Share

lima 6

Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik.

"Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"

Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing.

"Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya.

"Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam Wahyudi.

Laki-laki itu menghela napas panjang lalu berdiri perlahan dan berjalan ke arah pintu.

Mendadak ponsel nya berdering. "Astaga, kenapa Wawan menelepon lagi sih?" gerutu Wahyudi setelah dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Dengan segera, dia menerima panggilan telepon dari adiknya itu.

"Halo, Wan? Ada apa lagi sih?"

"Halo, Mas. Kamu lama amat sih nyampeknya? Aku kerepotan misahin ibu nih!"

"Heh, iya-iya. Aku mau otewe kerumah pak Sanusi. Tolong jaga mereka agar nggak ada baku hantam," pinta Wahyudi lagi.

Klik. Tak ada sahutan dari Wawan karena adiknya itu memutuskan sambungan telepon.

Wahyudi menutup pintunya dengan gusar. "Duh,bahaya enggak ya kalau aku meninggalkan rumah ini tanpa dikunci? Dulu biasanya saat aku keluar rumah, ada Adelia yang menunggu di rumah sehingga tidak perlu dikunci. Tapi sekarang, duh, gimana ya kalau nggak dikunci? Mana udah jam delapan malam," keluh Wahyudi lagi.

Laki-laki itu berpikir sejenak. "Ah, embuh, aku pasrah saja, yang penting sekarang aku harus memisahkan ibu dengan pak Sanusi daripada terjadi per ang du nia ketiga," gumam Wahyudi.

Lelaki itu lalu mengunci sl*t pagar yang agak macet lalu segera melajukan motor nya menuju ke rumah mertuanya.

"Nah, itu dia baru datang! Sumber dari segala sumber masalah kaburnya Adelia pasti kamu, Yud! Ngaku kamu! Kamu pasti berbuat ja hat pada Adelia! Kalau kamu tidak mendahului berbuat sesuatu yang salah, Adelia tidak akan minggat! Saya tahu siapa anak saya!" seru pak Sanusi seraya menunjuk ke arah Wahyudi.

"Heh, Pak! Jangan sembarangan kalau ngomong! Anak bapak itu yang tidak bisa dididik menjadi istri soleha! Anak saya itu sedang mengupayakan anak bapak agar bisa menabung sebagai persiapan hamil dan melahirkan. Eh, Adelia malah kabur. Gimana sih? Makanya pak, Bu, kalau punya anak, dididik yang benar dong! Jangan sampai membuat anak saya kesusahan!" omel Ambar.

"Hah? Apa ibu bilang? Siapa yang tidak bisa mendidik anak dengan benar?! Ibu atau saya?! Saya yakin kalau Wahyudi telah menyakiti hati anak saya!" sergah Wati, ibu Adelia dengan berang seraya menuding wajah Ambar yang berang.

Ambar mendelik dan nyaris menjambak rambut Wati. Di sebelah Ambar, Wawan berusaha menahan tangan Wati agar tidak terulur dan menarik rambut lawan bicaranya. Wahyudi segera turun dari motor dengan wajah memucat dan berusaha menghalau para tetangga yang berdiri di depan pintu rumah mereka. Bahkan beberapa di antaranya berkerumum di depan pintu gerbang.

"Bu! Bu! Sudah, Bu! Jangan membuat keributan. Kita bisa kan mencari mbak Adelia dengan hati-hati? Malu sama tetangga, Bu!" desis Wawan. Ambar mendelik.

"Kalau ibu tidak bertindak, kakak kamu bisa kehilangan rumah pemberian ibu karena digadai ipar kamu, Wan! Hal ini tidak dapat dibiarkan! Keluarga Adelia harus bertanggung jawab atas kejadian ini!" seru Ambar berapi-api.

"Bu Ambar!" seru pak Sanusi dengan tegas.

Ambar segera menatap ke arah Sanusi dengan berkacak pinggang.

"Ada apa?! Apa perkataan saya salah?" tanya Ambar.

"Kita selesai kan di dalam! Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada Wahyudi. Kalau memang Adelia yang salah, kami sebagai orang tua akan bertanggung jawab. Tapi sebaliknya, jika Wahyudi yang salah, saya minta kalian harus sportif dan bertanggung jawab juga! "

Ambar berpikir sejenak.

"Baiklah, saya berani! Wahyudi sini kamu, hari ini semua masalah kamu harus sudah clear!"

Ambar memanggil Wahyudi untuk mendekat. Anaknya menatap ke arah ibunya dengan ragu.

"Sekalian juga panggil pak RT atau warga biasa untuk menjadi saksi tentang siapa yang salah!" tantang Ambar.

Sanusi pun menuruti permintaan besannya dan setelah semua orang siap, semua orang duduk di kursi ruang tamu rumah Sanusi.

"Baiklah, saya ingin bertanya pada Wahyudi, langsung saja tanpa basa basi, pertama apakah kamu pernah melakukan KDRT secara fisik atau psikis pada anak saya?"

Wahyudi menatap ke arah mertuanya dengan tegas.

"Saya tidak pernah melakukan KDRT pada Adelia sedikit pun!"

"Tuh, kan benar! Anak saya ini tidak bersalah!" cetus Ambar dengan nada puas.

"Pertanyaan belom selesai, Bu!" ujar Sanusi. "Pertanyaan kedua, Wahyudi, apakah kamu pernah selingkuh?"

"Tidak pernah! Saya sangat setia pada istri saya!" tegas Wahyudi, membuat ibunya semakin bangga dan puas.

"Nah, kalian kini harus membayar ganti rugi rumah milik Wahyudi yang sertifikat nya diserahkan oleh Adelia pada rentern*!" seru Ambar menepuk dada.

Sanusi tetap tenang dan mengarahkan pandangan nya ke arah Wahyudi. Sedang kan Wati hanya melotot ke arah besannya.

"Pertanyaan ketiga, berapa nafkah yang kamu berikan pada anak saya?!"

Wajah Wahyudi seketika memucat. Tapi sebelum menjawab pertanyaan dari mertuanya, ibunya lebih dulu menukas, "Seratus ribu! Iya kan, Yud?!" tanya ibunya dengan mengedikkan sebelah matanya.

Wahyudi menatap ke arah ibunya lama. "E, e, itu... "

"Tunggu sebentar! Ada yang terlupa. Seharusnya saya melakukan nya sejak tadi."

Sanusi masuk ke dalam ruang tengah rumahnya dan saat keluar, dia sudah membawa kitab al-quran di tangannya.

"Bersumpah lah di atas Al-Qur'an dan membawa nama Allah jika ketiga jawaban kamu tadi benar!" instruksi Sanusi seraya menyerah kan Al-Qur'an pada menantunya.

Wahyudi menerimanya dengan kikuk.

"Jawab pertanyaan saya! Bukan hanya orang-orang di sini yang menjadi saksi. Tapi Allah juga. Berapa nafkah perhari atau perbulan yang telah kamu berikan pada anak pertama saya?!" tanya Sanusi sekali lagi.

Wahyudi menelan ludah dengan susah payah. Ambar mendadak menghela napas berat.

"Saya... Memberikan nafkah pada Adelia sejumlah lima ribu rupiah per hari," sahut Wahyudi dengan nada tercekat.

"Astaga! Kamu keterlaluan! Kamu tega sekali memberikan nafkah tak layak untuk anak saya! Untung anak saya tidak ma ti kelaparan!" seru Wati dengan segera mendekat ke arah Wahyudi dan dengan gerakan secepat kilat, ibu Adelia itu menam par pipi Wahyudi kanan dan kiri sekuat tenaga.

"Plaakk! Plakkk!"

"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status