Share

8. SITTA DICULIK

Makan malam di kediaman Kahfi sudah kembali ramai oleh celoteh riang Kalila.

Kalila yang baru saja bercerita bahwa dirinya masuk menjadi nominasi tiga besar lomba cerdas cermat Matematika di sekolahnya. Hal itu jelas mendapat sambutan baik dari Wisnu dan Laras selaku kedua orang tua Kalila. Sama halnya dengan Kahfi yang turut memberikan pujian pada sang adik tercintanya itu.

"Dulu waktu hamil Kalila Ummi ngidam apa sih? Kok bisa Kalila pinter banget begini? Hebat adiknya Kahfi," puji Kahfi seraya mengelus ubun-ubun Kalila yang tertutup hijab.

"Ya sama aja sih kayak waktu Ummi hamil kamu dulu, Fi. Ummi perbanyak lagi ibadah, shalat sunnahnya dikencengin, dzikirnya, hafalan qur'annya. Itu aja," jawab Laras mengingat-ingat.

"Dan yang pasti, saat Ummi hamil dulu, Abi selalu berusaha membuat Ummi bahagia. Karena kunci kesehatan janin di dalam kandungan itu ada pada kebahagiaan hati ibunya," tambah Wisnu menjelaskan dengan penuh kebanggaan. "Ummi kalian ini dulu waktu lagi hamil kalian itu manjanya minta ampun, udah manja, terus ngambek kan lagi," celoteh Abi lagi yang disambut dengan cubitan Laras di tangannya.

Kahfi dan Kalila jadi tersenyum melihat keromantisan kedua orang tuanya itu. Meski sudah berumur, kemesraan di antara keduanya justru semakin terlihat jelas, seolah tak lekang oleh waktu. Dan yang pasti, membuat iri siapa pun yang melihatnya.

Termasuk Kahfi.

Dulu, dia pernah bertemu dengan seorang gadis yang perangainya mirip sekali dengan sang ibu. Seorang gadis yang berhasil membuat Kahfi jatuh cinta untuk pertama kali.

Seorang gadis, dengan perangainya yang baik, lemah lembut dalam bertutur kata. Sopan, pintar, sholehah dan yang pasti cantik. Hanya saja, belum sempat Kahfi mengutarakan perasaannya pada gadis itu, sang gadis justru sudah lebih dulu menghilang dari kehidupan Kahfi.

Gadis itu pindah tempat tinggal dan pindah sekolah, setelah nama baiknya tercemar akibat kasus pemerkosaan yang dialaminya.

Bahkan saat Kahfi pindah ke Jakarta bersama keluarganya usai dirinya lulus SMA, lalu mendaftar di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta, Kahfi selalu berharap jika takdir akan mempertemukannya kembali dengan sang gadis pujaannya itu.

Tak perduli dengan masa lalu kelam yang sudah dialami gadis itu, karena yang Kahfi tau, dia memang sudah tergila-gila dengan wanita satu itu. Bahkan saking tergila-gilanya, Kahfi sampai tak mau menikah sebelum dia berhasil menemukan sang pujaan hatinya tersebut.

Menjelma menjadi seorang playboy ulung, Kahfi tak pernah perduli dengan perasaan mantan-mantan kekasihnya dulu yang dia pacari hanya untuk sebatas melampiaskan nafsunya saja.

Ya, sebut Kahfi maniak. Dirinya memang bajingan bodoh yang tak pernah mampu melawan hawa nafsunya sendiri.

Candunya akan seks telah menjadi sebuah penyakit terberat bagi Kahfi yang membuat dirinya harus terjun ke dalam lumpur dosa yang menjerumuskan.

Sekuat apa pun dirinya mencoba untuk bertahan, pada akhirnya, Kahfi tetap akan kalah juga.

Bahkan saking candunya dia terhadap seks, Kahfi bisa merasakan sakit kepala hebat jika birahinya itu belum tersalurkan dengan baik.

"Fi, Kahfi?"

Panggilan Laras seketika membuyarkan lamunan Kahfi di meja makan. Lelaki itu menoleh ke arah sang ibu di sisinya sambil tersenyum kikuk.

"Mikirin apa sih? Diajak ngomong malah bengong," tanya Laras lagi dengan tatapan curiga.

"Kahfi nggak mikirin apa-apa kok, Mi," jawab Kahfi yang kemudian melanjutkan kembali makan malamnya.

"Tadi siang, Ranti sahabat Ummi telepon, katanya tadi kamu ke rumahnya jemput Sitta. Sejak kapan kamu kenal deket sama anaknya Ranti? Kok nggak pernah cerita sama Ummi?" Tanya Laras dengan wajah yang terlihat bahagia dan begitu penasaran mendengar cerita Kahfi tentang Sitta.

Kahfi meraih gelas berisi air bening di hadapannya dan menenggaknya setengah. Mengingat Sitta, entah kenapa moodnya yang tadinya sudah membaik tiba-tiba jadi buruk lagi.

"Kahfi juga baru kenal kok sama Sitta, biasa aja. Nggak terlalu deket juga," jawab Kahfi dengan penuh keengganan.

"Tahun ini Sitta lulus SMA loh," ucap Laras lagi.

"Ya terus kenapa?" Sambung Kahfi dengan wajah sok polos.

"Ya maksud Ummi, Sitta udah jadi wanita dewasa sekarang, bukan anak remaja lagi," ucap Laras lagi memperjelas maksudnya.

"Yaudah, terus kenapa? Nggak ada hubungannya juga sama Kahfi?"

Laras menghela napas berat, bingung bagaimana cara memulai pembicaraan yang lebih serius dengan sang anak. Padahal, Laras sudah mencoba memancing, tapi sepertinya Kahfi belum juga mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan.

Hingga akhirnya, Wisnu pun ikut turun tangan untuk menjelaskan maksud Laras lebih jauh.

"Sitta kan sudah dewasa, sudah cukup umur untuk menikah, sama halnya dengan kamu, Kahfi. Nah, Ummi mu ini berharap, hubungan kamu dengan Sitta itu bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius lagi."

"Uhuk-uhuk," Kahfi yang saat itu sedang memakan buah langsung tersedak mendengar ucapan sang Ayah. Buru-buru dia mengambil kembali gelasnya dan menenggak habis sisa air beningnya.

"Kahfi sama Sitta itu nggak ada hubungan apa-apa, Bi. Kita kenal juga belum lama karena sebuah kebetulan," ucap Kahfi mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai hubungannya dengan Sitta sejauh ini. Kahfi jelas tak ingin kedua orang tuanya salah paham.

"Coba ceritakan, kebetulan seperti apa yang bisa membuat kamu dan Sitta akhirnya saling kenal?" tanya Wisnu kemudian.

Kahfi terdiam cukup lama, memutar isi otaknya untuk bekerja lebih keras memberinya jawaban bagus. Akan sangat tidak mungkin jika Kahfi harus bercerita secara jujur pada kedua orang tuanya, mengenai kronologi tentang awal mula perkenalannya dengan Sitta.

"Ya, awalnya sih cuma gara-gara salah catet nomor. Jadi, ada temen Kahfi yang kasih nomor temennya ke Kahfi, terus pas Kahfi mau hubungin nomor itu, Kahfi salah ketik satu nomor di Hp Kahfi, dan malah nyambungnya ke nomor Sitta, sepele kan?" Cerita Kahfi dengan gambaran kasar tanpa harus mendetail.

Wisnu dan Laras tampak tersenyum dan saling lirik-lirikkan. Hingga setelahnya, Wisnu kembali angkat bicara.

"Dan kamu tau, kenapa kamu bisa sampai salah ketik meski hanya satu nomor?"

Kahfi menggeleng ragu.

"Ya semua karena Allah yang sudah merencanakannya, sesepele itu kelihatannya, tapi bisa jadi, di balik hal sepele itu lah terdapat rahasia besar dari Allah untuk kalian--"

"Jadi maksud Abi, Kak Kahfi sama Sitta berjodoh?" Sambung Kalila cepat tanggap.

Mendengar kata jodoh yang diucapkan Kalila, entah kenapa, perut Kahfi mendadak mual. Hingga akhirnya, lelaki itu pun berpamitan ke toilet.

Padahal, Kahfi hanya ingin menghindari pembicaraan yang sudah jelas dia tau kemana arah dan tujuannya.

Yakni menjodohkannya dengan Sitta?

Tidak!

Itu jelas tidak boleh terjadi dan tak akan pernah terjadi.

Saat itu, Kahfi baru saja masuk ke dalam kamarnya dan hendak meraih ponsel miliknya yang dia letakkan di nakas, ketika pintu kamarnya lebih dulu diketuk dari luar oleh Kalila.

"Ada apa, Kal?" tanya Kahfi dari dalam tanpa berniat membuka pintu kamarnya yang memang sengaja dia kunci dari dalam.

Demi menghindari kedatangan sang Ummi atau sang Abi ke kamarnya, ada baiknya Kahfi kunci saja pintu kamarnya itu.

"Ada tamu di luar, cari Kakak," jawab Kalila setengah berteriak.

"Siapa?"

"Nggak tau, laki-laki."

Mengesah malas, Kahfi pun terpaksa membuka pintu dan kembali ke luar untuk menemui tamu yang dimaksud sang adik.

Di luar, kening Kahfi jadi berkerut tatkala mendapati seorang lelaki asing berdiri di teras rumahnya sendirian.

"Cari siapa ya, Mas?" tanya Kahfi saat itu.

Lelaki berkaus biru itu menoleh dan tersenyum kikuk pada Kahfi. Dia mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Saya, Andi, Bang. Cari Bang Kahfi ke sini."

"Andi? Andi siapa ya?" Tanya Kahfi lagi yang masih bingung, karena dia yang memang tak mengenali siapa sebenarnya lelaki bertubuh tinggi kurus bernama Andi di hadapannya itu.

"Saya, Andi temennya Sitta. Abang kenal kan sama Sitta?"

Lagi, Kahfi harus mendengar nama Sitta disebut dan hal itu semakin membuat moodnya hancur lebur berkeping-keping.

"Kayaknya lo salah alamat deh. Gue nggak kenal sama Sitta, coba lo tanya rumah sebelah," ucap Kahfi yang langsung berniat untuk masuk kembali ke dalam rumahnya.

Hingga suara Andi selanjutnya sukses membuat Kahfi sontak menghentikan langkahnya di ambang pintu masuk.

"Sitta diculik sama musuh genk motor kami. Mereka minta genk kami untuk segera bayar hutang kalau nggak mau Sitta jadi korban."

Kedua tangan Kahfi sudah terkepal keras di sisi tubuhnya. Amarahnya semakin meluap mendengar ucapan konyol lelaki bernama Andi itu.

Berbalik dengan cepat, Kahfi lantas berkata, "terus, apa hubungannya sama gue?" Suara Kahfi kali ini terdengar ketus.

"Saya tau dari Sophie, karyawan Laundry yang kerja sama Tante Ranti kalau siang tadi, Abang pergi sama Sitta, kan?" ucap Andi lagi.

Kahfi tidak menjawab. Meski dalam hati, dia jadi khawatir juga.

"Tante Ranti punya penyakit jantung. Makanya saya nggak berani kasih tau soal ini ke beliau. Untungnya Sophie kasih tau saya tentang Bang Kahfi, makanya saya ke sini, berharap Abang bisa bantu Sitta," jelas Andi lagi panjang lebar.

Kahfi mengesah frustasi. Takut-takut kedua orang tuanya mendengar percakapannya dengan Andi soal Sitta, akhirnya Kahfi pun menarik lengan Andi untuk ikut keluar dari pekarangan rumahnya dan mengajak Andi berbicara di depan pintu gerbang.

"Kenapa lo nggak laporin hal ini ke polisi aja? Kenapa harus ke gue? Gue ini bukan siapa-siapanya Sitta. Jadi, nggak usah berharap apa-apa sama gue. Gue nggak mau ikut campur urusan kalian, oke? Jadi mending lo pergi sekarang!

Lagi, Kahfi hendak kembali masuk ke rumahnya, ketika Andi justru mengatakan sesuatu yang lebih menakutkan.

"Genk motor Rival ancem kami akan memperkosa dan membunuh Sitta kalau sampai kami berani lapor polisi, Bang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status