Share

lima 7

"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan.

"Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang.

Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga.

Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api.

Sanusi dan Wati yang hendak menanggapi ucapan Ambar terlambat, mereka melongo saat seorang emak - emak tetangga yang diundang sebagai saksi kasus keluarga mereka menyambar dengan kata-kata pedas.

"Aduh, pantas saja serti fikat rumah kamu dijaminkan kepada rentenir, kalau saya atau anak saya yang ada di posisi mbak Adel, sudah saya gadaikan suami seperti kamu!"

"Iya nih. Aneh banget. Perumpamaan nya jaman dulu dengan jaman sekarang kan jelas beda. Dulu harga bahan makanan masih murah. Sekarang melonjak, cabe aja sekilo sembilan puluh ribu. Ngadi-ngadi nih si ibu."

"Belum lagi nanem-nanem kan bisanya di desa. Kalau di kota, haduh, jangan kan nanem-nanem, punya halaman agak lebar aja buat parkir mobil sudah untung, kasihan banget mbak Adel. Mau-maunya sih menikah dengan orang pelit, medit, claper bin ndaimen!" omel warga yang lain memojokkan keluarga Wahyudi.

"Iya, perhitungan sekali! Kalau aku jadi pak Sanusi dan bu Wati, mungkin sudah kusuruh pisah. Hidup sekali jangan mau lah menderita!"

Gumaman-gumaman warga terdengar memenuhi ruang tamu rumah Sanusi, membuat Wahyudi hanya bisa menelan ludah dengan susah payah.

Laki-laki itu berpandangan dengan ibunya.

"Ck, pokok nya saya enggak mau tahu. Saya minta ganti rugi atas serti fikat rumah Wahyudi yang digadaikan oleh Adelia!" ujar Ambar berang.

"Nggak bisa, Bu! Yang salah itu anak Ibu. Masih beruntung mbak Adel nggak de presi mempunyai suami bakhil!"

"Eh, tetangga nggak usah ikut campur masalah keluarga kami! Kalian kan cuma orang luar!"

"Eh, ibu lupa ya kalau ibu tadi yang ngeyel untuk mengajak tetangga masuk sebagai saksi?" sahut seorang warga.

Ambar terdiam.

"Saya mau lapor polisi. Ini namanya pencurian!"

"Laporkan saja, Bu! Polisinya akan tertawa saat tahu kalau mbak Adelia cuma dinafkahi 5000 sehari!" sahut Wati akhirnya.

Mendadak Wahyudi berbisik ke telinga Ambar. "Bu, kita nggak bisa lapor polisi. Karena rentern*r itu punya surat kuasa yang telah kutandatangani diatas materai untuk menja minkan serti fikat rumah saat Adelia memin jam uang."

Ambar tercengang mendengar kata-kata Wahyudi. Dia melotot ke arah anaknya. "Kamu kok enggak cerita sih pada ibu?!"

"Aku lupa, Bu!" bisik Wahyudi.

Ambar berdiri menatap satu persatu orang yang ada di sana, lalu menoleh ke arah Wahyudi dan Wawan yang duduk terdiam.

"Ya sudah. Kami pulang dulu. Ck, rugi banget menikahkan anak saya dengan anak kamu!" ujar Ambar kesal lalu segera keluar dari rumah Sanusi tanpa menoleh ke belakang lagi.

***

"Sekarang kamu punya sim panan berapa?" tanya Ambar pada Wahyudi setelah dia dan kedua anaknya sampai di rumah Wahyudi.

"Hm, lima juta, Buk. Tapi... "

"Sini ibu bawa tiga juta dulu untuk menambah biaya adik kamu lamaran!"

"Wah, jangan dong, Bu! Bukannya ibu selama ini mengkoleksi emas perhiasan dari uang yang kukirimkan? Apalagi ibu sebenar nya punya toko sembako kan di pasar? Kenapa masih minjam aku sih? Seharus nya ibu yang meminjamkan aku uang agar rumah ini bisa bebas dari rent*rnir?"

Ambar mendelik mendengar kan kata-kata anaknya.

"Ck, emas perhiasan yang ibu punya itu untuk acara lamaran dan pernikahan adik kamu! Mau ditaruh dimana muka ibu kalau orang yang punya hajatan nggak makai perhiasan! Bisa jadi omongan orang, ah!"

Wahyudi memeluk kaki ibunya. "Ayoklah, Bu. Dua puluh lima juta aja sampai bulan depan. Mulai besok aku akan rajin ambil lemburan di pabrik. Kalau perlu, aku akan ngojol sepulang kerja untuk nyicil perhiasan mami dan ngasih uang ke mami juga. Yudi mohon, Ma," ujar Wahyudi memelas.

Wawan yang tidak tega menatap kakaknya memelas seperti itu akhirnya buka suara.

"Buk, lamaran ku sederhana saja. Secukupnya uang tabungan aku. Ibu nggak usah bantu lamaranku, bantu mas Yudi saja. Nanti untuk resepsi, bisa kuambil dari uang mobil. Aku bisa menunda punya mobil. Yang penting punya rumah dulu," sahut Wawan.

Ibunya menghela napas panjang.

"Ya sudah. Ibu transfer dua puluh lima juta sekarang," ujar Ambar lalu mengotak-atik ponsel nya.

Tak lama kemudian, Ambar menatap ke arah Wahyudi.

"Sudah ibu transfer. Usahakan kamu ambil kembali serti fikat rumah ini. Ibu nggak mau ke depannya ada masalah lagi," ujar Ambar.

Wahyudi berdiri dan memeluk ibunya. "Terima kasih, Ibu! Ibu sangat membantu masa depanku!" ujar Wahyudi swraya tersenyum lebar.

"Ya sudah, ibu pulang dulu. Lalu tentang perceraian kamu, kamu terlalu ceroboh sehingga bisa dikadalin Adelia. Lebih baik, kamu nggak usah datang di acara mediasi. Lepaskan aja lah Adelia! Percuma cantik kalau nggak mau diajak hemat, ga bisa diajak nabung, dan nggak bisa dididik agar menghormati mertua!" ujar Ambar serius.

"Tapi Wahyudi masih cinta banget sama Adelia, Bu."

"Ck, makan tuh cinta! Udah deh! Jangan nyari cewek cantik, cari yang biasa! Yang bisa diajak hemat, berbakti pada mertua, dan bisa nanem-nanem!" sergah Ambar sebelum benar-benar pergi dari rumah Wahyudi.

***

Wahyudi menghela napas panjang. Dia sudah lega karena menemukan solusi untuk empat bulan ke depan tentang rumah nya. Tanpa terasa perutnya berkeruyuk lapar. Dia melirik jam bulat yang menempel di tembok ruang tengah, ternyata sudah jam sembilan malam lebih lima belas menit.

Setelah Wahyudi menutup pintu depan dan menarik sl*t pagar, dia melajukan motornya keluar rumah mencari warung penyetan.

Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung.

"Astaga! Adelia!" seru Wahyudi.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status