Share

Bab 2 : Kesepakatan

"Kenapa kakak ga angkat telepon?"

Fani termenung melihat layar ponselnya, panggilan darinya ditolak oleh sang kakak. Padahal biasanya Diandra akan langsung mengangkatnya, meskipun Fani hanya akan menanyakan hal sepele kepadanya. Kecuali jika di jam kerja, Diandra akan kesulitan mengangkat panggilannya.

Sementara itu, di tempat lain Diandra mulai ketakutan. Entah kenapa suhu udara menjadi dingin. Apa yang ada di balik pintu membuatnya begitu was-was. Diandra memegang erat ponsel miliknya. Dua kaki yang menapak terlihat bayangannya dari balik pintu.

"Aku pikir kamu salah mengira, nona."

"Aku hanya akan memberi tahu sesuatu kepadamu," katanya.

Diandra mulai berpikir keras, "Aku akan keluar," katanya kemudian.

"Okey, keluar lah baik-baik," sarannya.

Diandra menurunkan tas sling bag yang melekat pada pundak, kemudian tas itu dia pegang dengan erat. Tangan kanan bersiap dengan tas miliknya, sementara tangan kiri berjaga pada kunci pintu.

Bunyi kunci yang terbuka seolah memberikan sinyal untuk bersiap, perlahan tapi semakin cepat dia membuka pintunya. Lalu, tangan kanannya melempar tas itu kepada pria yang berdiri di depannya. Meskipun tas ditangkap dengan baik, Diandra berusaha berbelok keluar. Namun, sayangnya tangan kanan langsung dicekal oleh pria berpakaian rapi yang berjaga dekat pintu. Cengkeraman yang kuat bagi Diandra, meskipun dia berusaha melepaskan tangan darinya, tapi tidak berhasil.

"Apa mau kalian?" geram Diandra.

"Bentar-bentar, tenang dulu ya," kata Juan yang memegang tas milik Diandra.

"Gimana aku bisa tenang diantara dua orang laki-laki dalam toilet?!"

Pria yang memegangnya erat melepasnya, "Kamu ada di toilet laki-laki," jelasnya.

Seketika Diandra terdiam, kedua matanya langsung melihat sekitar. Benar saja, dia melihat tempat buang air kecil laki-laki yang berderet. Diandra membelalakan matanya, menyadari keteledoran yang sangat fatal. Bagaimana dia bisa masuk ke sini tanpa sadar akan sekitar sedikit pun.

"Bukan kita," kata Juan.

"Tapi kamu yang berada di toilet laki-laki," sambungnya.

Juan pun tersenyum, "Ayo kita bicara," ajaknya.

Diandra harus menahan rasa malunya di hadapannya dua orang pria. Mereka duduk di dekat meja yang sama, keduanya menatap dengan tatapan berbeda. Juan menatap dengan senyuman di bibirnya, sementara Darren memandangnya dingin.

"Apa kali ini sudah diperiksa, Darren?" tanya Juan.

Darren mengangguk, "Sudah, Tuan Juan."

"Okey, sekarang mari kita bicara," kata Juan.

Udara semakin mendingin ketika pria itu terdiam membisu menatapnya serius. Senyumnya sirna begitu saja, "Aku akan memberikanmu kesepakatan."

Darren memberikan selembar kertas yang dikeluarkan dari tas kantor hitam miliknya. Diandra yang awalnya bingung, mengambil kertas itu. Wanita itu tak mengerti kenapa dia harus menerima surat perjanjian dia atas materai.

"Apa maksudnya ini?"

Juan tersenyum, "Itu hanyalah surat perjanjian agar kamu melupakan apa pun yang kamu dengar tadi. Kami juga akan melupakan kejadian tadi. Selan itu," katanya menggantung.

Juan menoleh ke arah Darren, kemudian kembali menatap Diandra, "Kami akan membayarmu berupa cek senilai 25 juta, apa itu cukup?"

Diandra melotot mendengar jumlah uang yang diberikan begitu saja. Juan nampak mengangguk setelah melihat Diandra hanya terdiam kebingungan, "Kami akan mengirimkannya sesegera mungkin, jadi kamu gak usah khawatir."

Sayangnya bukan itu yang Diandra cemas kan, "Bukan itu, aku gak bisa nerima ini," katanya sembari menaruh selembar kertas.

"Dimana kamu bekerja?" tanya Juan kemudian.

Diandra diam sejenak, "Aku baru akan masuk kerja besok pagi," katanya kemudian.

"Di Diamond Company-" ucapannya tersekat ketika dia baru menyadari sesuatu.

Diandra baru saja menjalani interview tadi siang atas saran temannya Gea yang bekerja di sana. Dia baru sadar, orang di hadapannya adalah orang yang berkaitan dengan Diamond Company. Rasanya ada yang menghantam keberuntungannya.

Juan menepuk tangannya sekali dan tertawa, "Oh, kebetulan! Kamu masuk di perusahaan Diamond Company?"

"Darren, dia bawahanmu," ucap Juan sambil tersenyum lebar.

Seketika Diandra terkejut dengan ucapan Juan. Orang yang ada di depan, seseorang yang menatapnya dingin adalah atasannya? Sepertinya belum ada keberuntungan untuknya hingga hari ini.

"Okey, kita ubah kesepakatannya."

"Bekerja paruh waktu untukku dan aku akan membayarmu dengan pantas," katanya kemudian.

Diandra mengernyitkan dahinya, "Paruh waktu?"

"Aku akan memanggilmu di luar jam kerja utama, tenang aja. Aku cuman mau kamu gantiin Darren dalam beberapa kesempatan kalo orang ini sibuk sama pekerjaannya," jelasnya.

"Mungkin lebih tepatnya asisten paruh waktu," ucapnya sambil melihat ke atas.

Juan menunggu jawaban Diandra setelah banyak berbicara. Sementara rekan di sampingnya menatap datar kepada Diandra. Entah harus bersyukur atau tidak karena mendapatkan uang tambahan, tapi harus dihadapkan dengan dua orang yang memiliki kepribadian bertolak belakang. Ditambah calon atasannya ada di depan, bernama Darren, Diandra masih belum memahami posisinya. Karena Darren begitu menghormati keberadaan Juan.

Tak kunjung mendapatkan jawaban akhirnya Juan mengatakan, "Jika kamu gak bisa nerima tawaran ini, maka pihak Diamond Company akan langsung memecat kamu."

Ancaman itu berhasil membuat Diandra hampir merasakan serangan jantung. Cukup sulit baginya mendapatkan pekerjaan sebagus di Diamond Company. Seolah tak punya pilihan lain karena harus membiayai adiknya sekolah serta membayar hutang, Diandra pun menyanggupinya.

Diandra menerima surat perjanjian yang diberikan Darren, surat perjanjian di tulis ulang oleh Juan dalam selembar kertas putih. Akhirnya Diandra pun menanda tangani kontrak, meskipun dia sempat ragu untuk menggoreskan pena.

"Nah, surat perjanjian sudah ditanda tangani. Semoga kedepannya kita bisa bekerja sama," ucap Juan menjulurkan tangannya kepada Diandra.

Diandra menerima jabatannya ragu, tapi Juan menjabatnya dengan mantap. Pertemuan itu, menjadikan seluruh tubuhnya terasa lemas saat dia tiba di rumah. Diandra tidak habis pikir akan apa yang menimpanya hari ini. Setelah kembali ke rumah, dengan gontai dia berjalan menuju kamarnya mengabaikan sang adik yang memanggilnya beberapa kali.

Setibanya di kamar, dia menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya serta termenung. Kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, terus berputar di otaknya walaupun menolak karena rasa malu.

"Argh!"

Diandra menutup wajahnya dengan bantal, dia berteriak kencang di sana. Begitu frustasi sampai dia sulit tidur untuk bekerja besok. Benar saja, telat bangun sedikit lagi Diandra tidak akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan dirinya.

"Fani, kenapa kamu ga bangunin kakak?" tanya Diandra dengan rambut acak-acakan.

Fani yang sudah berpakaian batik serta bawahan rok biru mudanya menatap sinis di meja makan, "Aku udah bangunin," katanya dengan nada kesal.

Diandra berdecak kesal melihat waktu yang terus berjalan. Diandra mengganti pakaiannya dengan cepat, memakai riasan tipis kemudian pergi dengan membawa sling bag miliknya. Dia pergi ke jalan besar untuk menunggu angkutan umum tiba di halte. Namun, seseorang menelepon ketika sedang tergesa-gesa.

Diandra mengangkat telepon sambil memeriksa bus selanjutnya. Suara seseorang di balik telepon menyapanya, "Aku Juan, datanglah sepulang kerja ke minimarket dekat perusahaan."

Kemudian, orang yang menelpon itu mematikan panggilan tanpa meminta persetujuan atau alasan untuk yang menerima. Diandra pun semakin geram, wajahnya semakin memerah ketika dia mulai marah, "Juan br*ngsek."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status