Atmosfer bahagia melingkupi keluarga ndalem setelah kabar kehamilan itu mengudara.
Akhirnya, setelah sekian lama di ndalem Kiai Adnan akan ada suara tangis dan tawa bayi lagi setelah dua puluh empat tahun sejak Fatih dilahirkan. Kiai Adnan dan Nyai Fatimah jelas sangat senang. Begitu juga Fatih dan Zulfa yang segera akan memiliki anak pertama mereka.Pagi ini, ada begitu banyak hadiah yang dikirim Kiai Hisyam dan Nyai Azizah—orang tua Zulfa ke ndalem Kiai Adnan selaku besan setelah mendengar kabar bahagia mengenai kehamilan putrinya.Bukan barang elektronik—karena nilai gunanya memang belum pasti akankah terpakai atau tidak sebab di ndalem Kiai Adnan sudah barang tentu terdapat banyak, tetapi berkarung-karung beras hasil panen, dua buah drum berisi ikan bandeng tambakan, puluhan ekor ayam pedaging, lusinan telur, juga kebutuhan pokok khas dapur seperti gula, minyak, dan lainnya di samping bingkisan berisi pakaian baru dan perhiasan.Semuanya diantPerempuan itu menghela kasar napasnya. Wajahnya merah padam dengan rahang mengeras karena bertemunya gigi atas dan gigi bawah miliknya yang dengan kuat dirapatkan. Mata cokelat madunya berkilat-kilat sarat akan amarah.Shofiya Nada Hannan.Perempuan itu adalah Shofiya Nada Hannan.Sejak kecil, Shofiya benci dengan yang namanya diabaikan. Yang membuatnya lebih benci lagi adalah saat dinomorduakan, apalagi dinomor sekiankan.Apa pun yang Shofiya inginkan, tanpa bersusah payah perempuan itu akan mendapatkannya, karena abahnya, Kiai Hannan teramat menyayanginya.Dia cantik, memiliki paras yang hampir selalu diidam-idamkan dan dielukan oleh semua orang. Kalangan mayoritas pasti akan menilainya ‘nyaris sempurna’ dengan wajah ayu khas bangsawan Jawanya.Wajah oval dengan dua manik mata bundar yang irisnya berwarna kecokelatan, bibir semerah cherry, dua buah alis yang melengkung indah, hidung berukuran sedang dengan tinggi menjulang, jug
Zulfa Zahra El-Faza“Huh ... huh ... huh ....”Aku terperanjat dari posisiku dengan napas yang memburu. Tenggorokanku seperti tercekat, seolah ada banyak sekam yang mengganjal di dalamnya. Apa yang barusan kulihat benar-benar seperti nyata. Tubuhku bergetar mengingat jelas bagaimana detailnya.“Kenapa, Fa?”Menoleh ke samping kanan, aku melihat Gus Fatih yang juga terbangun dari tidur. Nada suara dan ekspresi wajahnya tampak begitu khawatir menatapku. Lampu meja yang berada di atas nakas bagian sisinya telah ia nyalakan. Membuat kamar kami yang semula gelap dirubung oleh cahaya remang-remang yang berasal dari pijarnya. Sekarang pukul dua dini hari.Bluk!Bukannya menjawabnya, aku langsung menyurukkan tubuh untuk memeluk masku itu. Sungguh, aku takut apa yang kulihat dalam mimpi benar-benar terjadi. Sangat takut sekali.“Kenapa, Cah Ayu?” Gus Fatih kembali menanyaiku.Aku bisa merasakan tubuhnya yang semula tegan
“Apa yang kamu lakukan, Shofiya?”Aji menggeram sembari memelototi seorang perempuan cantik yang duduk di pinggiran ranjang tempat tidur. Wajah laki-laki itu merah padam dengan rahang mengeras yang mempertontonkan urat lehernya yang tegang menyembul, seolah mau lepas.Shofiya, perempuan yang menjadi penyebab marahnya gus muda yang tidak lain adalah suami perempuan itu sendiri hanya menunduk dengan nyali yang berada di ambang menuju angka nol.Dalam hati merutuki diri sendiri karena kebodohannya yang membuat Aji sampai memarahinya seperti ini. Ya, dia memang ingin berinteraksi dengan Aji. Interaksi manusia normal yang tinggal seatap dengan bercakap-cakap santai semisal. Tidak muluk-muluk, bukan? Namun, Shofiya tidak menyangka, saat untuk pertama kalinya Aji terlebih dulu mengajaknya bicara, suaminya itu malah menatapnya dengan bara kebencian di matanya.Mungkin tindakan perempuan itu memang melewati batas, tetapi di sisi lain benaknya membenarkan p
Zulfa Zahra El-FazaAku tidak tahu apa saja yang dimasukkan Gus Fatih dalam makanan yang dibuatnya. Yang jelas dari baunya, masakannya itu pasti sangat lezat. Aromanya begitu enak dan aku tidak sabar untuk mencicipinya.Selepas menyeretnya ke dapur khusus ndalem, Gus Fatih mendudukkanku di sebuah kursi yang tersedia di sana. Sejengkal saja aku kemudian tidak diizinkan untuk mendekat dan membantunya memasak.Boro-boro mengetahui bumbu apa saja yang dimasukkan dalam olahannya oleh suamiku itu, melihat bahan-bahan yang digunakannya secara menyeluruh pun aku tak bisa.Counter dapur terletak sekitar dua setengah meter dari tempatku duduk. Dan yang bisa kulihat dengan jelas sedari tadi hanyalah punggung tegap Gus Fatih yang masih berbalutkan baju koko warna hitam menutup semua kegiatannya.Ya, sedari tadi aku hanya disuguhi pemandangan bahu lebarnya itu sehingga tidak tahu apa saja yang sedang dikerjakannya di depan kompor listrik yang sampai s
Zulfa Zahra El-FazaPagi-pagi sekali, ndalem diributkan dengan kedatangan tamu istimewa.Aku yang sehabis Subuh sudah terkulai lemas karena morning sickness memutuskan bangkit dari ranjang dan melihatnya ke luar.Seharusnya pagi ini aku memiliki jam mulang di madrasah diniyah, tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, aku meminta guru pengganti agar menggantikanku.Urusan dapur pun diambil alih sepenuhnya oleh Dewi. Dan saat sarapan bersama, aku memilih tetap berada di kamar sambil rebahan. Tidak makan dan hanya meneguk segelas susu hamil rasa mangga yang dibawakan oleh Gus Fatih. Sebab makan pun percuma, aku akan langsung muntah setelahnya.Sejauh ini aku tidak mengerti, pada minggu-minggu awal kehamilan aku tidak mengalami morning sickness seperti ini, ketika sudah tahu kalau sedang hamil saja, aku kemudian mulai merasakan gejala-gejalanya.“Mas Fatiiih ....”Aku mengernyitkan dahi saat tiba di pintu penghubung ru
Zulfa Zahra El-FazaApa yang terjadi di masa lalu tidak dapat dihapuskan. Apa yang terjadi di masa depan tidak ada yang bisa meramal. Dan apa yang terjadi saat ini, maka itu yang harus dijalani.Gus Fatih pergi.Hari itu, pagi setelah Lu'lu'il Misri-nya bertamu, Cak Danang mencarinya untuk mengurus perihal rumah makannya di Wonosalam. Padaku ia berpamitan begitu mesranya dengan mencium keningku di hadapan Laila.Aku mencoba memperingatinya tapi Gus Fatih tak peduli. Bahkan saat Laila berdeham, deheman tidak biasa yang kesannya dibuat-buat untuk mengingatkan eksistensinya di antara kami, Gus Fatih tetap tidak menghiraukannya sama sekali.Sekali lagi ia menciumku. Lalu seharian itu, sepupu cantik Gus Fatih yang berasal dari Mesir itu pun berakhir menggodaku. Aku sampai lupa yang namanya bisa mengangkat wajah tanpa tersipu karena Laila yang terus menggodaku tiada habisnya.Seperti kata Gus Fatih saat berpamitan, ia dan Cak Danang ti
Zulfa Zahra El-FazaSetelah melintasi meja-meja persegi panjang dengan beberapa pelanggan yang sedang menyantap makanannya di sana, kami berjalan melewati semacam lorong yang di sisi kanannya terdapat ruangan berpintu yang entah ruangan apa itu.Pintu kayu berpelitur ruangan dengan daun ganda itu ditutup sehingga tidak ada akses yang membuat mataku bisa menelisik ke dalam. Bingkai jendela yang terbuka pun tidak ada karena tampaknya memang tidak ada satu pun ventilasi berbentuk jendela di sana.Daripada lorong—yang sebenarnya terlalu luas jika disebut lorong itu, di sebelah kirinya terdapat jalan penghubung yang menurutku seharusnya jauh lebih mudah untuk dilewati jika ingin masuk ‘ke depan’. Namun karena alasan yang hanya diketahui Gus Fatih, dia mengajak kami melewati lorong itu.Berjalan lurus terus, di depan pintu kedua yang kami temui sepanjang lorong, Gus Fatih tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ruangan kali ini terlihat lebih kecil dari
Zulfa Zahra El-FazaDi luar rumah makan, seorang pegawai mendatangi kami bertiga mengantar minuman.Aku tidak ingat Gus Fatih ataupun Laila memesan minuman itu sebelumnya. Tiga gelas orange squash dengan sedotan bergaris merah putih. Karena aku sendiri juga tidak memesan apa pun.“Matur nuwun, Yu.”Gus Fatih mengucapkan terima kasih kepada laki-laki pengantar minuman itu. Nametag BAYU terpasang di saku kiri kemejanya.Laki-laki bernama Bayu itu tersenyum. “Kentang goreng dan nasi kuningnya masih disiapkan di belakang, Gus,” ucapnya kemudian berjalan mundur. Persis cak-cak santri yang ada di ndalem ketika selesai menyuguhkan kudapan.“Wah, Mas tahu aja kalau aku kepengin makan nasi kuning.” Laila berbisik lirih ke arah Gus Fatih.Meja kecil yang kami duduki berbentuk lingkaran dengan tiga kursi yang kami duduki memutar. Jadi bertiga kami duduk saling bersisian. Aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Laila.Gus Fa