"Jangan lakukan itu, Frey! Aku mohon," ucapku meminta dengan nada lirih, penuh tangis di setiap katanya. Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, setelah mengenali mereka lebih dalam di masa lalu. Pengawal berdehem, seakan menyuruhku untuk pergi dari hadapan sang pangeran mereka, "Ehem!"Jika perang sudah tidak bisa dielakkan malam itu, apa gunanya aku hidup? Karena akulah mereka terus-menerus bertengkar, dan mengadakan pertumpahan darah.Aku hanya bisa menangis layaknya ia yang lemah di depan Tuhannya. Malam gelap gulita yang telah tiba, mungkin adalah akhir dari percintaan segitiga tragis itu. Mataku terus memandang manik mata kuning keemasan itu, berharap Frey mengerti bahwa, aku tidak ingin peperangan mereka terjadi.Di ruang tengah kastil Zayden, ada sekitar lima puluh orang–sisa pertarungan di hari sebelumnya. Aku tahu, bangsa mereka tidak bisa keluar pada siang hari, tetapi kejadian yang mengejutkan kembali terjadi.(Flashback on)"Kenapa kamu ada di sini, Margaret Phire?" F
Gemuruh merah di langit menghiasi malam penuh duka. Kastil tua yang menjadi pusat perlindungan para vampir telah kosong. Aku ditinggal sendirian, hanya berteman dengan sepinya gelap gulita.Kedua tangan, dan kakiku dirantai. Dua orang yang menggantikan peran ayah dan ibu di hidupku juga ada di sana. Mereka diikat dengan tali yang sama. Di wajah Nona Kim nampak banyak sekali bercak darah. Mungkin dia sempat melawan, ketika diculik. Namun, tenaganya tidak cukup untuk melawan mereka. Sayang sekali, dia harus berkorban banyak hal hanya demi diriku. Maafkan aku.Ketika aku memalingkan wajah ke arah pria dewasa di sampingnya, perasaan sedih semakin menggerogoti hati. Tuan Robert terlihat sangat lelah, dan nampak sekali jika sudah dikeroyok habis-habisan sebelumnya.Golongan yang dipimpin oleh Tuan Peter agaknya memang sangat kejam. Tidak dapat disalahkan jika anaknya–Frey, tidak punya pemikiran secara bijak. Dia selalu saja mengambil keputusan sendiri, dan mempertahankan argumentasinya. Wa
Ya, aku ingat siapa aku, dan mengapa kematian itu datang. Setiap kali memejamkan mata, aku selalu teringat tentang janji yang pernah kami buat. Tidak ada tempat paling aman untuk menyatakan cinta di dunia ini.Aku dikenal sebagai Putri Zahra Clover di dalam sejarah Swifolges, dan sejarah Aluna. Semua orang yang melihatku akan merasa sayang. Dalam kata lain, tidak akan pernah berbuat jahat. Akan tetapi, itu hanyalah bualan semata. Karena yang sebenarnya terjadi adalah makna clover di margaku sebagai simbol keberuntungan, tidaklah berlaku untuk kehidupanku.Masa kelahiranku penuh dengan kontra, banyak wabah, dan juga perpecahan di mana-mana. Ratu Jingga–ibuku–sang wanita cantik dari khayangan, diberi sebuah kutukan jahat oleh ayahku–Raja Harry. Para penduduk di Swifolges mengenal sumpah itu dengan sebutan "Revenge cruel". Bagiku, ayah maupun ibu tidaklah ada yang salah. Mereka hanya ingin membenarkan pendapatnya masing-masing. Ibu dengan pembelaan cintanya, dan ayah dengan segala peno
Pelupuk mataku terbuka. Perasaan yang semakin dekat dengan tujuan, membangkitkan gelora api semangat di dalam nadi. Aku segera menuju tempat yang disebut sebagai tanah subur Valerie–arah Utara hutan. Di sana terdapat rerumputan magis, yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit langka. Legenda Kerajaan Swifolges mengatakan bahwa, tempat itu dulunya merupakan tanah singgah para dewa dan juga Dewi. Makanya terkesan suci. Kenapa mereka memilih tanah subur Valerie? Hanya ada dua alasan yang berkemungkinan besar bisa menjawabnya. Pertama, jika berperang di sana, tidak akan mudah terjangkau manusia–letak daerah yang sangat jauh dari Kota Aluna.Kedua, salah satu golongan tahu sebab-akibat yang ditimbulkan. Di sana sudah tahu, jika tidak diperbolehkan melakukan pertumpahan darah, tetapi masih saja dilakukan.Apakah mereka mencoba membunuh satu sama lain? Jika dipikir-pikir, salah satu dari mereka akan kalah, dan pihak yang lainnya akan menjadi pemenang. Nah, sang pelanggar di tanah subur Va
Perang menyisakan banyak luka, serta korban jiwa. Kerugian yang ditimbulkan pun tidak main-main–bisa sampai jutaan hingga milyaran, bahkan mungkin bisa lebih dari sana.Hanya ada sebuah perjanjian damai, bukan perang yang terus dilakukan. Tawuran antar kelompok, mungkin lebih cocok jika disematkan pada jenis pertarungan mereka.Akan tetapi, tawuran hanya melibatkan dua atau lebih kelompok kecil; jumlahnya terkadang sangat sedikit–mencakup suatu kelompok–terdiri dari satu atau beberapa orang. Makanya, aku menyebutnya sebagai perang antara dua golongan besar.Tanah subur Valarie dijadikan sebagai tempat melakukan perdamaian selanjutnya. Pak Aiden meminta perwakilan dari golongan manusia serigala untuk dapat hadir. Aku menyampaikan pesan dari penyihir itu untuk Lucer. Pria yang dua hari sebelumnya baru kehilangan sang ayah, hanya diam tak berbicara. "Pak Aiden memintamu untuk datang, Cer." Aku tersenyum pahit, ketika respon pria bersetelan serba dark itu hanya berdehem.Sosok seorang Lu
Aku terbangun di sebuah kamar terang berwarna abu-abu. Karena tidak ingin mereka menunggu, aku pun langsung bergegas mandi, dan mencuci pakaian dengan cepat.Tinggal di kamar yang dicat oleh Lucer, senantiasa membuat hatiku girang bukan main. Aku merasa dunia yang sebelumnya tidak adil, mulai perlahan-lahan kembali ke arah beruntung.Kehilangan banyak orang tersayang sudah menjadi jalan hidup. Aku hanya bisa berharap, berpikir, lalu berubah. Progresif di dalam hidup memang banyak mempengaruhi pusat pikiran. Di mana yang lebih terampil, rajin, dan suka menolong akan lebih disukai.Beberapa buket titipan dari Frey, Necia, Gio, dan juga Lucer kugabungkan menjadi satu. Hanya dengan sekali angkat ke bagasi mobil, makanan, bingkisan, dan pakaian Tuan Robert siap diantar.Aku punya banyak kesibukan di Perusahaan Phireec, setelah perang besar usai. Nona Kim yang menggantikan rapat di hari itu menitipkan sebuah kado kecil, entah apa isinya."Huft! Akhirnya udah juga semuanya. Sekarang tinggal
Ada banyak sekali buku yang tertumpuk di bawah tempat tidur Lucer. Sejak lima belas menit sebelumnya, dia hanya molor di atas sofa panjang. Hidupnya sudah benar-benar di luar kendali. Aku pikir setelah mendatangi rapat untuk batas-batas wilayah dia akan berubah, nyatanya tidak."Aduh, gimana, ya!?" Aku berusaha berpikir lebih keras untuk mempermudah pekerjaanku. Hanya dalam sekali percobaan, aku sudah gagal. Tuas yang kubuat takkunjung berhasil, dan lagi-lagi terus begitu."Lucer, ayo, bangunlah!" aku berteriak-teriak seperti orang yang sedang kerasukan setan. Jika dia bukan pria yang kusukai, mana mungkin aku mau mencarikannya buku sejarah tentang Swifolges."Hum, iya?" Pria yang mengenakan pakaian tidur bermotif biru polos itu mengucek-ucek matanya. Aku melemparkan boneka Boba di depannya. "Hei! Bangun dong! Ini udah jam berapa?" Jari telunjukku menunjuk ke arah jam dinding di dekat cermin.Hari sudah semakin siang, bukan bertambah pagi. Kalau saja aku tidak datang untuk mengajakny
"Dijeda, nih?" Ketika Lucer terlihat kesal, aku malah fokus ke seorang siswi yang berjalan di belakang tubuhnya.Aku berdesis, "Sttt! Bentar, ada orangnya," lalu berbicara dengan nada pelan. Lucer menoleh, dan dengan cepat kembali memandang ke depan–ke arahku. "Ngapain dia ke sini?" "Aku nggak tahu." Kami berdua sengaja saling mendiamkan mulut, agar percakapan antara Bi Dessy dengan Chel dapat terdengar jelas. "Bakwan jagungnya sepuluh, coco-colanya lima, soto ayam dua, sama bubur ayamnya tujuh, Bi." Dia nampak memberikan uang kes. Mungkin guru piket yang memintanya pergi ke kantin, atau dia sendiri yang menawarkan diri.Jarak kami dengan Chel sekitar lima meter. Suaranya yang cempreng membuat telingaku berdenging. Entah sengaja atau tidak, dia tiba-tiba berkata dengan keras,"Di sini kayaknya ada orang yang kena hukuman, ya, Bi!?"Bi Dessy terkekeh, "Hehehe. Bibi nggak tahu kalo mereka kena hukum, Neng. Biasanya anak-anak yang sering ke sini itu, yang suka bolos jam pelajaran."A