“Aku tidak bisa diam saja. Eve kasihan sekali. Dia terlihat sangat sedih tadi. Aku harus melakukan sesuatu sekarang juga!” putus Cindy cepat.“Enak saja mereka sudah buat sahabatku sakit hati tapi tidak merasa bersalah sedikit pun. Dan Gery juga kurang ajar sekali! Dasar laki-laki!” Cindy bersungut-sungut. Rasa kesalnya sungguh tidak bisa ditahan lagi.Dia hanya tidak mau jika sahabatnya bersedih karena Gery atau siapa pun itu. Walaupun Gery adalah kekasih Eve tetapi dia sangat tidak rela jika laki-laki itu menyakiti Eve. Cindy tidak akan tinggal diam jika hal itu terjadi.Cindy masih teringat bagaimana sembab juga merahnya wajah Eve tadi. Ucapannya pun begitu menyayat hati. Rasanya, sahabatnya itu terlihat buruk sekali. Eve sendiri sudah pulang sekarang ini. Karena itulah dirinya berani berkata-kata kasar juga mengumpati kekasih Eve itu.Tanpa menunggu lagi, Cindy bergegas bangkit dari kursinya dan menuju mobilnya. Cindy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah dua ouluh m
“Maaf, aku minta maaf karena belum bisa peka dengan apa yang kamu rasakan. Maaf karena sudah membuatmu cemburu dan sakit hati, Eve,” bisik Gery pelan. Sekarang ini keduanya masih berpelukan, bahkan pelukan itu semakin menguat saat Gery membisikkan kata-kata itu.Gery merasa bersalah. Sebab kemarin pun tadi dirinya tidak menjelaskan apa pun pada Eve. Walaupun apa yang Eve lihat tadi tidak sepenuhnya benar. Eve sepertinya memang tidak melihat kejadian itu sampai akhir hingga akhirnya menyimpulkan begitu.Saat merasa jika Eve sudah lebih tenang, Gery pun mencoba melepas pelukan keduanya. Laki-laki itu menatap dalam dan penuh kasih ke arah netra Eve. Eve lagi-lagi dibuat tersipu karena mendapatkan perlakuan manis dari Gery. Eve lantas menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Kedua tangannya juga saling bertautan dan memelintir ujung bajunya. Gery tersenyum tipis saat melihat bagaimana gemetarnya tangan Eve itu.Entah apa yang membuat Eve begitu malu. Gery tidak tahu. En
“Pranggg ….!”Suara nyaring gelas yang dilemparkan ke lantai memenuhi pendengaran penghuni keluarga Andrew. Seorang wanita keluar dari dapur dengan langkah terburu-buru. Dia pelayan di rumah Cheryl. Wanita itu segera bergegas menghampiri sumber suara yang memecah keheningan pagi. Perempuan bernama Ruth itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Cheryl.Di sana ia melihat pemandangan yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dan memilukan.Cheryl sedang berdiri di dekat jendela, berdiri menatap halaman depan rumah.Ruth segera mengambil sapu dan memunguti sisa-sisa pecahan gelas itu tanpa berkata apa-apa. Ia tahu sang nona rumah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.Perempuan itu baru bekerja tiga bulan di rumah keluarga orang tua Cheryl sejak gadis itu dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari Ruth merasa pekerjaannya semakin berat karena akhir-akhir ini Cheryl sering histeris dan mengamuk tidak jelas.“Biarkan saja di sana,” cegah Cheryl ketus saat melihat Ruth memunguti pecahan pi
“Pranggg ….!”Suara nyaring gelas yang dilemparkan ke lantai memenuhi pendengaran penghuni keluarga Andrew. Seorang wanita keluar dari dapur dengan langkah terburu-buru. Dia pelayan di rumah Cheryl. Wanita itu segera bergegas menghampiri sumber suara yang memecah keheningan pagi. Perempuan bernama Ruth itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Cheryl.Di sana ia melihat pemandangan yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dan memilukan.Cheryl sedang berdiri di dekat jendela, berdiri menatap halaman depan rumah.Ruth segera mengambil sapu dan memunguti sisa-sisa pecahan gelas itu tanpa berkata apa-apa. Ia tahu sang nona rumah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.Perempuan itu baru bekerja tiga bulan di rumah keluarga orang tua Cheryl sejak gadis itu dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari Ruth merasa pekerjaannya semakin berat karena akhir-akhir ini Cheryl sering histeris dan mengamuk tidak jelas.“Biarkan saja di sana,” cegah Cheryl ketus saat melihat Ruth memunguti pecahan pi
“Yeayy! Giliranmu sekarang, Eve!” pekik teman-temannya bersorak.Eve dengan santai menggelindingkan botol bekas air soda di atas alas duduk mereka. Dan botol itu berhenti di kata ‘Dare’. “Yuhuuu! Giliranku yang kasih tantangan ke kamu, ya! Ehem, ehem!” Salah satu temannya berteriak lantang dan berdehem sebentar seolah sedang menciptakan kesan dramatis.“Iya iyaa ... cepetan! Aku pasti bisa melakukannya, Eve gitu loh!” sesumbar Eve sambil menyilangkan lengan di depan dada.“Kamu harus menyatakan perasaan kepada siapa pun pria yang lewat di depan kita pertama kali sejak sekarang. Oke, nggak, teman-teman?” tanya si penantang sambil meminta dukungan dari yang lain.Kesemuanya tampak bersorak menyetujui sementara Eve terperangah menyesal.“What? Apa-apaan itu? Perasaan dari tadi tantangannya nggak ada yang segila itu, deh! Curang, ish!” protes Eve karena merasa tantangan untuknya terlalu berisiko dan berat untuk dilakukan.“Eiits! Gak boleh protes! Udah deal! Atau kamu mengaku kalah dan k
Sekembalinya Eve ke rumah, ia langsung bersiap untuk bekerja di Vinestra Group. Itu adalah sebuah perusahaan besar di pusat kota New York di mana Eve baru saja diterima bekerja di sana setelah proses panjang interview dan tes kompetitif terlampaui. Maklum, perusahaan bonafid tersebut memang menarik banyak peminat dari para mahasiswa fresh graduate untuk melamar. Sehingga persaingan cukup ketat.Beruntung sekali Eve turut lolos dan mendapatkan surat panggilan kerja mulai esok, hari Senin di awal bulan Juli. Anak gadis semata wayang dari pasangan muda Pak James Ravenwood dan Bu Kate Ravenwood itu berhasil memikat penilaian positif dari sang kepala bagian HRD karena berhasil meyakinkan bahwa dirinya siap dikejar target deadline dan mampu bekerja sama dengan tim.Ia sudah mempersiapkan segala rupa yang dibutuhkan dari mulai baju kerja, menyetrikanya ulang dengan rapi bahkan selepas dari laundry. Ia ingin memastikan hari pertama bekerjanya sempurna. Bahkan tas kerja pun telah disesuaikanny
“P-perusahaan Anda?” tanya Eve tergagap. Tentu saja ia memang sudah mengira kalau pria itu berkedudukan tinggi. Hal itu sudah tampak nyata dari penampilan serta banyaknya karyawan yang menunduk tadi kala berpapasan dengannya di koridor. Tapi pemilik Vinestra? Astaga! Ini sungguh bencana bagi Eve! “Benar kamu diterima di perusahaanku? Sial!” rutuk si pria dengan tampang geram. “Panggil kepala HRD dan suruh menghadapku secepatnya selepas jam makan siang nanti!” titah pria itu sambil kepalanya menoleh ke sisi kiri di mana berdiri seorang pria muda yang sedari tadi mengikutinya. Mungkin itu asistennya, pikir Eve mengira-ngira. Namun, ia tak sempat kalau harus menyelidiki kebenaran mengenai hal itu sebab kini pikirannya telah dikuasai kecemasan. Untuk apa pria tadi memanggil kepala HRD? Apa dia akan memecat Eve? Astaga! Benar-benar gawat! “Tunggu! Maafkan saya untuk kesalahan waktu di pantai itu, Pak. Tapi tidak seharusnya Anda mencampur-adukkan masalah di luar perusahaan, bukan? Ini
Sepanjang meeting berlangsung, Gery terlihat tenang dan masih menguasai dirinya. Ia terus mencoba fokus dengan data-data yangs edang dipresentasikan oleh salah seorang manager yang ia pantau juga dari berkas yang ada di hadapannya. Beberapa kali kelebat gadis manis tadi membayang di ingatan tapi cepat-cepat diusirnya. Ia harus fokus ke meeting itu karena kalau tidak nanti saat ditanyai oleh sang nenek, ia bisa gagap bila tak memahami semuanya dengan detail. Ya, neneknya adalah sang penguasa tunggal di Vinestra. Memang dia lah CEO-nya, tapi sebenarnya pemegang keputusan tertinggi masih neneknya. Nyonya Daphne Foster, meskipun sudah berusia lanjut, tetap masih bisa berpikir kritis dan tak mau menyerahkan semua urusan perusahaan kepada cucunya karena beberapa alasan. Khususnya karena ada sedikit kelabilan sifat pada cucunya itu oleh sebab kejadian masa silam yang cukup membuat siapa pun mengalami traumatis yang parah. Itulah sebabnya Nyonya Daphne masih terus mengawal jalannya kepemim