Ruangan terasa kian sesak. Nesa ingin segera pergi dan membereskan beberapa hal.“Katanya kamu semalam ketemu Mas Aril. Kamu gak minta nomor ponselnya?” Andin menyahut seperti menyelidik ke wajah Nesa.“Belum sempat, Ndin. Tau-tahu Mas Aril pergi begitu aja.” Nesa teringat semalam, Aril tidur di sofanya dan pagi-pagi sudah tak ada.“Mas Aril dari dulu memang begitu. Pergi dan datang sesuka hatinya. Di rumah ini juga sama saja.” Andin tampak sedikt kesal.“Aku minta nomor ponsel Mas Aril. Ada yang harus aku bicarakan dengan dia.” Nesa kembali mengingatkan Andin.“Ntar, Nes. Aku cariin dulu.” Andin mencari nomor Aril di daftar kontak ponselnya.Nesa menunggu.Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah Andin.
Semakin lama mendengar cerita Andin, kepala Nesa kian berat. Kini saatnya untuk bertindak.“Ndin, aku pamit dulu. Banyak yang harus aku bereskan. Tolong terima ini.” Ia menyerahkan sebuah amplop.“Apa ini, Nes?”“Tadi aku sempat mampir di ATM. Terima ya. Buat keperluan Icha dan kalian.”Andin menatap Nesa nanar dan tergesa membuka amplop. Tiba-tiba, ia memeluk Nesa dengan erat.“Ya Allah, Nes. Ini banyak bangat. Kamu yakin?”Nesa tersenyum. “Iyalah. Terima ya Ndin. Semoga bisa sedikit membantu.”“Terima kasih Nesa. Terima kasih. Kamu ternyata baik banget. Maafin aku dulu ya.”“Sudah ah. Gak usah mengingat masa lalu.”“Kamu gak pamit sama Papa?”“Salam aja Ndin. Kasian Om Beno nanti terganggu. Aku pamit ya.” Nesa bergegas menuju pagar.“Kamu kerja di mana, Nes?” Andin baru
"Yang ingin saya tanyakan tidak ada urusan dengan Anton. Ini urusan pribadi. Antara saya dengan Pak Pram.” Nesa berkata tegas sambil menatap Pram tajam.Laki-laki itu terlihat kaget.“Urusan dengan saya? Saya tidak ada urusan dengan kamu. Jika urusan kantor, silahkan tanya pada Anton. Saya tidak membahas urusan pribadi di kantor.”“Susan bilang Mas Raga kakak saya.” Nesa berkata dengan suara pelan, tapi penuh tekanan. Ia perhatikan ekspresi Pram dengan seksama. Laki-laki itu lagi-lagi terlihat kaget. Namun, dalam waktu singkat ia mampu mengendalikan diri.“Maksud kamu?”“Pak Pram kenal Susan Ibu saya, bukan? Tidak usah pura-pura. Saya sudah tahu. Tapi yang saya tidak mengerti, mengapa Susan mengatakan saya adik Mas Raga?” Tatapan Nesa kian menusuk ke arah Pram.
Raga membawa Nesa ke ruangan kerjanya.“Sayang, kamu kenapa nekat sekali ketemu Papa seperti itu?” Raga mendudukkan Nesa di sofa ruangannya yang nyaman. Ia mengelus pipi Nesa yang masih menyala, ingin menenangkan gadisnya yang tampak marah.“Aku tidak mau terus dalam keadaan ragu, Mas. Apalagi kita sudah terlanjur jauh melangkah. Sementara mereka justru membuat kita semakin bingung.”“Apa kamu tidak khawatir Papaku makin marah dan menghalangi rencana kita?”
Nesa mengerinyitkan kening mendengar kata-kata Kei.“Baik gadis nakal. Jangan kira aku bisa kamu gertak.”Kei tampak senang merasa berhasil membuat Nesa terganggu. Namun, ia terhenyak ketika mendengar kata-kata Nesa selanjutnya.“Oh. Begitu rupanya? Baiklah. Kalau begitu aku tinggal kamu berdua dengan calon suamiku di sini. Aku yakin calon suamiku tidak akan melakukan hal-hal konyol. Aku paham betul, suamiku kadang memang harus berjuang keras untuk mengatasi gadis-gadis yang sekedar ingin mendapat perhatiannya. Pastinya tidak mudah buat dia, apalagi kalau ketemu gadis agresif yang minim rasa malu. So, semoga urusannya cepat beres ya, Kei. Kutinggal dulu.” Nesa beranjak dari duduknya.“Sayang, kamu mau kemana?” Raga ikut kaget mendengar kata-kata dan sikap Nesa. Ia sudah menduga, Nesa bukan orang yang mudah diintimidasi, apalagi oleh Kei.“Aku masih banyak urusan, Mas. Tadi aku dari rumah Mas Aril.
Kei mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Lalu, dengan gerakan manja meletakkan sebuah kartu nama di genggaman Raga.“Itu alamat hotel milik Papaku. Aku punya Penthouse khusus di sana. Kamu bisa datang kapan pun kamu mau, Raga Sayang.” Kei mengecup bibir Raga dengan mesra. “Kamu tinggal bilang pada resepsionis mau ketemu aku. Mereka akan melayani kamu dengan senang hati. Aku pun akan membuat kamu melupakan semua persoalan rumitmu itu.”“Kei, aku mau menikah.”“Aku tidak peduli Raga Sayang. Kamu boleh menikahi Nesa. Seperti aku bilang, cinta kamu boleh untuk siapa saja, tapi aku butuh tubuh kamu. Aku mau terus bersama kamu.”“Itu tidak mungkin, Kei.”“Kenapa tidak Raga? Aku tidak mau melepaskan kamu begitu saja.”“Astaga Kei. Nesa tidak akan tinggal diam.”“Kamu pikir aku juga akan diam saja kamu dicuri Nesa dariku, Raga? Aku sudah bilang, jika mem
Lee membekap Susan. Dengan gelagapan Susan berusaha melepaskan diri. Namun Lee seperti tengah kerasukan.“Kamu perempuan penggoda. Kamu sengaja kan, menggodaku supaya memuaskanmu di ranjang? Karena bokap gue sudah gak sanggup memuaskan kamu.” Suara Lee terdengar serak menahan hasrat yang hendak meledak.“Lee, aku ibu kamu. Jangan begini.” Susan berupaya menyadarkan duda yang telah dua tahun hidup sendiri itu.“Lu bukan ibu gue. Lu perempuan penggoda yang sengaja memancing gue supaya melayani elu.” Lee masih meracau dengan suara menakutkan.“Lee, jangan.” Susan merasa tenaganya kian terkuras mengatasi bekapan Lee yang semakin kuat.Tiba-tiba Lee melepaskan Susan begitu saja.“Silahkan Mama Sayang. Silahkan kembali ke kamar kamu.” Ia memberi Susan jalan.Bergegas Susan menjauhi Lee sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan saat berusaha melepaskan diri dari Lee. Deng
Semakin Susan menjerit, semakin Lee merasakan gairahnya memuncak.Tubuh Susan seakan remuk, tapi jauh di dalam jiwanya ada kehancuran yang lebih parah. Di saat nasib pernikahannya dengan Bas di ujung tanduk, Lee datang menyiramkan bensin di atas bara api yang sedang menyala terang.“Cukup sudah!” Susan menjerit, namun suaranya tercekat di kerongkongan.Lee semakin menggila. Ia membanting Susan ke ranjang. Membalik tubuhnya dan memasukinya dari belakang dengan brutal. Air mata tumpah membanjiri pipi Susan. Jiwanya terluka. Harga dirinya tercabik-cabik seiring pakaiannya yang dirobek paksa oleh tangan anak suami yang pernah ia cintai.Lee mengikat kedua tangan Susan dengan ikat pinggang di ranjang. Susan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya. Lee melakukan apa saja untuk memuaskan nafsu bejat yang telah ia tahan sekian lama. Laki-laki itu melenguh, mengerang, hingga akhirnya berteriak kencang. Susan merasakan tubuhnya remuk hingga ke tulang belul