"Itu tadi siapa, sih?" tanyaku sambil meletakkan potongan daging ke atas pemanggang yang ada di meja kami.
Semenjak bertemu dengan laki-laki di depan restoran Jepang tadi, Ares tak banyak bicara. Wajahnya tampak sedikit gusar. Tidak seperti Ares yang kukenal biasa. Caranya menggandeng tanganku juga terasa berbeda. Bahkan tak sekalipun dia menoleh padaku ketika berbicara.
"Nggak usah dibahas," ketus Ares ikut menyiapkan menu makan siang kami.
"Apa kamu memang merasa aku bekas Rio, makanya jadi ngerasa keganggu?" tanyaku sambil masih menyibukkan diri menyiapkan menu makan siang kami. Pertanyaan yang sedikit banyak membuat hatiku ciut. Khawatir Ares juga menganggap hal yang sama dengan orang yang tadi menegur kami.
Kulir
Jam menunjukkan pukul 21.15 ketika mobil yang dikendarai Ares berhenti di depan kafe yang menjadi tempat kenangan kami dulu. Tidak banyak yang berubah, kecuali jumlah meja luar ruang yang makin bertambah. Halaman yang dulu dijadikan lahan parkir, berubah menjadi tempat menerima pengunjung dengan payung-payung berwarna-warni yang digantung pada seutas kawat menghiasi bagian atasnya. Tak ketinggalan lampu-lampu kecil digantung dari dahan pohon sekitar kafe, terlihat seperti tetesan air hujan. Menambah semarak halaman tempat tersebut. Area parkir pengunjung dialihkan ke halaman rumah yang terdapat di samping kafe. Tak ada kendaraan roda dua yang menumpukan di halaman depan seperti dulu. Kang Hilmi menyambut dengan wajah semringah ketika kami memasuki ruangan kafe. Seperti halnya suasana tempat itu, wajah pemilik ya pun tidak banyak beru
"Kita langsung ke penginapan aja?" tanyaku saat Ares memutar kemudi mobil ke arah berlawanan."Masih mau jalan dulu?" tanya Ares menoleh padaku."Ng-nggak, sih.""Nggak apa-apa kalau mau keliling dulu, masih belum terlalu malam," tukas Ares melambatkan laju mobil."Langsung nyari penginapan aja deh, udah ngantuk juga," pungkasku, karena kedua mata sudah terasa memberat.Halaman depan penginapan yang kami tuju tidak seramai penginapan yang berada di jalan utama. Hanya terdapat beberapa mobil yang terlihat terparkir di halamannya yang tidak terlalu luas tersebut. Bangunannya pun terlihat sederhana, hampir menyerupai rumah dengan penerangan yang tidak terlalu memadai di halamannya.Saat memasuki lobi, tak seorang pun yang terlihat di meja tinggi yang biasa dipergunakan oleh resepsi onus penerima tamu. Set
Ares menarik rem tangan mobil sebelum mematikan mesin, ketika mobilnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis, tetapi terlihat anggun. Pekarangan kecil rumah bercat putih itu dihiasi aneka kaktus dalam berbagai ukuran. Sebuah city car terparkir di carport yang terletak di samping pintu masuk. Suasana lingkungan yang tenang, udara pegunungan yang sejuk dengan latar langit biru menambah kesan tenang pada rumah mungil itu. Aku mencari bel yang dulu terdapat di samping pintu pagar. Rupanya benda itu sudah tak lagi ada di sana. Digantikan oleh lonceng yang biasa kulihat dikalungkan pada leher kerbau di kampungku. Setelah beberapa kali membunyikan lonceng yang terdengar agak berisik itu, pintu rumah bercat putih itu terbuka. Senyum semringah mengiringi langkah perempuan berbadan dua yang baru saja keluar dari rumah tersebut. "Lia! Kok nggak ngabarin mau ke sini?" pekik perempuan terseb
"Kok malah manyun?" Suara Ares membuyarkan lamunanku akan rasa iri yang terselip pada sosok cantik kakak iparku itu. "Aku udah nggak percaya sama kata-kata tak ada manusia yang sempurna, Res," sahutku lirih mengalihkan tatapan dari luar jendela ke arah Ares. Wajah Ares tampak begitu bercahaya tertimpa matahari sore ini. "Kenapa lagi, nih?" tanya Ares tertawa pelan, matanya masih terus memperhatikan jalanan di depan. "Itu buktinya, Kak El. Sudahlah cantik, otak pinter, punya pekerjaan yang bergengsi, baik pula. Sempurna banget kan?" Kali ini aku memutar tubuh menghadap Ares. "Terus, apa yang bikin lo manyun?" Ares mengerutkan keningnya. Menatap sekilas padaku seakan mencari jawaban dari kalimatku barusan. "Kebalikan sama aku, Res. Sudahlah IQ mendekati jong
Malam telah menjelang ketika kami meninggalkan Kota Bandung. Niat awal akan kembali ke Jakarta sore hari, menjadi tertunda karena merasa belum puas dengan kunjungan nampak tilas kami di Kota Kembang tersebut. Apa yang kutakutkan selama ini saat mengunjungi Bandung tidak terbukti. Nyatanya kehadiran Ares benar-benar mampu menutup semua kenangan tentang Rio di kota itu.Bukan karena aku benar-benar telah mampu menepiskan Rio dari hati, tetapi karena tempat yang kukunjungi bersama Ares kali ini benar-benar berbeda dengan tempat yang sering kukunjungi bersama Rio dulu. Jika dulu bersama Rio, dia lebih sering mengajakku ke tempat-tempat gaulnya mahasiswa borju di Bandung, tidak dengan Ares. Dulu dia lebih banyak mengajakku ke tempat yang memang sering dikunjungi mahasiswa dengan kantong pas-pasan.Seharian aku benar-benar puas menikmati kuliner kaki lima yang sering kami da
Saat terbangun, kudapati lantai seberang tempat tidur sudah bersih. Tak ada kasur yang digunakan Ares untuk tidur digelar di sana. Bahkan si pemilik senyum miring itu pun tak kulihat ada di kamar. Aku meluncur turun dari tempat tidur setelah melihat jam pada ponsel menunjukkan pukul 05.20. Dengan langkah ragu menuju kamar mandi, mengetuknya pelan sambil memanggil Ares. Tak ada jawaban. Ruangan itu gelap ketika pintunya perlahan kubuka.Mengenyahkan rasa heran, aku memilih untuk mengambil wudu. Berniat mencari keberadaan Ares setelah melaksanakan shalat subuh. Pintu kamar terbuka tepat sesaat aku keluar dari kamar mandi. Kulihat Ares datang menenteng plastik bening yang terdapat bungkusan makanan di dalamnya."Udah bangun?" sapanya dengan senyum lebar.Membalas senyumnya sesaat sebelum bertanya, "Dari mana
Sapuan angin dingin terasa begitu menggigit di kulit. Aku berusaha membuka mata. Namun, rasanya masih terasa berat. Seakan berada dalam lorong yang begitu gelap dan berputar. Sekujur tubuhku terasa nyeri tatkala berusaha menggerakkan anggota tubuh. Perlahan, aku merasakan dingin itu kembali makin terasa menggigit. Sesuatu seakan mengiris di kulit punggung.Dengan bersusah payah, aku kembali berusaha membuka mata. Semua masih terlihat samar. Sesaat kemudian aku menyadari, bahwa aku tengah berada di antara semak-semak dalam kondisi tanpa mengenakan pakaian. Dengan perasaan ngeri, aku berusaha mengembalikan kesadaran. Berharap ini hanya mimpi buruk. Ketika menyadari di sekelilingku yang terlihat hanyalah tumbuhan seperti tanaman teh, tubuhku mulai menggigil. Bukan karena dinginnya udara, tetapi ketakutan yang menguasai.Dengan kepala masih te
Entah berapa lama aku tergugu dalam tangis, menumpahkan segala perasaan sakit yang tak mampu lagi tertahankan. Sakitnya melebihi sakit saat ditolak Ares dulu. Masih belum mampu menerima jalan takdir yang Tuhan gariskan untukku. Ares hanya diam seribu bahasa, menarikku ke dalam pelukan. membiarkanku melepaskan semua sakit yang entah bisa sembuh atau justru membunuhku.Pelukan Ares yang seharusnya terasa menenangkan, malah membuatku takut. Takut akan kehilangannya kembali, tetapi aku juga takut untuk terus melanjutkan hubungan dengan keadaanku yang seperti ini. Meskipun Ares mengatakan bahwa ia tak akan pergi. Namun, rasa takut itu seakan mencabik.Tak lama seorang perawat datang, membawa perlengkapan yang dibutuhkan untuk memeriksa pasien. Ares melepaskan pelukannya. Mengusap pelan sisa airmata di pipiku. Dia beranjak dari