Sementara itu, di lantai Penthouse Gedung Global Holding Company, Pram tengah termenung memikirkan ucapan Nesa tadi siang. Meskipun tampak tidak mempedulikan apa yang dikatakan Nesa, tetapi setelah kepergian gadis itu, Pram terhanyut dengan berbagai pikiran dan spekulasi.
“Apa mungkin benar Nesa anak kandungku?” Pikiran itu terus menghantuinya. “Tapi kenapa Susan tidak pernah memberitahuku?”
Sebenarnya ada rasa kagum menyeruak di hati laki-laki jelang enam puluh tahun itu. Ia tak menyangka tim kuasa hukum yang mewakili perusahaan dan juga sekaligus calon menantunya itu memiliki keberanian dan kenekatan yang membuatnya merasa nyaris tidak percaya.
“Aku tak pernah bertemu gadis senekat dia,” gumam Pram sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika tengah berpikir serius. “Perempuan pendiam yang terlihat lembut itu ternyata menyimpan nyali yang sangat besar. Semua orang memperlak
Pagi hari, Pram merasakan semangatnya kembali pulih. Meskipun energinya terkuras karena Susan tak henti-henti membuatnya terbang melayang, tapi ia merasakan jiwanya seakan berada di puncak nirwana. Kebahagiaan semalam yang ditawarkan Susan bena-benar membuat Pram kembali merasakan kehangatan cinta.“Terima kasih, Sayang,” ucapnya ketika berpamitan di pagi hari. “Aku akan kembali untuk kamu.” Sebuah janji yang ternyata tak semudah itu dapat ia wujudkan.Butuh waktu tiga bulan hingga akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menjumpai Susan kembali. Namun kehadirannya di kesempatan kedua itu sangat mengecewakan. Susan sudah bersama orang lain. Ia tidak bisa bersama gadis yang telah dinantinya sekian lama. Pram menghabiskan malam itu di Mike House dengan semangat yang terasa sangat jauh berbeda.“Semua tak sama tanpa, kamu, Sayang,” keluhnya karena tak bisa bersama Susan.Namun, Mike dan Juliana cukup berbaik hati padanya. Mer
Pertemuan keluarga yang semula untuk saling mengenal calon besan, berubah menjadi pembicaraan kaku dan penuh tekanan. Pram terpaksa harus bersandiwara agar tidak membuat Vita dan Raga curiga. Begitu pula Susan. Ia terlihat sangat berusaha agar tetap bisa mengendalikan diri. Meskipun wajah cantiknya terlihat pucat, ia tetap bersikap tenang. Saat berbicara pun ia berupaya agar tetap fokus dan tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi Suami Susan tampaknya sangat protektif pada sang istri dan terus menatap Pram seakan hendak menerkam.Pram dapat merasakan kegelisahan Susan karena ia pun tak kalah resah dengan pertemuan tak disangka sangka itu.“Ternyata bumi ini begitu sempit,” batinnya.Pertemuan itu sontak membuat kenangan masa lalu menari-nari di kepala Pram. Dia tidak banyak berubah,” lirihnya dalam hati. Ingin rasanya ia memeluk perempuan itu saking bahagianya bertemu kembali, dan melepaskan segala rasa rindu yang puluhan tahun ia tahankan, tapi
Pram terdengar menghela napas lega.“Saya segera ke sana,” katanya dengan suara terdengar sungguh-sungguh.Nesa tercenung. “Apa aku tidak salah dengar?” gumamnya. Pikirannya melayang ke sana kemari. Satu sisi hatinya bahagia karena Pram ternyata masih peduli pada Susan, tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan nasib cintanya dengan Raga.“Jika benar dia ayahku, apa yang harus kulakukan dengan Raga? Apa cinta yang kupunya untuk Raga bisa kualihkan menjadi cinta adik pada kakak?” Tiba-tiba Nesa bergidik ngeri teringat apa yang telah ia perbuat dengan Raga di malam sebelumnya.Tergesa ia menggelengkan kepala menghapus bayangan itu. “Aku khilaf ya Tuhan,” keluhnya dengan perasaan tak karuan.Dengan langkah gontai, Nesa kembali menuju ke ruang perawatan Susan. Tadi ia memilih keluar agar Susan tak mendengar pembicaraannya dengan Pram.“Apa yang akan Ibu lakukan jika Pram benar datang ke sini?&rdq
Pram memandangi Susan. Perasaannya berkecamuk. Rasa bahagia bercampur prihatin membuat laki-laki itu menghembuskan napas berat. Lalu, secara tak terduga, ia mengelus tangan Susan dengan lembut.Nesa menatap tak percaya. Pemandangan di depan matanya seakan tidak nyata.“Dia mau apa?” batinnya sambil memperhatikan setiap gerakan Pram.Tiba-tiba Susan membuka mata dan terbelalak melihat Pram berdiri begitu dekat di hadapannya.“Pram…..” Ia berbisik dengan suara lemah.“Bagaimana keadaan kamu?” Pram bertanya dengan suara lembut.Susan tampak masih belum percaya. “Pram….Kenapa kamu ada di sini?” Ia menoleh ke arah Nesa, seolah meminta penjelasan.“Nesa dan Raga mengabari yang terjadi sama kamu.” Jawaban Pram membuat Susan menutup mata dan memalingkan wajah.“Seharusnya kamu tidak boleh di sini,” katanya dengan suara lemah. “Aku terlalu malu b
“Terima kasih Pram. Aku benar-benar berharap Nesa anak kamu. Tidak ada yang lebih pantas untuk jadi ayahnya selain kamu. Dan aku sangat yakin Nesa memang anakmu. Sifat keras kepalanya persis kamu.” Susan merasa kedekatan yang dulu pernah ia rasakan dengan Pram kembali menyeruak. Ia tak merasa sungkan sama sekali. Malah merasa begitu nyaman berada di dekat mantan pelanggan dan juga kekasihnya itu. Wajahnya penuh dengan air mata. Genggaman tangan Pram serasa obat penenang yang membuat tubuhnya tiba-tiba menjadi kuat.Pram memaksakan sebuah senyum untuk Susan, meskipun hatinya benar-benar sedang galau. Hanya dalam waktu hitungan hari, calon menantu yang sangat ia banggakan, tiba-tiba saja dinyatakan sebagai anak kandungnya.“Entah aku harus sedih atau bahagia,” batinnya. “Jika ternyata Susan salah, dia pasti sangat tersiksa karena sudah begitu yakin dengan perasaannya.”Sejumput rasa kasihan menyelinap di hati Pram melihat batapa
“Kalian tidak boleh menikah, karena kalian adik kakak!Raga dan Nesa menatap Pram dengan pandangan buram.“Itu lagi,” keluh Raga dengan suara tercekat. “Aku bosan mendengar kata-kata itu.” Ia bangkit berdiri hendak pergi meninggalkan ruangan.“Duduk, Raga!” Suara Pram terdengar tegas.“Aku tidak mau mendengar omong kosong itu lagi.” Raga menyahut singkat.Nesa menghela napas dengan wajah memerah menahan gejolak di dadanya yang terasa menggelora. Tak menyangka, kini Pram sendiri yang mengatakannya. Dengan lembut, ia menarik tangan Raga.“Mari kita dengarkan penjelasan mereka, Mas.” Ia menatap Raga dengan pandangan memohon.“Aku tidak mau, Sayang. Mereka terlalu mengada-ada.” Raga bergeming.“Duduk, Raga!” Pram mengulang perintahnya sambil menatap Raga dengan sorot mata dingin. “Papa belum selesai bicara!”Dengan kesal, Ra
Sejenak ruangan itu menjadi tenang. Pram mengelus rambut Susan, lalu melangkah keluar.“Kalian harus melakukan tes DNA,” Susan berkata dengan suara lemah. Hatinya benar-benar gundah. Ia semakin khawatir melihat betapa dekat hubungan Nesa dengan Raga.“Aku tidak akan melakukan itu!” Nesa benci disuruh melakukan test DNA. Padahal sebenarnya ia tidak siap menerima kenyataan.Raga mengenggam tangan Nesa. “Kita harus melakukan tes itu, Sayang. Biar semua menjadi jelas.”“Terima kasih, Raga.” Susan menatap anak mantan kekasihnya itu..“Tante istirahat saja. Saya mau bicara dengan Nesa di luar.” Raga menggamit tangan Nesa dan keduanya meninggalkan Susan yang kini kembali berusaha merebahkan tubuhnya.“Aku akan langsung mendaftar untuk tes DNA.” Raga berkata tegas ketika mereka telah berada di luar ruangan. “Aku tidak mau mengira-ngira dan menebak-nebak hubungan darah di a
Pagi menjelang. Susan merasakan tubuhnya jauh lebih kuat daripada semalam. Wajahnya pun sudah kembali memerah. Ia mengucek mata perlahan, lalu tatapannya terpaku pada Nesa yang tengah bergelung di sofa. Hatinya dipenuhi perasaan bahagia melihat anak gadisnya tampak begitu damai dalam tidurnya.Entah karena memang sudah bangun atau instingnya yang sedang bekerja, Nesa seakan-akan dapat merasakan tatapan Susan padanya sehingga matanya pun membuka dan bertatapan dengan mata Susan yang tengah memandangnya dengan sangat lekat.“Ibu sudah bangun? Bagaimana rasanya pagi ini?” Nesa bertanya dengan suara yang terdengar masih mengantuk.“Alhamdulillah. Ibu merasa jauh lebih sehat dan kuat. Sepertinya Ibu mau kita pulang hari ini. Ibu tidak betah lama-lama di rumah sakit.” Susan menjawab sembari memberikan senyum kecil pada anaknya yang kini terasa sangat dekat dengannya.“Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Wajah Ibu juga tampak jauh l