PoV Indah.Cinta, siapa yang bisa meminta akan dilabuhkan pada siapa. Begitu juga dengan rasa cinta yang ada dalam hatiku, mengaguminya sejak pertama kali melihatnya. Sosok rupawan itu telah cukup lama mengusik hatiku, bahkan sejak aku masih duduk di bangku SMU.Jatuh cinta pada pria dewasa, aku sendiri tak tau kenapa. Hanya saja setiap waktu setiap saat hasrat tertuju padanya. Sebagai anak pemilik perusahaan tempat Mas Aris bekerja, aku dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk kantor Papa.Pria itu sama sekali tak menganggapku, aku semakin penasaran dibuatnya. Semua bisa aku miliki, berarti cinta Mas Aris juga bisa aku dapatkan. Semakin aku mendekat semakin pria itu membuat jarak. Kenyataan dia memiliki istri tak mengurungkan niatku. Diri ini justru semakin tertantang, untuk dapat mendekapnya dalam pelukan. Pendekatan Tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya keberuntungan berpihak padaku. Waktu itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan Papa den
Mendapat perlakuan manis seperti ini, dari Mas Aris bagai mimpi rasanya,bagiku. Wajah itu terlihat sangat tampan, dengan jarak sedekat ini semakin jelas kulihat pesona suamiku ini. Aku mendekatkan wajahku, kemudian memejamkan mata. Berharap dia memberikan ciuman pertamanya untukku. Kenapa pria ini tidak peka, setelah menunggu beberapa saat aku membuka sebelah mataku. Aku mendecak kesal, bisa-bisanya dia malah asyik mengusap-usap ponselnya."Mas …!" Panggilku setengah berseru. "Ada apa?" tanyanya seolah tak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa dia mengabaikan bibir ranumku yang telah siap menyambutnya."Ihh," ucapku kesal, Mas Aris malah menggaruk kepalanya."Mas ada pekerjaan kantor, mas kerjain dulu ya," pamit Mas Aris hendak beranjak. "Kerjakan di sini aja, Mas. Indah temenin," ucapku manja. "Mas takut nggak konsen, pengennya liatin kamu terus." "Ihh, Mas bisa aja," ucapku tersipu."Mas, di depan aja.
Sengaja aku tak memberi tahu Mas Aris kalau aku sudah mendapatkan surat itu. Akan kuberitahu malam ini, sebagai kejutan, sekaligus minta hadiahku. Kadang sebel, apa kurangnya aku di banding Rena, kenapa dia tak mau menyentuhku. Aku lebih cantik, lebih muda, dan lebih kaya.Dengan hal ini, aku berharap Mas Aris terbuka mata hatinya dan menyadari betapa besarnya cintaku padanya. Setelah itu, kami bisa bahagia hidup bersama dan melempar Rena jauh. Tak akan lama lagi.••Tak seperti biasa, Mas Aris pulang larut malam, sama seperti Rena. Hanya saja Rena sudah datang dari satu jam yang lalu, ini sudah hampir jam sepuluh, Mas Aris belum datang juga, ponselnya pun mati.Aku sudah bingung. Tapi, Rena terlihat biasa saja, bagaimana Mas Aris lebih memilih istri yang tak peduli padanya dibanding aku. Rena terlihat bercanda dengan Bunda nya di depan tv. Ibu tak terlihat, karena mengaku sakit kepala.Tak berapa lama kudengar mobil Mas Aris datang. Ak
Semua selesai mandi dan bersiap ke kantor aku masih belum selesai juga."Pamerkan masakanmu, pada Rena sama Bundanya. Mereka harus mengakui keunggulan kamu," ucap Bunda padaku. "Tapi, Indah belum selesai. Nggak bisa temenin Mas Aris sarapan," ucapku sedikit kecewa."Nggak papa, biar Ibu yang ladenin sama yang nemenin," ucap Ibu kemudian.Tak berapa lama, semua sudah berkumpul.di meja makan. "Indah, nggak sarapan? Tanya Mas Aris padaku. Diperhatikan seperti itu saja hatiku sudah senang sekali, nampak Rena melihat ke arahku dengan wajah malas. Aku membalasnya dengan senyum kemenangan. Daguku terangkat, lambat laun perhatian Mas Aris pasti aku dapatkan."Belum selesai, Mas duluan saja," balasku manis."Ehem," terdengar Bunda Rena berdehem, melihatku sinis."Nih, masakan mantu kesayangan, terbukti untuk kesekian kalinya, anakmu tak ada apa-apanya," ucap Ibu, kemudian melirik ke arahku dengan senyumnya. Aku membalas dengan senyum yang sama."Halah, palingan rasa alakadarnya," cibir wan
Belum juga lama aku mengobrol dengan Tante Erin, Ibu memintaku cepat-cepat pulang. Kadang menyebalkan sekali wanita itu, andai bukan karena aku mencintai anaknya, malas sekali berhubungan dengan wanita itu.Lama-lama risih juga akhirnya aku berpamitan, Tante Erin hanya tertawa mendengar ceritaku tentang ibu mertuaku itu.Keluar dari cafe segera kulajukan kembali mobilku ke arah pulang. Sedari tadi ponselku tak berhenti berbunyi. Sayang sih sayang, tapi kalau caranya begini, buat pusing.Baru mobilku menepi akan masuk halaman, Ibu mertuaku sudah berdiri di depan pagar. Ya ampun Ibu-Ibu satu ini, benar-benar tidak sabaran sekali. Melihat mobilku datang lekas ia menghampiri dan naik di jok belakang. Sudah persis sopirnya aku dibuat."Kemana Bu? Ke pasar yang dekat simpang tiga saja ya Bu, disana pasarnya bersih kata Bi Eti." Aku melihat Ibu dari spion tengah."Nggak mau, yang Ibu cari gak ada di sana. Cuma ada di pasar yang dekat terminal," jawab perempuan setengah baya itu.Pasar kumuh,
Pov Rena•••Aku masih fokus dengan tumpukan berkas di atas meja, saat terdengar beberapa notif pesan masuk ke ponselku. Tanganku meraih laci dan menariknya. Ponsel kembali bergetar saat aku mengambilnya.Pesan gambar di aplikasi WA dari Ibu, sedikit menunggu karena aku tak mensetting unduh otomatis. Tawa tak dapat kutahan saat melihat gambar-gambar yang Ibu kirimkan. Terlihat foto Indah yang lucu sekaligus menyedihkan. Salut dengan Ibu, yang seakan tak pernah kehilangan akal untuk mengerjai menantu keduanya itu.Aku masih benar-benar tak habis pikir, kenapa ada gadis bodoh seperti Indah. Apa yang diharapkan dari sosok Mas Aris. Apalagi sekarang aku sudah mengunci suamiku itu, yang otomatis hanya bisa bangun saat denganku saja. Indah cantik, kaya, dan masih muda, Mas Aris juga abai padanya.Kalau hanya soal rupa, banyak pria lebih tampan dari Mas Aris. Apa gadis itu terobsesi karena Mas Aris menolaknya. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau, apa yang Ia pikirkan. Sekarang lebih baik a
••Sepanjang perjalanan tadi, Ibu juga hanya berdiam. Tak bicara apapun padaku atau Bunda juga. Itu terjadi sampai sekarang, ketika kami berkumpul di ruang tengah selepas sholat isya."Rena, Ibu memiliki firasat tak nyaman, dengan kondisi ini," ucap Ibu tiba-tiba.Aku dan Bunda menoleh bersamaan ke arah Ibu, yang terlihat lebih serius dari biasanya. "Dengan ketiadaan Papanya, anak itu akan semakin bergantung pada Aris. Dia akan mencari perhatian Aris dengan alasan karena Papanya sudah meninggal, dan dia sedang berduka." Ibu menjeda kalimatnya."Surat perjanjian itu sudah ada di tangan kita. Sebelum terlambat kita pergi dari sini, kita pulang saja. Setelah itu kalian pindah lagi ke kota lain, dan mulailah kehidupan baru kalian," tambah Ibu lagi."Tapi, Mas Aris …." "Ibu yang urus Aris. Ibu tak ingin kita terlibat terlalu jauh dengan gadis itu. Dia tak sebodoh yang kita pikirkan seperti sebelumnya," lanjut Ibu lagi.
"Aris tak mau pergi?" tanya Ibu padaku. Aku mengangguk. Pagi-pagi sekali, Mas Aris sudah pergi. Indah menghubunginya, meski tau aku tak suka, Mas Aris tetap pergi. Dia telah memilih jalannya, dia tak ingin pergi. Mas Aris lebih memilih duniawi daripada hidup dengan cintaku. "Maafkan Aris," ucap Ibu kemudian. Aku memeluk Ibu mertuaku itu, tangisku pecah. Saat semua daya upaya yang dilakukan ternyata sia-sia, yang tersisa hanya rasa kecewa."Rena … Ah, sakit sekali rasanya Bu. Segala usaha kita, tak ada nilainya. Semua sia-sia, kalah dengan harta dan silaunya dunia." Sesak sekali rasanya dadaku, mengingat semua hal yang tengah terjadi.Bunda mengusap punggungku pelan. Kami semua terluka, oleh pilihan yang diambil Mas Aris. Semua kecewa, sangat kecewa. "Sudah, jangan menangis seperti ini. Hati bunda tambah sakit rasanya." Bunda terisak, pasti sama yang ia rasakan sekarang denganku."Ibu minta maaf, benar-benar minta maaf," ucap