Diandra yang tergesa-gesa karena tak kuasa menahan perutnya yang sakit ingin buang air besar, dengan cepat memasuki ruang toilet. Sembari memegangi perutnya, dia duduk di kloset. Mengeluarkan sisa makanan yang tercerna, hingga perutnya merasa lega. Namun, ketika ia hendak keluar dari bilik, langkahnya terhenti mendadak dan tangannya tergantung di udara. Dia ragu-ragu untuk membuka pintu, seolah-olah terhipnotis oleh suara pria yang tiba-tiba terdengar di luar. Dalam keadaan terjebak, Diandra memutuskan untuk tetap berada di dalam bilik toilet, merenung dengan cemas sambil mendengarkan pembicaraan yang terjadi di luar sana, di antara ketidakpastian dan kegelisahan yang merasukinya."Darren, bagaimana keadaan perusahaanku?"Suara berat seseorang menghamburkan perhatian Diandra. Suara air yang mengalir dari wastafel di depan membuat Diandra makin mempertajam pendengaran di balik pintu bilik ini. Diandra mulai mengangkat kakinya sedikit agar orang yang sedang berbincang tidak menyadari k
"Kenapa kakak ga angkat telepon?"Fani termenung melihat layar ponselnya, panggilan darinya ditolak oleh sang kakak. Padahal biasanya Diandra akan langsung mengangkatnya, meskipun Fani hanya akan menanyakan hal sepele kepadanya. Kecuali jika di jam kerja, Diandra akan kesulitan mengangkat panggilannya. Sementara itu, di tempat lain Diandra mulai ketakutan. Entah kenapa suhu udara menjadi dingin. Apa yang ada di balik pintu membuatnya begitu was-was. Diandra memegang erat ponsel miliknya. Dua kaki yang menapak terlihat bayangannya dari balik pintu."Aku pikir kamu salah mengira, nona.""Aku hanya akan memberi tahu sesuatu kepadamu," katanya.Diandra mulai berpikir keras, "Aku akan keluar," katanya kemudian."Okey, keluar lah baik-baik," sarannya. Diandra menurunkan tas sling bag yang melekat pada pundak, kemudian tas itu dia pegang dengan erat. Tangan kanan bersiap dengan tas miliknya, sementara tangan kiri berjaga pada kunci pintu.Bunyi kunci yang terbuka seolah memberikan sinyal u
"Namanya Diandra, saya harap kalian bisa membantunya kalo ada kesulitan yang dia hadapi."Diandra berdiri di depan orang yang akan menjadi rekan satu kantornya. Darren begitu ahli membuat orang lain mendengarkan, tak satu orang yang berani bicara saat dia sedang mengucapkan sesuatu kepadanya.Meskipun begitu rasa gugup tetap dirasakan, apalagi atasan bernama Darren yang memimpin baru saja dia temui kemarin. Meskipun begitu, Diandra berusaha tetap profesional, dia tersenyum dan menyapa yang lain."Baik, itu saja. Lanjutkan pekerjaan kalian," titah Darren.Darren kemudian pergi seolah-olah dia tidak mengenal Diandra. Melihat punggung Darren yang semakin menjauh bersama seorang asisten wanitanya, Diandra merasa sedikit cemas. Bahkan dia kurang nyaman setelah apa yang menimpanya kemarin.Beberapa orang menyapa dan memperkenalkan diri. Kemudian, beberapa yang lain langsung ke tempat masing-masing. Diandra pun duduk di tempat yang sudah di instruksi kan. Ketika dia baru saja membuka kompute
"Kamu ke ruangan saya."Diandra baru saja duduk di kursinya untuk melanjutkan beberapa tugas yang diberikan. Namun, sayangnya keberuntungan cukup sulit untuk dibiarkan menetap. Dia harus kembali berurusan dengan Darren.Hampir semua pasang mata melihatnya, Diandra yang kebingungan hanya bisa pasrah untuk mengiyakan apa yang diminta Darren. Diandra terpaksa mengikuti langkah Darren di belakang, meskipun kakinya terasa begitu berat. Berjalan melewati lorong dan menaiki lift, tak ada percakapan yang memecah keheningan. Sesampainya di ruangan Darren, laki-laki itu berdiri membelakanginya. "Tolong tinggalkan kami sebentar," katanya kepada seorang wanita yang memegang catatan di tangan.Wanita itu mengangguk kepada Darren, kemudian melangkah pergi dengan melirik Diandra sebentar. Tatapan keduanya bertemu sebentar, lalu wanita asisten itu melenggang pergi. Kini, hanya ada Darren dan Diandra seorang."Aku punya pesan untukmu," ucapnya di depan Diandra."Pesan?"Darren mengangguk, "Dia memint
"Apa pekerjaan Pak Darren selama ini sebagai asisten rumah juga?"Juan tertawa mendengarnya, "Ya, bisa dibilang dia yang terbaik!""Jadi asisten rumah tangga, toh. Multitasking banget orang ini," ucap Diandra dalam benaknya.Diandra tidak membaca dengan baik kontrak kerja yang langsung ditanda tangani oleh dirinya sendiri. Apa yang dia tahu hanya sebagai asisten. Mungkin ini akan menjadi pekerjaan yang melelahkan baginya."Kamu lucu juga, ya," puji Juan tiba-tiba."Bagian mana lucunya?" batin Diandra.Diandra pun menunjukkan senyum andalannya, "Hehe, bisa aja Pak Juan."Apa yang dipikirkan dalam benaknya selalu berbanding terbalik dengan kelakuan yang dia tunjukkan kepada orang lain. Diandra merasa harus menunjukkan berbagai macam topengnya untuk menyenangkan hati atasannya atau orang lain. Begitulah yang selalu Diandra lakukan selama ini."Berhentilah tersenyum seperti itu, aku tau itu bukan senyum yang mau kamu tunjukkan," kata Juan.Seketika Diandra terkejut dengan apa yang dikatak
"Pak Juan, ayolah, sini!"Diandra semakin kesal kala Juan mematung di depan sebuah lemari minuman dingin yang menampilkan banyak varian susu serta olahan susu lainnya. Layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu dia akan memperhatikan sesuatu begitu lama, kemudian baru menunjuk apa yang diinginkan. Hampir sama seperti yang dilakukan pria pemilik hidung mancung dan mata coklatnya yang begitu cantik ini."Bukankah kita juga harus beli ini?" katanya.Diandra merasa ingin meremas kepala orang itu, sebab dia tidak yakin sudah membeli semua yang harus dibeli. Namun, orang ini malah merengek meminta membeli sekotak yogurt. Diandra mengangguk, anehnya pria itu begitu senang setelah diizinkan. Bukankah dia bisa membelinya sendiri? Kenapa perlu izin darinya. Begitulah isi pikiran Diandra ketika menatap lama Juan. "B-Boleh, silahkan aja, Pak," ucap Diandra ragu.Diandra kembali mendorong troli ke tempat perbelanjaan selanjutnya. Juan selalu diawasi ketika Diandra hendak mengambil sesuatu. Hi
Dalam taksi di jalan yang sepi, supir taksi itu nampak sesekali melihat ke layar kaca untuk melihat di belakang. Juan menyunggingkan bibirnya, tatapan mata yang saling bersinggungan membuat supir itu langsung mengalihkan pandangan. Juan kini beralih menatap Diandra yang sibuk memandang sekitar. Juan mendekat sampai tatapan mereka berdua terkikis oleh jarak, udara makin panas ketika wajah mereka hanya beberapa senti saja. Jendela kaca mobil yang masih tertutup membuat oksigen luar tak dapat masuk. Dekatnya wajah Juan, membuat Diandra sulit untuk mengalihkan pandangan, "Dengar," bisik Juan dari dekat."Keluarlah sebentar dan berpura-pura menelpon seseorang sambil bersembunyi di gang kecil itu," suruh Juan sambil menunjuknya dengan gerak mata.Bunyi pintu mobil yang terbuka terdengar, angin semilir membawa masuk suhu dingin saat senja hampir usai. Diandra bergegas beranjak keluar mobil, serta menggunakan ponsel sesuai arahan Juan sebelumnya. Setelah Diandra mulai menjauh, Juan langsung
"Pegang ini."Juan memberikan satu kantung plastik besar kepada Diandra. Sementara itu, Juan membuka kode kunci pintu masuk apartemen. Setelah bunyi kode kunci benar, Juan mengambil kembali kantung belanjaan yang dia titipkan kepada Diandra. Kemudian dia masuk ke dalam, menaruh belanjaan di dapur yang berdekatan dengan ruang tengah.Diandra masih terdiam di pintu, ini kali pertama baginya masuk ke dalam apartemen laki-laki. Melihat ruang yang begitu rapi dengan suhu dingin dari pendingin ruang menyapa."Apa yang kamu lakukan di sana? Sini masuk!" teriak Juan dari dalam.Mendengar suara yang cukup lantang dari sana, Diandra buru-buru masuk ke dalam. Juan menghampiri Diandra yang berdiri di dekat pintu. Tinggi mereka yang berbeda, membuat Diandra harus mendongak untuk melihat matanya."Kenapa lama sekali?"Diandra terdiam ketika Juan yang menjulurkan tangannya di samping pinggang. Tanpa sepatah kata pun, Juan mendekat dan menatapnya dalam diam. Di saat itu Diandra memundurkan langkah k