Share

part 7

Sebenarnya, tak terlalu lama bagi mereka untuk menuju unit apartment yang Vian sewa. Hanya saja, selama di perjalanan mereka lebih banyak diam dan tak mengeluarkan kata apapun hingga membuat perjalanan mereka terasa lama. Bahkan hingga mereka sampai pun, Farrin masih tetap saja terdiam dalam lamunannya sendiri hingga Vian berinisiatif menggendong dan menuai pekikan tak terima oleh Farrin.

“Turunkan aku!” pekik Farrin.

Vian terkekeh, ia terlihat menikmati Farrin yang sedikit berontak dalam gedongannya. Ia merasa gemas melihat wanita itu terlalu larut dalam lamunan hingga sama sekali tak menyadari pergerakan Vian hingga pria itu memutuskan untuk menggendongnya.

“Aku akan menurunkanmu ketika kita sudah sampai di dalam nanti. Aku lihat kau terlalu lelah, jadi biarkan tunanganmu ini melakukan tugasnya untuk sedikit membantumu, ya?” ujarnya. Wajah Farrin terasa menghangat saat ia mendapat perlakuan manis dari Vian. Sedangkan Vian, ia merasa jika saat ini yang berlaku seperti itu bukan dirinya saja. Ih, memalukan!

“Tapi aku berat, lebih baik kau turunkan aku agar nanti ketika kau berangkat ke kantor, kau tidak terlalu lelah,” cicit Farrin. Dengan perlahan, ia berhenti berontak dan menenangkan diri di gendongan Vian. Hey, bagaimanapun juga ia menyadari jika ia tak ringan seperti bocah usia 5 tahun lagi meski tinggi badannya lebih pendek dari remaja beranjak dewasa kebanyakan. Hal itu juga lumayan menguras emosi batin karena sering mendapatkan tatapan meremehkan dari yang lain.

“Kau tidak berat, sungguh! Percaya padaku akan hal itu.”

Farrin tak menjawab lagi,ia hanya diam dan memainkan tangannya sendiri di gendongan Vian. Hey, ayolah! Sekarang ia seolah seperti sedang memerankan permainan pengantin baru.

Atau, anggap saja sekarang tengah berlatih untuk menjadi pengantin baru betulan.

“Bisa kau tekankan tombol kuncinya? Sandinya 1026.”

Farrin mengangguk dan mulai menekan empat digit angka yang Vian katakan padanya. Ia sedikit heran, mengapa Vian seolah mengambil kombinasi angka yang sedikit sulit untuk di hapal itu? Ah, sudahlah! Itu bukan urusannya kan? Mungkin saja Vian memiliki hal lain yang membuatnya mengambil keputusan untuk membuat kombinasi angka itu.

Setelah pintu terbuka, Vian langsung membawa Farrin menuju dapur dan mendudukkannya di salah satu kursi meja makan yang hanya terdapat dua buah. Mata Farrin menelisik, apartment Vian begitu memukaunya. Ia pikir lelaki sibuk seperti Vian akan memiliki apartment yang sedikit berantakan seperti kebanyakan lajang lain. Lalu, hasil yang mengejutkan tentu tak bisa membuat ia untuk tak takjup pada apa yang ada di hadapannya.

“Maaf, jika apartment ku tidak bisa membuatmu puas,” ucap Vian.

Farrin pikir, apa Vian mengajaknya bercanda? Apartment itu lebih dari memukau pandangan. Bagaimana barang-barang yang tak terlalu memenuhinya bisa disusun dengan sedemikian rupa hingga terkesan sempurna. Apartment yang tak terlalu luas dan hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap ruang bersantai dengan tv sebagai pelengkapnya. Lalu, sebuah dapur dengan sebuah meja makan dan dua kursi. Apartment yang sangat cocok untuk pria lajang seperti Vian.

“Ini melebihi apa yang ada di dalam bayanganku,” balas Farrin. Ia takjub! Namun, tidak dengan Vian yang terlihat was-was. Sepertinya, Vian mengkhawatirkan hal yang tidak perlu ia khawatirkan.

“Apa apartmentku mengecewakan?” tanya Vian.

Farrin menggeleng kecil. “Aku sangat mengaguminya. Apartment ini sesuai dengan impianku dulu. Aku sangat menyukainya, benar-benar menyukainya.”

Farrin tak bohong akan hal itu. Ia memang pernah memimpikan akan memiliki apartment sendiri dengan tatanan seperti ini. Namun, sepertinya hal itu tak pernah terwujud untuk Farrin. Jadi ia hanya bisa berandai-andai saja akan hal itu selama ini.

“Syukurlah jika kau suka. Aku takut kau malah tak menyukainya karena apartment ini terlalu sempit. Maaf, kupikir dulu aku hanya akan menghabiskan waktu sendiri tanpa ada orang yang mau mengunjungiku di sini. Karena jika pun aku harus membawa temanku, aku pasti akan mengajaknya ke mansion ibu. Aku di sini hanya sekedar tidur melepas lelah dan beristirahat sejenak untuk menenangkan pikiran,” ujar Vian.

Vian benar-benar tidak menyangka jika Farrin adalah orang pertama yang akan ia bawa ke apartment ini. Dulu, ia hanya bisa membayangkannya tanpa berpikir hal ini akan menjadi nyata.

“Kau bercanda? Aku justru sangat menyukainya. Meski tidak terlalu besar, aku dulu pernah memimpikan memiliki apartment seperti ini untukku tinggal. Ruangannya cukup untuk kubersihkan sendiri dan tak perlu menyewa jasa pembersih rumah. Lagi pula mungkin akan sangat menyenangkan hidup tanpa pantauan orang tua dan bisa menjadi diri kita sendiri.”

“Begitu kah?” Vian menatap wajah Farrin yang terlihat sumringah. Wajah itu terlihat begitu menyenangkan dan membuat hatinya bahagia. Ia berharap, bisa melihat wajah bahagia itu lebih banyak lagi.

“Ya!” Farrin mengangguk antusias. “Bisakah nanti setelah kita menikah kita tinggal di sini saja? Aku menyukainya begitu pertama kali aku melihatnya,” imbuhnya.

Vian tertegun.

Menikah?

Tinggal di sini?

Fyuh! Dia bahkan tak bisa membayangkan hal itu karena ketika hari pernikahan nanti, kakaknya lah yang akan menjadi pendamping gadis itu, bukan dirinya. Dirinya tak ingin menghayal terlalu jauh untuk bisa merebut posisi kakaknya.

“Tapi di sini sempit dan hanya memiliki satu kamar. Kita bisa mencari apartment lain yang lebih luas dari ini.” Elak Vian.

“Tidak, cukup di sini saja dan aku sama sekali tak mempermasalahkannya.”

Ah, Vian semakin merasa tak enak karenanya.

“Kalau begitu, ayo jangan buang-buang waktu lagi. Waktumu akan semakin berkurang karena kita mengobrol terlalu lama.”

Farrin benar, dan Vian menyadari itu. Setelahnya, Vian duduk di kursi makan yang berada di hadapan Farrin dengan Farrin yang mulai beranjak dan membuatkan makan siang untuk mereka. Bahan di kulkas Vian memang tak terlalu banyak, tetapi sudah lebih dari cukup untuk membuat makan siang untuk dua orang. Di dalam diamnya, Vian memandangi Farrin yang tengah berkutat dengan alat masaknya. Alat masak di dapur Vian juga terhitung lengkap untuk memasak karena Vian sendiri terkadang lebih suka memasak ketimbang membeli masakan siap santap. Yah, meski hanya masakan yang mudah dan terkesan itu-itu saja setiap hari.

Dalam keheningan mereka, Vian sibuk memperhatikan semua hal yang Farrin lakukan. Ia mengagumi tentang bagaimana lihainya jemari lentik itu menyiapkan makanan untuk mereka. Wajah Vian memanas perlahan saat ia menyadari jika kini ia seolah menjadi seorang suami yang tengah menunggu masakan istrinya matang dan mereka bersiap untuk makan bersama.

“Jadi beginikah rasanya jika ada seorang istri di hidupku?” batin Vian. Ia berharap, ia akan menemukan seorang wanita yang ia cintai kelak untuk menjadi istrinya dan mengalami hal ini lagi di hari esok. Tentunya ia tak akan berharap berlebihan untuk kedepannya. Ia yang selama ini hanya terfokus pada pekerjaan tanpa mau merepotkan diri untuk urusan pasangan sepertinya mulai mengubah sudut pandangnya yang kaku itu.

“Vian, kita bisa melakukan hal ini lagi esok atau lusa atau bahkan setiap hari jika kau mau. Anggap saja ini adalah awal mula untuk kita. Kau mau?”

Tentu saja ucapan dari Farrin mampu membuat jantung Vian berdebar lebih kencang tanpa bisa membalasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status