Xander terus bergumul dengan serangkaian pertanyaan yang tak berkesudahan. Mau bertanya langsung rasanya tidak mungkin. Wanita itu pasti tidak akan mengakuinya kalaupun dia benar-benar Qeiza.Qeiza mencoba tersenyum wajar. “Wajahku memang agak pasaran,” selorohnya.“Tapi, kamu dan Qeiza seperti pinang dibelah dua.” Xander terus memancing.“Pernah dengar istilah doppelganger?” tanya Qeiza. “Konon katanya setiap orang di muka bumi ini memiliki empat kembaran.”“Kamu percaya?”“Kenapa tidak? Faktanya memang sudah ada orang yang bertemu langsung dengan kembaran mereka yang tinggal di belahan dunia lainnya.”“Mungkin.” Xander menjawab sambil mengedikkan bahu, skeptis. “Tapi, aku merasa kemiripanmu dengannya terlalu banyak.”“Oh ya? Aku meragukannya,” sangkal Qeiza. “Bagaimana mungkin kau mengetahui begitu banyak kesamaan antara aku dan Qe–Qei—”“Qeiza,” potong Xander.“Ya, Qeiza, padahal kita hanya bertemu beberapa kali.”“Entahlah. Aku hanya merasa sangat yakin.”“Cih! Hati-hati dengan per
Lelaki yang serius dalam menjalin hubungan tidak akan ragu-ragu untuk memperkenalkan wanita yang dicintainya kepada keluarganya.***Mempertimbangkan bahwa dia tidak boleh terlihat lemah ataupun terintimidasi oleh tingkah laku dan perkataan Ansel, Qeiza mengangkat dagu. Dia harus tetap terlihat kuat dan terhormat.“Anda bertamu di waktu yang tidak tepat, Tuan.” Qeiza menatap intens pada Ansel, menyembunyikan kemarahannya di balik sorot mata dingin.Ansel melirik arloji di pergelangan tangannya. “Belum terlalu malam,” ujarnya. “Aku ke sini untuk menjemputmu. Aku ingin memperkenalkanmu pada ibuku.”“Apa?! Anda pasti sudah gila,” sergah Qeiza. “Kita tidak punya hubungan semacam itu hingga Anda perlu memperkenalkanku kepada ibu Anda.”“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi,” sahut Ansel. “Aku tahu apa yang kuinginkan.”“Tapi bukan berarti Anda bisa bertindak sesuka hati,” tegas Qeiza. “Aku manusia, bukan barang yang bisa Anda bawa kapan pun Anda mau.”Manik mata Ansel berkilat tidak sen
Berpikir bahwa tidak ada salahnya dia mengenali wajah mantan mertuanya, Qeiza akhirnya memutuskan untuk menerima undangan Ansel.“Oke. Aku akan menyempatkan waktu untuk menemui ibumu, tapi tidak sekarang,” kata Qeiza. “Ini sudah terlalu malam bagiku untuk pergi keluar.”'Yes!' Hati Ansel bersorak riang. Perjuangannya satu langkah lebih maju. “Baiklah. Bagaimana kalau besok pagi?”Qeiza berpikir sejenak. Besok adalah hari Sabtu. Waktunya bersantai dan memanjakan diri sendiri. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila dia mengorbankan sedikit waktu berharganya itu untuk menyenangkan orang lain.“Boleh.” Qeiza menyahut enggan. Tampak sekali kalau dia terpaksa memenuhi permintaan Ansel.Merasa senang lantaran niat hatinya tercapai, Ansel tak menggubris keengganan Qeiza. Dilepasnya cengkeraman di pundak Qeiza.“Aku akan menjemputmu sebelum jam delapan.”“Aku bisa pergi sendiri,” tolak Qeiza. “Cukup beritahu aku alamatnya!”Wajah tampan Ansel berubah dingin dan tegang. Dia jengkel kenapa Qeiza su
Ansel masih memaku tatapannya pada sosok wanita berhijab yang duduk di seberangnya. Kalau saja dia tidak mencermati warna bola mata wanita tersebut, pasti dia akan mengira bahwa wanita tersebut benar-benar Ae Ri. Gadis impian yang akan dijemputnya pagi ini.“Bagaimana? Qeiza cantik, kan?” tanya Alina. Bibirnya menyunggingkan senyuman menggoda pada putra semata wayangnya itu.“Mama ketemu dia di mana?” Ansel mengabaikan pertanyaan mamanya dan malah berbalik menyerang mamanya dengan pertanyaannya sendiri. “Mama yakin wanita asing ini Qeiza?”Meskipun Ansel belum pernah sekali pun bertemu dengan mantan istrinya itu, entah kenapa hatinya meragukan identitas wanita tersebut. Rasanya sedikit aneh ketika tahu-tahu wanita itu muncul di rumahnya, padahal dialah yang telah mengajukan gugatan cerai serta mengembalikan semua barang pemberiannya. Apa sekarang dia menyesal?“Ansel! Tidak baik berprasangka buruk pada orang lain, apalagi pada mantan istrimu sendiri.” Alina tampak tidak senang dengan s
Mata Abbas berkilat licik. “Kalau wanita itu benar-benar berhasil menikah dengan Ansel, kita akan punya ATM baru.”“Eh? Memangnya Qeiza dan Ansel benar-benar sudah bercerai?”Abbas menjawab pertanyaan Amira dengan anggukan kepala. “Aku sudah minta seseorang untuk menyelidikinya, ternyata anak bodoh itu tidak berbohong.”“Sayang sekali kita kecolongan,” sesal Amira. “Kamu sih, setelah hari pernikahan itu tidak pernah lagi memantau kehidupan mereka.”Mulut Amira mengerucut. Menyayangkan sikap tak acuh suaminya terhadap rumah tangga keponakannya.“Siapa yang menyangka kalau dia akan melakukan hal sebodoh itu setelah empat tahun menikah,” bantah Abbas. “Lagian, kamu juga kan yang melarang aku untuk sering-sering menghubunginya?”“Kok malah menyalahkan aku?”“Kenyataannya memang begitu.” Abbas terus membela diri. “Kamu takut kalau Qeiza nanti menginginkan sebagian saham perusahaan yang diwariskan ayah kepadaku.”“Memangnya kamu mau menyerahkan sebagian saham perusahaan yang sudah susah paya
Dering bel pintu di apartemen Qeiza meraung seperti bayi yang kelaparan. Berulang kali Ansel menyingkap ujung lengan bajunya untuk meninjau perputaran jarum pada arlojinya. Sudah lebih dari sepuluh menit dia berdiri di sana.“Ke mana dia?” Ansel bertanya-tanya. Jika Qeiza ada di dalam, seharusnya wanita itu sudah membukakan pintu untuknya. “Dia pasti marah.”Teringat permintaan Qeiza yang tidak dipenuhinya serta keterlambatannya untuk menjemput Qeiza, Ansel mengutuk dirinya sendiri.“Sial! Gara-gara wanita tak tahu malu itu rencanaku jadi berantakan.”Ansel menjambak rambutnya dengan frustrasi sembari berteriak kesal. Dia sangat memimpikan bisa memperkenalkan Qeiza kepada mamanya. Akan tetapi, lihat apa yang dia dapat sekarang? Hanya sebuah kegagalan yang menyakitkan.Tiga puluh menit menunggu tanpa ada tanda-tanda bahwa Qeiza akan membukakan pintu untuknya, Ansel melangkah gontai meninggalkan tempat tersebut. Semua salahnya. Dia tidak berhak untuk marah pada Qeiza, apalagi sampai memb
“Kamu ini! Jelas-jelas tadi aku dengar kamu seperti mengatakan sesuatu,” sungut Alina.“Sudah deh, Ma. Aku benar-benar capek,” pungkas Ansel. “Yang Mama butuh sekarang cuma perhiasan itu, kan? Silakan temui Xander. Kurasa dia belum menjualnya.”Tanpa memberi kesempatan pada Alina untuk menyanggah, Ansel bergegas mengayun langkah panjang menuju kamarnya.Alina hanya bisa geleng-geleng kepala. “Dasar anak keras kepala!” gerutunya.Namun, bibirnya segera melengkung ke atas begitu tatapannya tertuju pada Kesya. Dia berjalan turun dan segera menggamit lengan Kesya. “Ayo, ikut aku!”“Ke mana, Tante?”“Sudah, enggak usah banyak tanya. Ikut saja!” Alina tersenyum pada Kesya. “Nanti kamu akan tahu. Kamu pasti akan menyukainya.”Alina sepertinya sangat senang membuat Kesya penasaran. Ekspresi malu-malu Kesya terlihat sangat menggemaskan. Dia heran kenapa anaknya bisa tidak tertarik pada gadis secantik Kesya. Dari sikap dan penampilannya, tampaknya Kesya gadis baik-baik.Alina mengetuk pintu kama
Terkadang Tuhan menghapus rencana yang kita tulis karena Dia akan menggantinya dengan kenyataan yang lebih baik.***“Ya Tuhan! Oppa!” Qeiza memekik kaget. “Apa yang terjadi?”Memasuki rumah Dae Hyun dengan menggunakan kunci cadangan yang diberikan Dae Hyun kepadanya, Qeiza dikagetkan oleh kondisi Dae Hyun yang tak sadarkan diri di atas lantai kamar tidurnya. Keringat membanjiri sekujur tubuh Dae Hyun. Membuat pakaiannya basah kuyup.Qeiza meraba kening Dae Hyun, terasa panas sekali. Bibir Dae Hyun terlihat membiru dan pecah-pecah seperti seseorang yang sedang mengalami dehidrasi. Khawatir dengan kondisi kesehatan Dae Hyun yang buruk, Qeiza berjuang untuk memindahkan lelaki tersebut ke atas ranjang.Dia mengganti kemeja yang dikenakan Dae Hyun, lalu mengompresnya dengan air hangat. Konon menurut teori dari artikel yang pernah dibacanya, ketika kulit mendapat rangsangan suhu panas, maka otak akan memberi perintah kepada jaringan saraf pusat tubuh untuk menurunkan suhu. Dengan begitu dih