Raga membawa Nesa ke ruangan kerjanya.“Sayang, kamu kenapa nekat sekali ketemu Papa seperti itu?” Raga mendudukkan Nesa di sofa ruangannya yang nyaman. Ia mengelus pipi Nesa yang masih menyala, ingin menenangkan gadisnya yang tampak marah.“Aku tidak mau terus dalam keadaan ragu, Mas. Apalagi kita sudah terlanjur jauh melangkah. Sementara mereka justru membuat kita semakin bingung.”“Apa kamu tidak khawatir Papaku makin marah dan menghalangi rencana kita?”
Nesa mengerinyitkan kening mendengar kata-kata Kei.“Baik gadis nakal. Jangan kira aku bisa kamu gertak.”Kei tampak senang merasa berhasil membuat Nesa terganggu. Namun, ia terhenyak ketika mendengar kata-kata Nesa selanjutnya.“Oh. Begitu rupanya? Baiklah. Kalau begitu aku tinggal kamu berdua dengan calon suamiku di sini. Aku yakin calon suamiku tidak akan melakukan hal-hal konyol. Aku paham betul, suamiku kadang memang harus berjuang keras untuk mengatasi gadis-gadis yang sekedar ingin mendapat perhatiannya. Pastinya tidak mudah buat dia, apalagi kalau ketemu gadis agresif yang minim rasa malu. So, semoga urusannya cepat beres ya, Kei. Kutinggal dulu.” Nesa beranjak dari duduknya.“Sayang, kamu mau kemana?” Raga ikut kaget mendengar kata-kata dan sikap Nesa. Ia sudah menduga, Nesa bukan orang yang mudah diintimidasi, apalagi oleh Kei.“Aku masih banyak urusan, Mas. Tadi aku dari rumah Mas Aril.
Kei mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Lalu, dengan gerakan manja meletakkan sebuah kartu nama di genggaman Raga.“Itu alamat hotel milik Papaku. Aku punya Penthouse khusus di sana. Kamu bisa datang kapan pun kamu mau, Raga Sayang.” Kei mengecup bibir Raga dengan mesra. “Kamu tinggal bilang pada resepsionis mau ketemu aku. Mereka akan melayani kamu dengan senang hati. Aku pun akan membuat kamu melupakan semua persoalan rumitmu itu.”“Kei, aku mau menikah.”“Aku tidak peduli Raga Sayang. Kamu boleh menikahi Nesa. Seperti aku bilang, cinta kamu boleh untuk siapa saja, tapi aku butuh tubuh kamu. Aku mau terus bersama kamu.”“Itu tidak mungkin, Kei.”“Kenapa tidak Raga? Aku tidak mau melepaskan kamu begitu saja.”“Astaga Kei. Nesa tidak akan tinggal diam.”“Kamu pikir aku juga akan diam saja kamu dicuri Nesa dariku, Raga? Aku sudah bilang, jika mem
Lee membekap Susan. Dengan gelagapan Susan berusaha melepaskan diri. Namun Lee seperti tengah kerasukan.“Kamu perempuan penggoda. Kamu sengaja kan, menggodaku supaya memuaskanmu di ranjang? Karena bokap gue sudah gak sanggup memuaskan kamu.” Suara Lee terdengar serak menahan hasrat yang hendak meledak.“Lee, aku ibu kamu. Jangan begini.” Susan berupaya menyadarkan duda yang telah dua tahun hidup sendiri itu.“Lu bukan ibu gue. Lu perempuan penggoda yang sengaja memancing gue supaya melayani elu.” Lee masih meracau dengan suara menakutkan.“Lee, jangan.” Susan merasa tenaganya kian terkuras mengatasi bekapan Lee yang semakin kuat.Tiba-tiba Lee melepaskan Susan begitu saja.“Silahkan Mama Sayang. Silahkan kembali ke kamar kamu.” Ia memberi Susan jalan.Bergegas Susan menjauhi Lee sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan saat berusaha melepaskan diri dari Lee. Deng
Semakin Susan menjerit, semakin Lee merasakan gairahnya memuncak.Tubuh Susan seakan remuk, tapi jauh di dalam jiwanya ada kehancuran yang lebih parah. Di saat nasib pernikahannya dengan Bas di ujung tanduk, Lee datang menyiramkan bensin di atas bara api yang sedang menyala terang.“Cukup sudah!” Susan menjerit, namun suaranya tercekat di kerongkongan.Lee semakin menggila. Ia membanting Susan ke ranjang. Membalik tubuhnya dan memasukinya dari belakang dengan brutal. Air mata tumpah membanjiri pipi Susan. Jiwanya terluka. Harga dirinya tercabik-cabik seiring pakaiannya yang dirobek paksa oleh tangan anak suami yang pernah ia cintai.Lee mengikat kedua tangan Susan dengan ikat pinggang di ranjang. Susan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya. Lee melakukan apa saja untuk memuaskan nafsu bejat yang telah ia tahan sekian lama. Laki-laki itu melenguh, mengerang, hingga akhirnya berteriak kencang. Susan merasakan tubuhnya remuk hingga ke tulang belul
Setelah makan malam, Juliana memanggil Susan ke kamarnya. Dengan dada berdebar, Susan memasuki kamar besar dan mewah itu. Entah mengapa, ia merasa persiapan yang dilakukan Tika sejak siang hingga sore hari, ada kaitan dengan keberadaannya di kamar Juliana.Benar saja. Baru saja ia melangkahkan kaki memasuki kamar, Juliana menyambut Susan dengan raut wajah cerah.“Kamu tampak luar biasa, Sayang,” kata Juliana memandang Susan dengan perasaan takjub. “Masuklah,” lanjutnya dengan suara lembut.Susan berdiri di hadapan Juliana. Ia mengamati Susan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Decak kagum berkali-kali terdengar dari mulutnya. “Kamu bagai berlian yang baru diasah. Tapi kamu harus belajar banyak, Sayang.” Juliana mengulurkan tangan dan menggenggam jemari tangan Susan yang putih lentik indah dengan rasa sayang.Susan tersipu malu.Juliana membiarkan Susan berdiri di hadapannya. Matanya menjalari tubuh gadis itu den
“Halo… Spada… Assalamualaikum…”Nesa masuk sambil mengucap berbagai salam. Namun tak seorang pun yang muncul. Rumah itu seperti rumah tinggal. Sunyi, seakan tak ada kehidupan.Kedua alis Nesa saling bertaut heran.“Aneh, pagar dan pintu terbuka, tapi kok gak ada orang?” Ia bertanya-tanya dalam hati sambil terus melangkah ke dalam.“Bu… Ibu… Apa Ibu ada di rumah?” Ia sengaja membuat suara berisik berharap jika ada Susan dapat segera mengetahui kehadirannya.Namun, suasana masih hening. Bahkan suara langkah kaki dan suaranya menggema di rumah besar dan sepi itu.Nesa mulai merasa ada yang janggal.“Apa yang terjadi? Masak iya rumah besar begini tidak dikunci dan gak ada seorang pun yang ada di sini?” Matanya menyapu seluruh ruangan. “Bibik yang beberapa hari lalu menyambutku juga tidak ada.”Meskipun dengan perasaan ragu, Nesa memutuska
“Tidak usah kasar. Aku Cuma ingin bertemu ibuku. Aku tidak ada urusan dengan kamu.” Nesa berkata tegas menatap langsung ke manik mata Lee.“Pergi dari sini. Aku tidak mau kamu mengotori rumahku.” Lee melotot marah seakan hendak menerkam Nesa.“Hei, santai aja! Tidak usah bicara kasar.”“Kamu kayak maling. Masuk rumah orang diam-diam.” Tiba-tiba Lee menyeret Nesa ke arah luar. “Pergi sana!” katanya, seraya mendorong tubuh Nesa.“Hei. Jangan kurang ajar.” Nesa merasa ubun-ubunnya serasa terbakar akibat sikap Lee yang keterlaluan. “Tidak usah berlebihan!” Ia melotot marah.“Aku tidak sudi melihat anak gundik ayahku di rumah ini. Kalian mengotori rumahku saja. Pergi!” Lee kembali mengusir Nesa.“Luar biasa sikap kamu! Kenapa Ibuku bisa menikahi laki-laki yang keluarganya kurang ajar begini!” Nesa balas mendorong Lee.Lee tampa