Pecahan kaca sudah tercecer kemana-mana. Satu pecahan gelas dengan cairan susu, dan tak jauh dari sana ada guci yang juga ikut pecah.
"Xavier tidak apa-apa?" Adeline bertanya khawatir sembari memutar tubuh Xavier—mencari luka di tubuh bocah itu. Embusan napas lega keluar beberapa saat setelahnya lantaran tidak melihat ada luka ditubuh Xavier yang masih syok. “Kenapa ini bisa terjadi?” tanya Adeline dengan lembut, tak ingin marah karena percuma, guci itu tidak akan bisa kembali ke bentuk semula.
“Tadi Xavier menendang bola.” Ia menunjuk ke arah bola yang berada di sudut ruangan. “Tapi malah melenceng mengenai guci itu, Aunty.”
Adeline tidak bisa menyalahkan Xavier sepenuhnya, pasalnya guci itu tidak seharusnya berada tepat
“Apa kau bisa duduk tenang?” tanya Kendrick yang kesal pada Adeline karena wanita itu terus saja berjalan memutari kamar mereka. Tentu itu mengganggu mata Kendrick yang sedang fokus pada laptopnya.Adeline memberhentikan kegiatannya. Dia berjalan, duduk di pinggiran kasur yang sangat dekat dengan Kendrick. “Kau terganggu? Kalau begitu silakan pergi ke ruang kerjamu sekarang,” jawab Adeline dengan cibiran diakhir.Kendrick menghela napas. Perlahan menutup laptop yang menyala, menggesernya ke samping, lalu menarik Adeline mendekat. “Bagaimana aku bisa pergi kesana kalau kau seperti cacing kepanasan, hm?” Alis Kendrick terangkat satu. “Sedari tadi kau berniat kabur dari sini agar bisa mengerjakan pekerjaan yang ada dibawah.”
"Itu teriakan Adeline?"Tanpa menjawab pertanyaan Belinda, Kendrick dengan sangat cepat berlari dari ruang keluarga menuju ke sumber suara. Langkahnya melambat kala matanya menangkap sosok Adeline yang sudah pingsan di lantai dengan Ana yang sedang mencoba membantunya."Tolong! Siapapun tolong!"Kendrick tersadar karena teriakan Ana yang menghantam telinganya. Dengan cepat, Kendrick mendekati Adeline. Mengabaikan perasaannya yang sudah kalang kabut, tak bisa dijelaskan dengan kalimat. Seperti ada gelombang gelap yang siap menyambut Kendrick kala dirinya mengangkat tubuh Adeline dengan gaya bridal style—tidak siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Adeline.Yang ada dipikirannya sekara
Sosok Kendrick yang menyeramkan itu telah tiba di mansion. Kakinya tak segan-segan menginjak ubin mahal untuk segera masuk ke dalam. Matanya menatap lurus ke depan, tak menghiraukan benda-benda mati yang terlihat baru di dalam mansion. Benda yang awalnya dirancang sebagai penghias untuk pernikahan mereka. Namun setelah kabar Adeline, benda-benda itu mendadak tak berwarna seakan ikut paham akan situasi yang terjadi.Alis Kendrick bertaut kala sampai di ruang kerjanya dan dipertemukan dengan dua wanita yang berprofesi sebagai pelayan—Ana dan Trisna yang sedang menunduk. Tepat di depan mereka sudah berdiri Denio.Hawa ruangan itu terasa mencekam. Sampai-sampai oksigen tak berani masuk ke dalam.“Tuan, setelah saya melihat CCTV, hanya ada mereka berdua di
“Kendrick, aku—““Tenanglah.” Kendrick langsung memotong. Menatap Adeline yang sudah tersadar sambil berdiri. “Dokter tidak mengizinkan mu diberi obat karena akan berpengaruh pada kandunganmu. Jadi kau harus istirahat total. Kalau tidak, terpaksa aku akan menyuruh dokter menyuntik mati dirimu.”Adeline mendelik tidak suka. Sekalipun Adeline sudah sekarat seperti kali ini, kalimat pedas Kendrick tidak akan pernah berhenti. “Kau … terlihat tidak khawatir.” Dengan nada rendah berusaha menahan sakit, Adeline bersuara. “Wajahmu membuatku kesal. Apa kau tidak menangis saat aku pingsan?”Dengan tegas Kendrick menggeleng. Pria itu memang sangat gengsi untuk menunjukkan sisi yang sebenarnya. “Itu buk
Part ini panjang, jadi harga sedikit mahal. Mohon mengerti.Adeline tersenyum ceria mendapati Kendrick yang duduk di sampingnya sesaat membuka matanya—bangun dari tidurnya.“Ayo, kau harus makan.” Kendrick menggeser overbead table ke arah Adeline yang ranjangnya sudah dinaikkan agar wanita itu bisa duduk. Lalu mengambil piring yang berisi makanan dan diletakkan di meja tersebut. “Sebenarnya aku malas memperlakukanmu seperti anak-anak. Tapi karena kau sudah membantuku waktu sakit, jadi anggaplah ini sebagai balasan.”Adeline memberengut kesal. “Apa susahnya kau bersikap manis sedikit?” tanya Adeline kesal. “Seperti, ‘Adeline, ayo makan. Aku sudah membawakanmu makanan, kau mau aku suapin?’ harusnya begitu, bukan malah membuatku kesal.”
Kendrick mengucek kedua matanya kasar. Mengerjap, seakan sedang membuktikan kalau Adeline yang tengah berdiri di depannya dengan tatapan tajam adalah nyata, bukan mimpi.“Bagus, kau sudah bangun akhirnya,” kata Adeline tanpa berniat melepaskan otot wajahnya. Dia berjalan mendekat. Memukul dada Kendrick dengan kasar.“Hey, Adeline! Apa yang kau lakukan?” tanya Kendrick tak terima. Dengan mudahnya dia menahan tangan Adeline. “Kau harus tahu kalau tenaga mu itu tidak sebanding denganku, Mommy.”“Diamlah!” Adeline menyentak. Mendorong tubuh Kendrick kasar. “Sekarang aku mau pergi dari sini! Detik ini juga!” bentak Adeline. Telinga Kendrick seperti dihantam bom—sangat sakit.
“Pergi! Pergi! Jangan mendekat!”Adeline membekap mulutnya. Terlihat kaget akan reaksi yang Katrin berikan. Dia malah menjerit horor. Seakan Adeline adalah seorang penjahat yang siap mencelakakan Katrin.“Pergi! Pergi!” Katrin kembali berteriak. Menatap Adeline penuh waspada. Tidak bisa bangkit dari ranjang karena bekas tembakan itu belum sepenuhnya kering.“Kendrick.” Adeline menggumam kaget saat tangannya digenggam pria itu. Dan langsung saja Kendrick menuntun Adeline keluar dan menutup pintu itu rapat. Hebatnya, suara Katrin lenyap begitu saja.“Dia kenapa?” tanya Adeline dengan tampang melongo tak percaya.
Senyum cerah terbit di wajahnya yang cantik. Bibirnya tertarik membentuk lengkungan, menekan kedua pipinya hingga terbentuk lesung pipit yang amat cantik. Sampai-sampai sepasang matanya hampir tidak terlihat.Matanya mengerjap. Bulu mata yang berlapis-lapis itu terlihat naik turun. Wanita itu memang terlihat sangat cantik dengan balutan make up tipis. Rambutnya juga ditata rapi, meninggalkan beberapa helai di samping kiri kanan wajah, semakin menambah kesan manis pada dirinya.“Mommy! Lihatlah Max, dia sungguh nakal! Dia menumpahkan susunya ke kemejaku!”Bukannya melanjutkan ocehannya, Xavier malah terdiam. Matanya tak mengedip sama sekali. Seakan tidak mau melewatkan bagaimana cantiknya wanita yang tengah duduk di hadapannya. Mengabaikan beberapa wan