"Jangan malam-malam, ya, Nak! Pulangnya," kata Mamah sembari mengelus kepala Gibran pelan.
Gibran mengangguk. Ia sekarang mau berangkat ke Cafe yang sudah menawarinya untuk nyanyi.
"Salamlikum!" serunya sembari menutup pintu.
"Kumsalam," jawab Mamah dari dalam.
Gibran berangkat menggunakan motor kesayangannya. Motor itu tidak mewah, tapi itu motor dari hasil kerja kerasnya selama ini.
Sebelum berangkat, Gibran menelpon pacarnya terlebih dahulu.
"Halo, Hunny!" seru Gibran saat panggilannya telah di angkat.
"....."
"Iya, Hunny! Ini baru naik ke motor," jawab Gibran sembari tersenyum-senyum.
"....."
"Baik, Hunny!"
"....."
"Amiiinn. Bye Hunny! Sampai bertemu besok, eeeemmmuuuuaaahhh," katanya, dan mencium Hp-nya sendiri.
Tutt...
Panggilan di matikan setelah obrolan selesai.
Brrmmmm....
Gibran melajukan motornya membelah jalan yang lumayan padat.
Tak lama, Gibran sampai di tempat yang sudah Pasih kasih.
Gibran turun dari motor, lalu membuka helmnya, dan ia taruh di atas motor.
"Lumayan," gumam Gibran seraya melangkahkan kakinya masuk kedalam Cafe.
"Hai. Gib!" sapa seseorang dengan melambaikan tangannya kearah Gibran yang baru masuk.
Gibran tersenyum melihatnya. Ia kemudian melangkahkan kakinya mendekati orang itu, yang tak lain tak bukan adalah Pasih.
"Gimana?" tanya Pasih sembari menjabat tangan Gibran.
"Apanya?" tanya Gibran tidak paham.
"Cafe ini! Gimana? Apa kamu suka?" tanyanya.
"Oh. Keren!" jawab Gibran berbeda.
"Thanks," katanya sembari menepuk bahu Gibran lumayan keras. Sampai Gibran sedikit meringis.
"Eh, sorry-sory!" serunya bersalah.
"He..., gak papa," jawab Gibran malu sendiri.
"Siap!"
Gibran mengangguk.
"Kalo gitu, kita keruang atasanku dulu," katanya sembari melangkah lebih dulu.
Pasih membawa Gibran ke ruangan yang tidak terlalu besar. Disana ada seorang Pria yang tengah duduk bertumpang kaki.
"Pak! Kenalkan. Ini Gibran, yang akan menyanyi disini," jelas Pasih mengenalkan Gibran.
Orang itu berdiri dan berjalan mendekati Gibran.
Gibran menunduk hormat pada orang yang akan menjadi atasannya ini.
Orang itu menepuk punggung Gibran pelan, "Sudah, jangan seperti itu," katanya tidak suka di perlakukan seperti itu.
Gibran tersenyum hangat, "Maaf," ucap Gibran merasa bersalah.
"Pendra!" serunya sembari mengulurkan tangannya mengenalkan diri.
Dengan sedikit ragu-ragu, Gibran menyambut uluran tangannya, "Gibran!"
"Ok, Gibran. Jika kamu sudah siap, kita urus kontrak kerjanya," katanya sembari melangkah mendekati meja kekuasaanya.
Gibran dan Pasih mengikutinya sampai ke meja tersebut. Mereka berdua duduk di hadapan Pak Pendra.
Pak Pendra mengeluarkan selembar kertas yang sudah cukup penuh dengan tulisan-tulisan.
"Kamu tanda tangan disini?" titahnya sembari menunjuk ke sudut kertas yang kosong.
Sebelum menandatangani kertas tersebut, Gibran membacanya terlebih dahulu. Setelah merasa paham dan ada kesepakatannya kemarin, Gibran baru menandatangani kertas itu.
"Pasih! Kamu ambilin baju yang akan ia gunakan hari ini!" titah Pak Pendra.
Pasih mengangguk. Ia keluar dan tsk lama kemudian, ia masuk kembali ke ruangan tersebut dengan satu stel baju di tangannya.
"Silahkan," ucapnya sopan.
Gibran mengangguk sembari tersenyum hangat.
Gibran keluar bersama Pasih bersama-sama.
"Kamu bisa ganti baju kamu disini!" katanya sembari menunjuk satu ruangan yang terdapat banyak loker.
"Ini kunci milikmu," kata Pasih lagi sembari menaruh sebuah kunci ke telapak tangan Gibran.
"Makasih," jawab Gibran menunduk sopan.
Setelah iti, Pasih meninggalkan Gibran untuk berganti pakaian terlebih dahulu, sebelum mengenalkan tempat lainnya.
Tak lama, Gibran keluar dengan pakaian yang sudah rapi. Lalu, ia berjalan mendekati Pasih yang sedang berdiri di dekatbl meja kasir.
"Pak!" seru Gibran mengejutkan Pasih, "Maaf!"
Pasih mengangguk, "Yuk!" ajaknya.
Gibran mengangguk. Mereka berjalan beriringan ke tempat bernyanyi.
"Sementara waktu, kamu bernyanyi seperti berkaraoke, ya. Maklum, kami belum mempunyai banyak pegawai," jelasnya.
Gibran mengangguk paham. Ia melirik kearah panggung yang akan ia tempati. Ia melihat ada sebuah Piano dan alat musik lainnya.
"Kenapa? Kalo kamu bisa main salah satunya, kamu boleh memainkannya."
"Boleh?"
"Boleh banget. Itu lebih bagus," jawab Pasih bersemangat.
Gibran langsung naik keatas panggung dan meraba-raba setiap alat musik.
"Kamu bisa bermain semua alat ini?"
"Sedikit," jawab Gibran sambil nyengir.
"Keren. Kalo gitu, aku kembali lagi bekerja," katanya pamit.
Gibran mengangguk mempersilahkan.
Setelah Pasih sedikit menjauh, Gibran duduk di depan sebuah Piano. Lalu, ia membukaka penutupnya.
Teng...
Satu not Gibran tekan dengan halus, dan membuat semua orang langsung menoleh kearah panggung, berhasil membuat Gibran jadi gerogi.
"Hunny!" gumamnya menyebut penyemangatnya.
Gibran menoleh pada satu orang yang baru ia kenal. Siapa lagi kalo bukan, Pasih!
Pasih mengangkat-angkatkan tangannya dan terlihat bibirnya bergerak-gerak, seperti, 'Ayo, Ayo,' menyuruh Gibran untuk meneruskan.
Gibran mengangguk. Segenap kepercayaan dirinya ia kumpulkan. Kemudian ia menghela napas panjang, dan membuangnya.
Huhhhh...
Teng...
Gibran kembali menekan not yang tadi, dan sekarang ia lanjutkan pada not selanjutnya, dan seterusnya membentuk sebuah irama nada yang mengalun indah penuh penghayatan.
Gibran meliak-liukan kepalanya ke kiri, dan kanan menikmati setiap tekanan not yang ia sentuh.
Lalu, "Ekhem," Gibran berdehem terlebih dahulu sebelum menyanyi.
Semua mata makin takjub. Dengan permainan pianonya yang epik, ditambah dengan suara merdunya. Membuat mereka seakan-akan ikut terbang menghayati lagu yang ia nyanyikan.
Diam, senyap selama beberapa menit. Sampai ada seseorang yang berjalan kearah panggung dengan sangat anggunnya mendekati Gibran yang sedang menikmati frasa lagu yang sedang ia lantunkan.
Lagu yang Gibran bawakan membuat semua orang ikut terhanyut dalam kesedihan.
Judul : DAN BILA
By : THE PASFOUR
Penggalan :
Dan bila
Dan bila
Engkau menangis
Engkau bersedih
Biarlah akuuuu
Mengusap air matamu
Dst.
"Hunny!" seru Gibran di tengah-tengah nyanyiannya. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan Alleta.
Ya!
Alleta tidak bisa ikut dengannya, karena kedua orangtuanya tidak mengijinkannya. Sebab, ini malam hari.
(Biasa, anak perawan!)
Alleta tersenyum hangat padanya. Ia kemudian berdiri di samping Gibran.
Sayu matanya membuat Alleta ikut terharu. Ia langsung memeluk tubuh Gibran dari belakang.
Prokkk...
Prokk...
Prokkk....
Semua pengunjung, dan para pegawau bertepuk tangan yang keras. Mereka ikut berbahagia dengan sepasang anak muda yang sedang jatuh cinta.
Satu lagu berakhir dengan sangat haru. Penyampaian dan intonasi segalanya berhasil menghipnotis para manusia yang menyaksikan.
"Lagi, lagi, lagi," seru mereka bersama-sama kompak.
Gibran menatap Alleta untuk meminta pendapat seperti biasa. Alleta mengangguk mengiyakan.
"Ok," jawab Gibran seraya berdiri.
"Lagu barat, dong!" seru salah seorang pengunjung meriquest.
Gibran menoleh pada Alleta.
"Apa?" tanya Alleta bingung.
"Lagu apa?"
Alleta mengendikkan bahunya tidak tahu.
"Arash!" seru orang tadi.
"Hm...," Gibran berdehem berpikir, kemudian menggelengkan kepalanya tidak tahu.
"Ahhhh...," orang tersebut jadi sedih.
"Maaf!" kata Gibran merasa bersalah.
"Its okay, Bang! Lain kali aja," jawabnya ceria kembali.
"Gimana kalo lagu yang lain aja!" usul Alleta.
Mereka mengangguk.
Gibran kembali duduk dan menghela napas menetralkan.
Ting...
Ting....
Gibran kembali memainkan piano dengan sangat lincah kali ini, Gibran akan menyanyikan lagu :
Judul : Takkan pernah terindah
By : The paspour
Penggalan :
Tak kan pernah terindah
Tak kan pernah terabaikan
Kou hancurkan, diriku
Kini pun kou tlah pergi
Meninggalkan diriku
Untuk selama-lamanya
Dst.
Tepat pukul 10:00, Gibran pamit untuk pulang. Ia sudah berjanji untuk pulang tidak terlalu larut malam."Hati-hati, ya!" seru Pasih dari ambang pintu masuk.Gibran dan Alleta menoleh, lalu tersenyum menyapa.Brmmm....Gibran pulang berboncengan."Hunny! Kok kamu bisa dateng, sih! Bukannya Mamah, dan Papah mu tadi gak ngijinin?" tanya Gibran."Em," Alleta memeluk tubuh Gibran hangat, "Tadi siang, iya. Tapi, pas petang, setelah kepulanganmu, mereka kayaknya berpikir lagi, deh!" jawab Alleta."Kok kayaknya?" tanya Gibran."Kan aku gak tahu, Bunny!""Oh, iya, iya," jawabnya, "Terus, gimana?""Ya, Mamah samperin aku kekamar, bilang gini, 'Al! Kalo kamu mau nemenin Gibran, boleh! Asal jangan malem-malem pulangnya', nah, gitu," jawab Alleta membuat Gibran gemas."Kayaknya, ada yang ngambek, nih?" ucap Gibran meledek."Ih, siapa yang ngambek?""Kamu lah, makannya Mamah berpikir kembali, lalu iji
Keesokan paginya, Gibran terbangun dan sudah mendapati Hpnya berantakan di atas lantai. "Astaga! Aku lupa, kalo semalam aku lagi main Handphone." Gibran langsung mengambil Hp tersebut dan memasangkan semuanya kembali. Hhh... Gibran mengehela napas pelan. Kemudian ia berjalan menuju sebuah kabel yang tergantung. Ia mencolokkan satu kabel ke sisi Handphone yang berlubang. "Sampe nge-drop begini," gumamnya dan membiarkan Handphone terisi daya. "Mah!" seru Gibran keluar dari dalam kamar. "Apa, Nak!" jawabnya dari arah dapur. "Mamah lagi masak apa?" tanya Gibran setelah berada di dapur, dan duduk di kursi meja makan. "Masak orek tempe, kangkung, dan yah! Seperti biasa. Hasil berkebun kemarin!" jawabnya dengan terus membolak balik masakan. "Oh. Maaf, ya, Mah! Aku, akhir-akhir ini gak bantuin Mamah!" kata Gibran merasa bersalah. Mamah menoleh sebentar, "Gak papa. Mamah'kan ada yang bantuin juga," jawabn
Setibanya di kampus, Gibran langsung memarkirkan kendaraannya di halaman kampus.Mereka terburu-buru turun dan berlari menghindari gerimis yang makin lebat."Hunny!" seru Gibran dan mendekati Alleta.Mereka berteduh di depan teras kampus."Biar aku yang bukain," kata Gibran.Alleta hanya tersenyum manis.Gibran langsung membuka res-sleting yang terpasang dan membuka jas yang di pakai oleh Alleta."Ini biar aku saja," ucap Alleta sembari memegang jas celana yang ia pakai.Gibran mendongak, lalu menyunggingkan bibirnya sebelah, "Aku gak bakal apa-apain kamu, kok," ucapnya menggoda Alleta."Hish!"Alleta mendelikkan matanya sebal.Setelah itu, Gibran dan Alleta berjalan bersama menuju kelas."Hunny! Kok sepi, ya?" ucapnya.Alleta celingukan, "Iya, ya. Kok sepi, sih!" timpalnya."Jangan, jangan,""Ah. Kita terlambat, Bunny!"Terlihat jelas raut wajah Alleta menjadi lemas tak b
Hai para reader yang baik dan ramah. Salam kenal semua. Saya, Rhaniie. Sering dipanggil (Dede). Itu panggilan kesayangan dari keluargaku. Hi.... Aku hanya ingin menyampaikan, ini ceritaku yang kedua disini. Jangan lupa kasih dukungannya, ya. Dengan cara : Rate! Kalo boleh, bintang lima, ya. Hihi... Vote! Berapapun seikhlas kalian. Coment! Comen apapun terserah, ya. Yang penting itu benar kenyataannya. Apalagi kalo memberikan krisar. Makasih banget. Jangan lupa! Masukan juga ke pustaka kalian. OK! Semoga cerita ini bisa menghibur kalian semua. Mengambil hikmah didalamnya, dan.... Semoga kalian diberi kesehatan selalu, panjang umur, dan di gampangkan rezekinya. Sukses semua! Makasih! Sarangheo! Salam hangat dan cinta sebanyak-banyaknya. From : Istri halunya Mas Tae. &n
Gibran dan Alleta berjalan menuju ke salah satu bangku paling pojok.Serettt…Gibran menarik sebuah kursi untuk Alleta duduki."Silahkan!" seru Gibran manis kemudian ia ikut duduk sebentar."Mau pesan apa?" tanya Gibran."Em, sepertinya bakso enak, Bunny!" ucapnya bersemangat."Pasti! Apalagi dengan cuaca yang kayak gini," tambah Gibran."Ok. Kalo gitu, aku pesan bakso aja!""Siap. Tunggu sebentar, ya?"Alleta mengangguk pelan dan Gibran langsung berdiri, melangkah menuju tempat memesan makanan.
Tak lama, suara gemuruh Mahasiswa/i yang akan pada makan di kantin kampus mulai berdatangan."Eh, ada Gibran!" seru seorang wanita tepat di samping Alleta.Gibran tersenyum menanggapinya."Gak nge las?" tanyanya.Gibran menggelengkan kepalanya, "Kita kesiangan," jawabnya."Kenapa? Pasti gara-gara jemput dia dulu, ya, kan?" tuduhnya sambil melirik Alleta sekilas.Hhhh….Alleta mendengus sebal.Gibran melihatnya jadi merasa lucu, "Enggak, kok. Karena tadi hujan lumayan deras, jadi kita neduh sebentar," jawab Gibran dengan tatapan terus fokus pada Alleta yang juga menatapnya.
Gibran melajukan motornya ke sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang pas untuknya menyejukkan hati yang sedang terbakar."Loh, kok, kesini?" tanya Alleta sambil turun dari motor.Gibran hanya diam. Mood-nya sedang tidak bagus.Gibran langsung berjalan tanpa mengajak Alleta terlebih dahulu."Bunnyyyy!" seru Alleta.Gibran tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan mendekati sebuah genangan air yang sangat luas.Tepat di pinggir danau, Gibran menghentikan langkahnya.Alleta yang sedari tadi hanya mematung sambil melihatnya berjalan acuh padanya. Kini melangkahkan kakinya saat melihat Gibran sudah berhenti melangkah.
Akhirnya, Alleta dan Gibran hanya jalan-jalan di pinggir Danau saja tanpa adanya air mancur."Cape?" tanya Gibran.Alleta mengangguk pelan.Gibran menghentikan langkahnya dan mengajak Alleta untuk dulu.Alleta tersenyum. Ia duduk disamping Gibran seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Gibran."Bunny. Kalo kamu sukses menggapai cita-citamu. Apa kamu akan melupakanku?" tanya Alleta dengan suara pelan.Gibran langsung menoleh pada Alleta, "Apa maksudmu, Hunny?""Aku takut, Bunny. Aku takut kalo kamu akan melupakan aku," jawabnya lirih."Hunny." ucap Gibran sambil mendorong kecil kepala Alleta d