"Lin," panggil Pandu dari kejauhan. Nalini baru saja akan keluar dari lobi hotel dan bertemu namun langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggil. Nalini menoleh sambil memaksakan senyum ramahnya. Suasana hatinya benar-benar buruk hari ini. Apalagi pekerjaan hari ini diakhiri dengan ocehan Vero yang membuat telinga dan hati ikut panas. Pandu berjalan agak cepat menghampiri Nalini. "Kebetulan sekali bertemu denganmu. Ayo pulang bersama," ajak Pandu. "Aku merasa tidak enak hati, Mas. Kau sudah sering memberikan tumpangan untukku," jawab Nalini. "Memangnya mengapa jika sering? Tujuan kita sama. Jadi kau tidak perlu merasa tak enak hati. Aku merasa tidak dirugikan dan tidak direpotkan," Pandu masih saja membujuk.Nalini masih saja bergeming. Pandu yang merasa harus memaksa Nalini akhirnya menarik pelan lengan Nalini. Mau tak mau Nalini berjalan mengikuti Pandu dengan pasrah.Dari kejauhan Vero melihat Nalini berjalan bersama Pandu. Tatapan sinis lagi-lagi tercetak di wajah a
"Bagaimana kondisi teman saya, Dok?" tanya Nalini saat dokter yang menangani Noni sudah selesai memeriksa. Noni sudah sadarkan diri. Namun badannya masih sangat lemah. Dia memilih diam dan malu karena pagi-pagi sekali dia sudah menghebohkan rumah kontrakan sampai-sampai teman dan lelaki idamannya kerepotan mengantarnya ke rumah sakit. "Kondisi pasien baik-baik saja. Dia hanya kelelahan dan kekurangan nutrisi serta cairan. Ada indikasi dia menjalankan diet ketat akhir-akhir ini. Dan jika itu dilanjutkan akan berpengaruh buruk pada tubuh pasien. Saat ini yang terpenting adalah banyak istirahat dan makan makanan yang bergizi tanpa takut gemuk. Lalu pasien juga tidak perlu rawat inap. Hanya akan saya resepkan beberapa suplemen dan obat," kata dokter panjang lebar. Nalini menghela nafas, dia menggenggam tangan Noni yang tiduran di ranjang rumah sakit. "Kau ini ada-ada saja. Untuk apa diet? Badanmu sudah ideal seperti itu," tanya Nalini. "Bahkan badanmu sudah seringan kapas," timpal P
"Sivia, mengapa kau berkata seperti itu pada ibu gurumu?" Tanya sang nenek yang tiba-tiba sudah berada di dekat gazebo tempat Nalini dan Sivia duduk. "Selamat siang, Bu," sapa Nalini pada nenek Sivia. Nenekpun membalas dengan senyuman. "Nenek, aku hanya mengucapkan keinginanku," kata Sivia membela diri. "Tapi tidak sopan berkata seperti itu, kecuali jika ibu Nalini berkenan," kata nenek yang ternyata ikut mengompori. Sivia dan nenek terkekeh. Sedangkan Nalini salah tingkah dan membuat wajahnya memerah. Nenek dan cucu sama saja ternyata. "Bu Nalini, terima kasih sudah mau direpotkan dengan menjaga Sivia selagi saya belum menjemput. Saya rasa sekarang ini Sivia justru lebih suka jika saya atau ayahnya terlambat menjemput. Dia jadi bisa dekat dengan Anda," kata Nenek Sivia."Tidak masalah, Bu. Sivia adalah anak yang rajin dan penurut serta menyenangkan. Jadi sama sekali tidak merepotkan. Saya justru senang bisa bermain dengan Sivia," jawab Nalini tulus sambil tersenyum ke arah Sivia
Jam di tangan Megantara menunjukkan pukul sebelas malam. Dia sudah sangat lelah bekerja. Tapi dia juga menunggu sedari tadi coklat panasnya tak kunjung datang. Kemana Nalini berada. Apakah dia lebih memilih pulang dan tak menuruti perintahnya? Tanpa pikir panjang, Megantara memilih untuk pulang ke rumah. Dia harus istirahat karena besok harus bekerja ekstra lagi. Banyak proyek pengembangan hotel yang harus ia jalankan. Saat Megantara melewati restoran, dia menyadari semua lampu di restoran masih menyala terang. Itu menandakan bahwa masih ada orang di restoran. Padahal biasanya di jam segini lampu restoran pastinya sudah banyak dipadamkan. Hanya lampu di beberapa sudut saja yang dibiarkan menyala. Megantara merasa kakinya tertarik untuk masuk ke dalam restoran. Menyusuri deretan meja makan yang sepi. Lalu lebih masuk lagi ke area yang hanya pegawai saja yang boleh masuk. Salah satunya area dapur. Di meja dapur dia melihat beberapa alat masak masih belum dibereskan. Dan ponsel Nalin
"Apakah kau perlu ku antar ke rumah sakit?" tanya Megantara untuk memecah keheningan. Nalini sontak menggeleng, "Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Terima kasih.""Kalau begitu aku antar pulang sekarang," Megantara berdiri. "Aku bisa pulang dengan naik taksi, Pak," kata Nalini menolak ajakan Megantara. "Ini sudah tengah malam. Biar aku yang mengantarmu. Dan seperti biasa, aku tidak menerima penolakan," Megantara mulai berjalan dan menoleh ke Nalini untuk memastikan Nalini berjalan mengikutinya. "Kau yakin kejadian ini bukan ulah seseorang?" tanya Megantara penasaran. Karena dia tau persaingan para koki di dapur hotelnya memang agak sengit. "Tidak, Pak. Aku tidak mau berpikiran negatif," jawab Nalini jujur. "Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak akan tinggal diam jika ternyata ada dalang di balik ini semua," nada suara Megantara menyiratkan kemarahan. Nalini justru tersentuh dengan kalimat Megantara. Dia merasa Megantara benar-benar menjaganya. Tapi dia segera menepis anggapan itu
"Mengapa kau datang bekerja hari ini? Apa kondisimu baik-baik saja?" Tanya Megantara saat mereka berdua sudah sampai di ruangan Megantara. "Saya baik-baik saja. Akan sangat berlebihan jika hanya karena kejadian kemarin saya tidak bekerja hari ini," jawab Nalini. "Kau menganggap kejadian kemarin hanyalah hal sepele? Bukankah kau hampir mati kedinginan? Apa kau pernah berpikir apa yang akan terjadi jika tidak ada yang menemukanmu?" Megantara kesal pada gadis yang ia khawatirkan sedari kemarin itu."Maafkan saya, Pak. Bukan maksud saya untuk menyepelekan kejadian yang menimpa saya itu. Tapi saya baik-baik saja. Jadi sebagai bentuk syukur saya karena tidak jadi mati, saya harus bekerja dengan lebih giat lagi," Nalini menjelaskan panjang lebar.Megantara mendengarkan dengan seksama, "Kau yakin?""Ya. Saya siap bertugas hari ini. Terima kasih sudah mengkhawatirkan kondisi saya di tengah kesibukan Anda," kata Nalini."Ya. Karena mengkhawatirkanmu aku tidak bisa memikirkan atau mengerjakan
Ponsel Nalini berbunyi, Megantara mempersilakan Nalini untuk mengangkat telepon. "Baik Chef," kata Nalini saat setelah mendengar perkataan dari seberang telepon. Nalini memasukkan kembali ponselnya ke saku baju kokinya lalu menatap Megantara, "Maaf, Pak. Saya harus segera kembali ke restoran. Terima kasih atas jamuan makan siangnya meskipun saya sendiri yang menyiapkannya."Megantara terkekeh, "Kau tak perlu membereskan piring-piring ini sendiri. Aku akan meminta sekertarisku untuk memanggil cleaning service. Kepala Chef tidak suka menunggu terlalu lama." Nalini mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan. Sampai depan lift dia heran karena Megantara berjalan di belakangnya. Nalini menatap Megantara dengan penuh tanda tanya. Mereka memasuki lift secara bersamaan."Aku merasa sangat kekenyangan jadi aku harus berjalan-jalan sebentar dan menghirup udara luar," kilah Megantara. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Megantara belum mau berpisah dengan Nalini. Nalini hanya tersenyum k
Megantara menatap makanan dengan lesu, pasti yang tersaji di depannya tidak hanya disiapkan oleh Nalini tapi juga oleh koki lainnya. Dia juga banyak diam meskipun Starla terlihat mengobrol akrab dengan teman-temannya sambil memulai menikmati hidangan. Tak lama kemudian Nalini datang dengan membawa dua porsi cocktail pesanan teman Starla dan Megantara. Saat Nalini berada di samping Megantara, Megantara berbisik, "Makanan mana yang buatanmu?""Semua menu pembuka di sini, Pak. Apa perlu saya bawakan makanan lain?" Tanya Nalini ikut berbisik namun tanpa memunculkan senyumannya. "Tidak perlu. Aku tentu harus menghormati tamu yang lain. Aku akan tetap memakan yang ada saja," kata Megantara. "Ya. Tentu saja Anda harus menghormati tamu dari kekasih Anda," kata Nalini yang mengakibatkan Megantara membelalakkan matanya. Gadis itu benar-benar termakan omongan Starla. Starla menyadari jika Megantara saling berbisik dengan Nalini. Dia memberikan tatapan pada Nalini dan mengisyaratkan Nalini un