Share

lima 3

"Saya juru sita dari pengadilan agama ingin mengantarkan jadwal sidang pertama gugat cerai dari istri Pak Wahyudi."

"Apa?" tanya Wahyudi melongo. Dia menatap panik secara bergantian pada juru sita pengadilan agama dan debt collect*r di hadapannya dengan bergantian.

'Ini pasti mimpi!' gumamnya lalu mencubit kedua pipinya secara bersamaan. 'Akan kubuktikan kalau hal ini masih mimpi dan saat aku bangun, semua dalam keadaan baik-baik saja. Adelia juga akan kembali ke sisiku dan sedang memasakkan makanan enak untukku.'

"Awww! Sakit!" gumam Wahyudi seraya mengelus tangan nya yang baru saja dicubitnya sendiri.

"Pak, silakan tanda tangan di sini sebagai bukti bahwa bapak telah menerima surat dari pengadilan agama," ujar pegawai dari pengadilan agama itu seraya menunjuk ke arah kanan bawah formulir yang dipegangnya.

Wahyudi hanya bisa menghela napas panjang.

"Tidak. Saya tidak mau tanda tangan! Saya tidak akan mau berpisah dengan Adelia!" seru Wahyudi dengan tegas.

Pegawai pengadilan agama itu hanya mengedikkan kepala. Dia lalu meraih ponsel nya dan mengambil gambar Wahyudi secara mendadak.

"Hei, Pak! Ini sudah tidak benar! Saya masih mencintai istri saya!" seru Wahyudi dengan kesal.

"Pak, ini bukan urusan saya. Saya hanya bertugas untuk memastikan surat panggilan untuk sidang mediasi sudah diterima oleh tergugat. Tapi dengarkan saran saya, kalau bapak masih mencintai istri bapak, bapak tanda tangan formulir penerimaan surat ini dan datang saja ke sidang mediasi dan pertahankan rumah tangga bapak," ujar juru sita itu.

Wahyudi pun hanya terdiam dan mau tidak mau menandatangani formulir penerimaan jadwal mediasi. Setelah mendapat kan tanda tangan Wahyudi, pegawai pengadilan agama itu pun pergi.

Wahyudi pun menatap ke arah debt collect*r di hadapan nya.

"Bapak, saya minta waktu untuk mengemasi barang saya. Saya juga harus nyari kos atau kontrakan. Beri saya waktu sebulan untuk mencari tempat tinggal baru," pinta Wahyudi memelas.

Laki-laki tinggi di hadapan nya menyedekapkan kedua tangan nya di depan dada.

"Waktu satu minggu terlalu lama!" ujar laki-laki itu.

Wahyudi terdiam sejenak. Dia berpikir bagaimana caranya agar rumahnya masih bisa selamat. Mendadak sebuah ide melintas di pikiran nya.

"Kalau begitu, saya akan membayar utang istri saya. Berapa bulan istri saya tidak membayar angsuran? Saya akan melunasi nya," ujar Wahyudi.

Laki-laki tinggi di hadapan nya itu membuka tas tenteng warna hitam yang dibawanya lalu mengeluarkan buku agak tebal.

"Jumlah pinjaman seratus juta. Perbulan membayar tujuh juta lima ratus ribu. Istri kamu sudah libur ngangsur selama tiga bulan. Jadi bulan ini kamu harus membayar dua puluh dua juta lima ratus ribu. Angsuran berjalan selama lima belas bulan. Saat ini masih berjalan lima bulan."

Wahyudi menelan ludah. 'Astaga! Dapat darimana uang sebanyak itu?' tanyanya dalam hati.

Selama ini dia selalu mengirimkan sebagian besar gajinya pada ibunya di kabupaten sebelah yang berjarak tiga jam dari rumahnya ini. Sehingga dia tidak mempunyai banyak tabungan.

"Hm, saya akan membayar nya, Pak. Tapi saya mohon berikan saya waktu. Besok pasti akan saya bayar," sahut Wahyudi memelas.

Para penagih hutang itu berpandangan. "Oke. Sekarang kami akan pergi. Tapi ingat satu hal, awas saja kalau kamu tidak menepati janji kamu untuk membayar hutang dan menebus rumah ini!" ancam penagih hutang itu lalu beranjak pergi.

"Astaga, slamet-slamet! Untung saja aku bisa mengulur waktu. Ck, aku harus segera menghubungi Adelia lagi," gumam Wahyudi lirih. Dia lalu merain ponselnya dan kembali menelepon istrinya itu.

Tapi Wahyudi harus menelan kekecewaan karena ponsel istri nya tidak aktif. Wahyudi segera mengetuk pintu rumahnya berkali-kali seraya memanggil nama Adelia. Laki-laki itu pun berkeliling rumah sambil mengintip ventilasi dan jendela rumah. Masih berharap jika Adelia sedang tertidur di dalam rumah, namun harapan nya harus musnah, saat Adelia tidak tampak di seluruh penjuru rumah.

Hendak bertanya pada tetangga pun percuma. Di perumahan itu, antar tetangga saling tertutup dan jarang berbaur satu sama lain.

"Astaga, Adelia kemana sih?" ucap Wahyudi kesal. "Kalau begini aku terpaksa harus pergi ke rumah orang tuanya. Awas saja kalau dia ternyata sembunyi di sana. Dasar istri tidak tahu diuntung!" ucap Wahyudi gusar. "Duh, padahal bapak Adel serem banget, tapi aku tetap harus mencari istriku!"

Laki-laki itupun segera memacu motor nya ke rumah orang tuanya yang hanya berjarak enam kilometer dari rumahnya.

Sesampainya di rumah orang tua Adelia, Wahyudi segera mengetuk pintu rumah mertua nya.

Tak lama kemudian bapak Adelia keluar. Dia menatap Wahyudi dengan heran. Lelaki yang betubuh kekar dan berkumis lebar itu menatap Wahyudi dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan wajah penasaran.

"Assalamu'alaikum, Pak. Maaf menganggu, apa Adelia ada di dalam?"

Mertuanya mendelik mendengar pertanyaan dari Wahyudi.

"Tidak. Adelia tidak ada di sini! Jangan bilang kalau anak saya menghilang?!" tanya Bapak Adelia dengan nada seram.

Wahyudi menelan ludah.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status