Berjalan di jalan besar layaknya penghuni Jepang lainnya yang disibukkan dengan aktivitas malam. Mayoritas dari mereka sedang menunggu bus dan hendak menaiki kereta. Namun, Zara berbeda. Raganya yang berjalan, tetapi hati dan pikirannya melayang. Terlihat bagai artis yang tak ingin dikenali dengan jaket hitamnya, Zara selalu menatap jalan dan membiarkan tangan menghangat dalam saku. 'Bahkan Bastian ikut membantu. Apa separah itu kondisi kantor? Mario! Orang macam apa dia? Semenakutkan itu kah otaknya terhadap dendam? Aku penasaran ingin segera bertemu dengannya. Aku juga penasaran apa yang dia lakukan pada Reon? Argh, tidak bisa tenang!' Sedari tadi hanya membatin, bergelut dengan nalar sendiri. Hingga pada akhirnya dia tiba di sebuah studio rekaman kecil. Langkahnya pun terhenti. "Hmm?"Meneleng seakan mengingat dan kehilangan sesuatu yang berhubungan dengan studio itu. Mengerjap dua kali dan sadar akan sesuatu."Astaga! Aku harus latihan bernyanyi! Kenapa malah jalan-jalan di
"Iya, aku sudah tiba di depan kantor cabang perusahaan Tuan Reon." ujar Zara menyeringai dengan seseorang di saluran telepon. Rambut yang berkilauan tertepa angin menarik perhatian beberapa orang. Dia penuh percaya diri. 'Sungguh hebat! Bahkan cabangnya saja sebesar ini. Apa Reon disembunyikan di dalam?' Bicara pada Alexa, meminta untuk menuntunnya ke kantor cabang Reon. "Bagus! Masuklah! Cari Tuan!" ujar Alexa di sebrang sana. Senyum Zara semakin miring. "Kalau itu jangan beritahu aku."Zara memutuskan panggilannya. 'Intinya ... aku tau Mario ada di sana,' batin menyambung.Resepsionis tidak menahan keberadaannya karena Zara datang atas undangan dari Alexa yang ditujukan kepada dewan personalia di sana. Zara memanipulasi surat itu sebelumnya. Lalu, dia benar-benar berada di ruangan panas itu. Namun, orang yang dihadapi bukanlah orang yang semestinya, melainkan sasaran yang di cari yaitu Mario Alfarel.'Wa-wajah itu!' bahkan naluri pun tergoncang. Gigi yang sedikit terlihat
Mario menghela napas panjang setelah berdebat dan berpikir panjang. "Nona, aku harus membicarakan ini dengan manajermu. Jika memang diperbolehkan, maka kau bisa bergabung dengan kami. Ini keputusan final." Menatap Zara tanpa ampun seakan tak ada celah untuk melubangi tekad itu. Zara pun merasa sedih. "Kau tidak bisa membantuku secara pribadi? Meskipun kita satu negara?" 'Manajer dari mana? Aku harus bersusah payah meyakinkan pihak agensi kalau begini,' pikir Zara. Giginya mengetat kala bibir itu tertutup. Mario menggeleng ringan. Akhirnya Zara hanya bisa membuang napas pasrah akan hasil debatnya. "Baiklah, akan kubawa manajerku. Perusahaan ini melakukan sistem rotasi bumi, 'kan? Artinya selalu buka dua puluh empat jam. Aku akan datang nanti malam. Kuharap kau menungguku, Tuan! Terima kasih atas kerja kerasnya. Aku permisi!" 'Tidak boleh bertemu Presdir? Reon memang di Jakarta dan tentunya mustahil bisa bertemu dengannya, tapi karena itu Mario, nadanya sedikit memaksa. Karena R
"Huh! Sungguh disayangkan. Kau terpana dengan tahananmu sendiri? Nona Forin?" Mendengar teguran Reon yang begitu dalam membuat Forin tersentak. Laki-laki itu masih enggan membuka mata seolah masih tertidur tenang. Binar di netra Forin tetap terpancar walau tertampar kenyataan keras. "Apa dalam sekejap kau berpaling dari tunanganmu dan beralih padaku? Seperti sampah yang tidak tau diri." Bibir Reon terus melantunkan kata demi kata yang berujung menyakitkan hati.Forin berdecih. Dia sedikit memalingkan diri. "Setajam itu kah lidahmu, Raja Iblis?" Angin masih bertiup lirih membisikkan di seluruh pori-pori kulit bahwa malam semakin dingin. Forin menoleh ke segala arah mencari sumber celah. "Setiap malam gelap nan dingin selalu menyertaiku jika itu yang kau cari. Mengapa udara dingin bisa menembus dinding ini? Karena ada aku di sini," celoteh Reon menjawab pertanyaan Forin. Model itu tersentak mundur."Mustahil! Apa kau benar-benar Raja Iblis?" Raut wajah yang sangat ingin dilihat
Kabarnya polisi dan seluruh anggota rumah Reon telah bekerja sama untuk menutupi kepergian Zara. Tentu saja Alexa yang mengaturnya. Saat ini, laboratorium kehilangan keseimbangan. Akibat dari ketidakadaan CEO mereka, banyak formula yang salah dan racikan tidak sempurna. Mereka khawatir. "Di pojok sana! Bagian belakang tempat sampah dan kebun Lavender! Jangan lupa sisi kanan tempat pembuatan parfum tersebar banyak di sana. Cepat bereskan semuanya! Kita tidak punya banyak waktu!" Alexa menunjuk segala arah mengerahkan pasukan penjinak bom waktu untuk mengambil bom yang merekat di berbagai benda tanpa sepengetahuan dirinya dan para pekerja. Bahkan CCTV tidak bisa merekam sang pelaku. "Jangan ada yang berisik! Tetaplah bekerja dengan tenang! Kemungkinan besar kita sedang diawasi. Jika mereka tau kita menemukan bomnya, maka mereka bisa memasangnya lagi diam-diam. Kemungkinan yang lebih parah, rencana yang lebih besar akan terjadi!" Seruan Alexa menggema di dalam ruangan. Terpaksa m
"Baiklah, kau bisa bekerja besok. Aku akan bicara dengan Alexa. Bagaimana pun juga dia harus mengetahuinya." Manajer baru Zara berhasil bernegosiasi dengan Mario. Zara teramat senang sampai meninju udara. Namun, karena manajer muda itu ingin bicara dengan Alexa, Zara menghela napas panjang. Mereka masih di depan ruangan Mario tanpa lalu-lalang orang. "Aku tidak ingin mengganggunya. Bisakah kau jangan beritahu Alexa?" memberi tatapan memohon. Orang itu tersentak. "Tapi kenapa?" Zara mengendikkan bahu dan mengangkat tangan ke samping. "Dia pasti akan memarahiku karena aku semena-mena. Ayolah, kumohon!" Lagi dan lagi membuat permohonan dengan wajahnya yang manis penuh kasihan. Alhasil manajer itu menyerah. Zara pergi dengan senyuman puas. Dia bisa istirahat di hotel sampai pagi. "Hah, mudah! Sudah kuselesaikan, 'kan, Bastian? Besok aku akan mencari Reon melalui Mario sendiri. Ngomong-ngomong, di mana dan bagaimana dia sekarang?" Pandangannya meredup menatap langit-langit. Ber
Malam yang begitu panjang pun berlalu. Pukul satu dini hari, di saat seluruh Tokyo diselimuti langit gelap berbintang, banyak menimbulkan kekacauan. Kejadian di kamar kurungan Reon membuat celah besar di dada Forin. Gadis itu ketakutan setengah mati membayangkan ancaman Reon terjadi. Dia lari menemui Mario ingin meminta tolong. "Mario! Dia gila! Reon mau membunuhku! Dia sudah gila!!!" teriaknya setelah bertemu Mario.Lalu, nasib Reon tetap terkulai lemas di ranjang dengan sebelah rantai borgol yang telah lepas. Dia hanya butuh menunggu beberapa waktu saja untuk pulih dan dapat melarikan diri. "Dia mengancamku, tapi aku takut sekali! Seakan yang mengancamku bukanlah manusia, tapi benar-benar iblis! Reon mengerikan! Aku tidak bisa mendekatinya walau seujung jari!" Menggeleng tak karuan di depan Mario yang sibuk dengan laptop. Tidak memperdulikan ocehan Forin yang bahkan tubuhnya bergetar. "Tidak! Tidak mungkin! Kenapa tidak bisa diledakkan?!" Mario panik dengan jari menari di at
Pagi yang cerah dalam tekanan darah normal. Akhirnya Ryo bisa bernapas lega. Dia mendatangi rumah Reon, tetapi penjagaan begitu ketat sehingga dirinya diusir. Keganjalan pun menghampiri. Berkacak pinggang di depan gerbang istana Reon yang tertutup. "Sepi sekali, seperti tidak berpenghuni. Tidak ada pelayan istana yang berseliweran. Pos penjaga ini juga terasa senyap. Apa hanya perasaanku saja?" Gumaman yang memicu prasangka buruk. Niatnya ingin menemui Zara, sekadar ingin bicara tentang perusahannya, dengan kata lain pamer.Ryo berdecak dan berbalik pergi. "Tanpa bantuannya pun aku bisa mendirikan namaku lagi." Entah mengapa kaki membawanya berhenti di gedung tinggi terharum di seluruh sudut negeri.Kantor utama Reon Varezan Dailendra. Hanya melihat bangunan itu saja membuatnya kesal. "Astaga, aku seperti orang gila yang tidak ada pekerjaan. Kenapa harus kemari?" Suaranya memberat ketika akan pergi. Namun, tidak sengaja bertemu Bastian yang hendak memasuki gerbang kantor.Ba