dan terjamin. Setidaknya, begitulah pikir Farrin.

Mengenai Avan, ia sama sekali tak menyangka jika senior masa kuliah itu menaruh hati dan memberikan atensi padanya. Avan pernah mengatakan Farrin jika lelaki itu telah mengetahui dan mengenalnya sejak ia menjadi mahasiswa baru di universitas. Sayangnya, Avan tidak berani mendekatinya karena ia tak yakin akan waktu karena kesibukan yang seakan dikejar untuk belajar mengenai bisnis dari orang kepercayaan ayahnya dulu. Begitu Avan telah mendapat waktu yang sedikit longgar, barulah ia berani mendekati Farrin. Setelah itu, setahun setelah pendekatan mereka, Avan meresmikan hubungan mereka.

Farrin juga telah mengetahui jika Avan memiliki seorang kembaran yang tak jauh berbeda dengannya. Seorang adik kembar yang hanya memiliki perbedaan di model rambut belakang mereka. Avan yang memiliki kuncir panjang, dan adik kembarnya yang memilih model undercut. Ia juga tahu jika adik Avan sama sepertinya, sama-sama bukan prioritas. Karena kejadian ini, ia semakin yakin jika kali ini ia benar-benar tak memiliki lagi hal yang bisa membuat orang tuanya memandang dengan layak lagi.

Akan tetapi, sudahlah!

Biarkan saja hal ini terjadi.

Mungkin, inilah saatnya ia menyerah.

Menyerah untuk menyenangkan keluarganya karena pada kenyataannya menjalin hubungan dengan Avan merupakan hal cukup membuatnya mengurasnya emosi. Avan yang masih dengan tingkah kekanak-kanakan dan tak jarang ia harus menahan kesal akibat perlakuan pria itu. Ia tak tahu maksud Avan seperti apa. Namun, seringkali ia mendengar dari mulut pemuda itu jika ia hanya ingin menguji kesetiaan Farirn pada Avan. Hell, jika saja orang tuanya tak setuju dengan Avan, ia pasti sudah menendang pria itu jauh dari hidupnya. Ia juga tak memungkiri jika dengan perlahan ia telah memiliki rasa sayang untuk pemuda itu seiring dengan waktu kebersamaan mereka.

Sayang, ya.

Karena cinta bagi Farrin adalah sesuatu yang terlalu mewah untuk diberikan pada pemuda itu.

Sekarang, tentunya ia harus kembali menata hati untuk melupakan Avan dan menggantikan dengan adiknya. Karena jika dipikir, sosok seorang Vian sama sekali bukan orang yang buruk di matanya. Farrin mendapat pandangan baik selama ia mengenal Vian. Ia tahu jika Vian bukan pemuda yang suka mengobral omongan manis kepada setiap wanita. Ia bahkan sanksi jika sebelum ini pemuda itu tengah menjalin hubungan romantis dengan seorang gadis. Pun tak pernah mendengar ataupun melihat Vian kencan dengan seorang wanita.

Yang ia tahu, pemuda itu hanya lebih suka berkutat dengan study dan pekerjaannya. Meski ia tak mendapat jabatan penting seperti Avan atau mendapat kepercayaan dari ibunya, ia tahu jika Vian tak pernah menganggap remeh akan hal yang ada di hadapannya. Tak ayal, hal itu menjadi sebuah nilai plus untuknya. Ia yakin jika selama ia memperhatikan lelaki itu secara diam-diam, tak akan ada yang menyadarinya sama sekali termasuk Avan.

[Besok aku akan ke apartmentmu pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan kita. Pastikan kulkasmu untuk terisi beberapa bahan untuk dimasak, ya.]

Send

Ia berharap dengan awal hubungan mereka, ia memiliki hal yang patut untuk ia perjuangkan dan pertahankan nanti. Ia tahu hubungannya dengan Avan telah berakhir dan ia juga harus menata ulang lagi apa yang ia lakukan untuk kedepannya. Ia merasa jika saat ini lperasaan ebih menyuruhnya untuk bersama Vian ketimbang Avan. Tak apa. Toh, pada akhirnya sama saja jika nanti orang tuanya tetap berbesan dengan teman sekolah mereka.

“Persetan dengan hidup layak. Aku masih bisa hidup layak dengan hasil pekerjaanku sendiri. Tak masalah jika harus sederhana, karena ku harap setelah ini aku tak tertekan akan bayang-bayang tuntutan orang tuaku. Biar saja mereka merasa jika hanya memiliki satu putri. Aku tak masalah dengan hal itu,” putusnya.

Benar.

Ia tak ingin lagi menuruti apa yang orang tuanya tuntutkan untuk hidupnya. Baginya, meski hidup sederhana saja sudah cukup selama suaminya tahu bagaimana cara menghargai istri. Ia memang belum mengenal Vian lebih jauh. Namun, dalam pandangannya, Vian bukanlah pria keras pada wanita dan suka memaksakan kehendak. Sekali lagi, setidaknya ia menjadikan hal itu sebagai poin penting dalam menata hati untuk Vian.

Di usia yang hampir menyentuh seperempat abad beberapa bulan lagi, Farrin tak menginginkan banyak hal istimewa. Ia ingin hidup dengan baik, meski tak memiliki kemewahan yang kakaknya miliki. Ia ingin hidup sederhana dengan pria yang menyayangi dan menghargainya dengan baik sebagai seorang istri. Itu sudah terasa cukup. Ia tak ingin serakah dengan meminta lebih. Inginnya benar, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status