Lee membekap Susan. Dengan gelagapan Susan berusaha melepaskan diri. Namun Lee seperti tengah kerasukan.
“Kamu perempuan penggoda. Kamu sengaja kan, menggodaku supaya memuaskanmu di ranjang? Karena bokap gue sudah gak sanggup memuaskan kamu.” Suara Lee terdengar serak menahan hasrat yang hendak meledak.
“Lee, aku ibu kamu. Jangan begini.” Susan berupaya menyadarkan duda yang telah dua tahun hidup sendiri itu.
“Lu bukan ibu gue. Lu perempuan penggoda yang sengaja memancing gue supaya melayani elu.” Lee masih meracau dengan suara menakutkan.
“Lee, jangan.” Susan merasa tenaganya kian terkuras mengatasi bekapan Lee yang semakin kuat.
Tiba-tiba Lee melepaskan Susan begitu saja.
“Silahkan Mama Sayang. Silahkan kembali ke kamar kamu.” Ia memberi Susan jalan.
Bergegas Susan menjauhi Lee sembari merapikan rambutnya yang tergerai berantakan saat berusaha melepaskan diri dari Lee. Deng
Semakin Susan menjerit, semakin Lee merasakan gairahnya memuncak.Tubuh Susan seakan remuk, tapi jauh di dalam jiwanya ada kehancuran yang lebih parah. Di saat nasib pernikahannya dengan Bas di ujung tanduk, Lee datang menyiramkan bensin di atas bara api yang sedang menyala terang.“Cukup sudah!” Susan menjerit, namun suaranya tercekat di kerongkongan.Lee semakin menggila. Ia membanting Susan ke ranjang. Membalik tubuhnya dan memasukinya dari belakang dengan brutal. Air mata tumpah membanjiri pipi Susan. Jiwanya terluka. Harga dirinya tercabik-cabik seiring pakaiannya yang dirobek paksa oleh tangan anak suami yang pernah ia cintai.Lee mengikat kedua tangan Susan dengan ikat pinggang di ranjang. Susan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya. Lee melakukan apa saja untuk memuaskan nafsu bejat yang telah ia tahan sekian lama. Laki-laki itu melenguh, mengerang, hingga akhirnya berteriak kencang. Susan merasakan tubuhnya remuk hingga ke tulang belul
Setelah makan malam, Juliana memanggil Susan ke kamarnya. Dengan dada berdebar, Susan memasuki kamar besar dan mewah itu. Entah mengapa, ia merasa persiapan yang dilakukan Tika sejak siang hingga sore hari, ada kaitan dengan keberadaannya di kamar Juliana.Benar saja. Baru saja ia melangkahkan kaki memasuki kamar, Juliana menyambut Susan dengan raut wajah cerah.“Kamu tampak luar biasa, Sayang,” kata Juliana memandang Susan dengan perasaan takjub. “Masuklah,” lanjutnya dengan suara lembut.Susan berdiri di hadapan Juliana. Ia mengamati Susan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Decak kagum berkali-kali terdengar dari mulutnya. “Kamu bagai berlian yang baru diasah. Tapi kamu harus belajar banyak, Sayang.” Juliana mengulurkan tangan dan menggenggam jemari tangan Susan yang putih lentik indah dengan rasa sayang.Susan tersipu malu.Juliana membiarkan Susan berdiri di hadapannya. Matanya menjalari tubuh gadis itu den
“Halo… Spada… Assalamualaikum…”Nesa masuk sambil mengucap berbagai salam. Namun tak seorang pun yang muncul. Rumah itu seperti rumah tinggal. Sunyi, seakan tak ada kehidupan.Kedua alis Nesa saling bertaut heran.“Aneh, pagar dan pintu terbuka, tapi kok gak ada orang?” Ia bertanya-tanya dalam hati sambil terus melangkah ke dalam.“Bu… Ibu… Apa Ibu ada di rumah?” Ia sengaja membuat suara berisik berharap jika ada Susan dapat segera mengetahui kehadirannya.Namun, suasana masih hening. Bahkan suara langkah kaki dan suaranya menggema di rumah besar dan sepi itu.Nesa mulai merasa ada yang janggal.“Apa yang terjadi? Masak iya rumah besar begini tidak dikunci dan gak ada seorang pun yang ada di sini?” Matanya menyapu seluruh ruangan. “Bibik yang beberapa hari lalu menyambutku juga tidak ada.”Meskipun dengan perasaan ragu, Nesa memutuska
“Tidak usah kasar. Aku Cuma ingin bertemu ibuku. Aku tidak ada urusan dengan kamu.” Nesa berkata tegas menatap langsung ke manik mata Lee.“Pergi dari sini. Aku tidak mau kamu mengotori rumahku.” Lee melotot marah seakan hendak menerkam Nesa.“Hei, santai aja! Tidak usah bicara kasar.”“Kamu kayak maling. Masuk rumah orang diam-diam.” Tiba-tiba Lee menyeret Nesa ke arah luar. “Pergi sana!” katanya, seraya mendorong tubuh Nesa.“Hei. Jangan kurang ajar.” Nesa merasa ubun-ubunnya serasa terbakar akibat sikap Lee yang keterlaluan. “Tidak usah berlebihan!” Ia melotot marah.“Aku tidak sudi melihat anak gundik ayahku di rumah ini. Kalian mengotori rumahku saja. Pergi!” Lee kembali mengusir Nesa.“Luar biasa sikap kamu! Kenapa Ibuku bisa menikahi laki-laki yang keluarganya kurang ajar begini!” Nesa balas mendorong Lee.Lee tampa
“Rendi…! Buruan cari cantuan!” Nesa menjerit histeris.“Iya Mbak. Tutup dulu telponnya,” Rendi ikut berteriak panik dari seberang telepon.Dengan perasaan tidak karuan, Nesa mengamati isi kamar, berharap menemukan peralatan yang bisa dijadikan senjata jika Lee berhasil menerobos pintu.Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah pemukul bisbol yang berdiri di sudut lemari pakaian. Bergegas, ia mengambil benda tersebut dan menunggu. Nesa bersiaga di belakang pintu. Ia memegang pemukul kayu itu dengan erat sambil mengatur detak jantungnya yang bergemuruh tak menentu.“Pilihannya, aku atau kamu!” batinnya dengan nekat, siap mengayunkan pemukul kayu jika Lee muncul.Namun pintu dengan kayu tebal itu masih berdiri kokoh meskipun Lee berkali-kali menghantam dari luar.Susan tampak mulai menggerak-gerakkan badan sembari membuka mata. Pandangannya sayu menatap Nesa yang tengah berjaga di depan pintu dengan waja
“Perempuan sialan!” Sosok itu berusaha menusukkan pisau ke arah jantung Nesa.Nesa terperanjat. Rudi dan Rudi tak kalah kaget. Mata mereka terbelalak ketika Lee tiba-tiba menerjang Nesa.“Hei! Apa-apaan!” seru Rudi dengan suara keras.Dengan gerakan refleks, Nesa memutar tubuhnya menghindari serangan Lee. Pisau Lee terlempar, sedangkan Lee tampak terhuyung-huyung. Ia kaget, tak menyangka Nesa berhasil menghindari serangannya.Melihat Lee terhuyung, sontak Rudi dan Roni memegangi tubuhnya dengan kuat.“Tangkap dia, Pak!” Teriak Nesa kencang begitu berhasil selamat dari tusukan pisau Lee. “Jangan sampai lolos!”Namun, entah mendapat kekuatan dari mana, Lee berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Rudi dan Roni. Ia melarikan diri. Kedua orang suruhan Raga itu mengejar Lee yang melesat menuju halaman belakang. Lalu masuk ke dalam sebuah bangunan yang berdiri di sebelah kolam renang. Dengan cekatan
Raga kembali menyentuh tangan Susan dengan lembut, lalu berpaling pada Nesa.“Kamu di sini jaga Ibu, Sayang. Aku mau ketemu Rudi dan Roni dulu.” Ia berjalan keluar kamar. Nesa mengikuti dan berbisik ketika mereka sampai di luar pintu.“Pastikan bajingan itu tidak kabur, Mas. Dia harus mempertanggungjawabkan kejahatannya pada Ibu.”“Iya. Kamu tunggu di sini. Aku ke sana dulu.”Raga meninggalkan Nesa dan berjalan cepat menuju halaman belakang. Ia disambut Rudi dan Roni dengan salaman dan langsung melaporkan keadaan.“Dia masih di dalam, Pak,” kata Rudi, disambut Roni dengan anggukan.“Tadi dia nyaris mengenai Mbak Nesa dengan pisau. Untung Mbak Nesa refleks menghindar. Kalau tidak bisa sangat fatal,” Kata Rudi dengan wajah masih menyisakan kemarahan.“Kok bisa lolos?” Raga menatap keduanya dengan penasaran.“Tadi sudah berhasil kami tangkap, tap
Sementara itu, di lantai Penthouse Gedung Global Holding Company, Pram tengah termenung memikirkan ucapan Nesa tadi siang. Meskipun tampak tidak mempedulikan apa yang dikatakan Nesa, tetapi setelah kepergian gadis itu, Pram terhanyut dengan berbagai pikiran dan spekulasi.“Apa mungkin benar Nesa anak kandungku?” Pikiran itu terus menghantuinya. “Tapi kenapa Susan tidak pernah memberitahuku?”Sebenarnya ada rasa kagum menyeruak di hati laki-laki jelang enam puluh tahun itu. Ia tak menyangka tim kuasa hukum yang mewakili perusahaan dan juga sekaligus calon menantunya itu memiliki keberanian dan kenekatan yang membuatnya merasa nyaris tidak percaya.“Aku tak pernah bertemu gadis senekat dia,” gumam Pram sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika tengah berpikir serius. “Perempuan pendiam yang terlihat lembut itu ternyata menyimpan nyali yang sangat besar. Semua orang memperlak