Share

Bantuan Kemanusiaan

Konon alasannya sederhana, demi menghargai dan menghormati perasaan seorang ibu, maka Gus Farhan mulai mencampuri urusan orang lain yang bukan mahram-nya. Ia banyak belajar perihal kehidupan manusia yang memang diperintahkan saling bahu-membahu untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Bukan hal aneh jika tiba-tiba Gus Farhan menawarkan untuk mengantar pulang Bunda Shofi. 

“Sebaiknya ibu saya antar pulang, tidak baik mengendarai sepeda motor dalam keadaan bimbang seperti itu, sepeda motor ibu biar diantar oleh santri saya, bagaimana?” tawar Gus Farhan. 

Bunda memandang wajah Gus Farhan yang seputih awan, menelusuri ketulusannya lebih dalam, menjangkau pikiran yang tidak bisa ia tebak bahkan meluruhkan segenap ketidakmampuannya kepada Gus Farhan. Untuk kali itu pemuda putra Abah Aziz tersebut merupakan sandaran sekaligus harapan. 

“Baiklah Farhan, mungkin itu jalan yang tepat. Pikiran saya memang sedang semrawut, ibu mana yang akan tenang jika putrinya tidak pulang? Kamu pasti memahami hal itu.” 

Kemudian Gus Farhan mengambil mobil van milik pondok, menyuruh Bunda naik sementara sepeda motor dikendarai oleh santrinya yang diijinkan keluar. Abah Aziz yang baru saja selesai tadarus Al-Quran melongok dari jendela masjid, bertanya-tanya hendak kemana tujuan putranya menggunakan mobil. Jarang sekali Gus Farhan berpergian menggunakan mobil, ia lebih nyaman dan terbiasa menggunakan sepeda motor. 

“Apa yang terjadi? Apa ada santri yang sakit?” terka Abah Aziz sambil melangkah ke beranda masjid, menatap kepergian mobil keluar dari gapura pondok. 

Ketika menyetir mobil, Gus Farhan melihat CCTV pondok yang terpasang di atas gapura. Ia akan melacak sepulang dari rumah Shofi. 

“Terima kasih Farhan, maaf sangat merepotkanmu,” ucap Bunda di dalam mobil. 

Tubuhnya gemetar, air mata yang tidak diinginkan mengalir justru bertambah deras. Bunda perlahan mengeluarkan ponsel, menghubungi adik laki-laki Shofi yang bekerja di luar kota. Obrolan yang berlangsung itu terdengar oleh Gus Farhan. 

‘Agam, bisakah kamu pulang?’

‘Kak Shofi sudah tiga hari tidak pulang, dia tidak memberi kabar!’

‘Bunda tidak bisa tenang, tidak pernah sekalipun kakakmu pergi tanpa pamit.’

‘Bunda tidak berlebihan, Agam. Kakakmu hilang dan kontaknya tidak aktif.’

‘Sudah Bunda cari dan tanya kepada teman terdekat, tetapi tidak juga menemukan hasil.’

‘Apa? Menunggu sepekan, Agam Bunda serius tidak sedang bergurau!’

Gus Farhan memperhatikan aura wajah Bunda Shofi dari kaca depan, menghela napas panjang usai menarik sebuah kesimpulan. Shofi gadis ketus, tetapi memiliki latar belakang pola asuh baik dari orang tuanya. Ia membaca dengan jelas sebuah kepedulian yang tersurat dalam kasih sayang secara utuh, sebagaimana sikap Abah Aziz dan Umi. 

Selama di luar negeri, ia sering mendapat telpon secara rutin dari Indonesia, terkadang mereka hanya menanyakan kabar yang selalu diulang-ulang. Terdengar membosankan, tetapi cinta orang tua tidak pernah memiliki sisi bosan. Pernah suatu hari ponselnya mati, Abah dan Umi sulit menghubungi, pada hari selanjutnya Umi menelpon dengan riak tangis, khawatir ada hal buruk yang menimpa. Lantas kini seorang ibu menghadapi kenyataan pahit, putrinya sudah tiga hari tidak pulang. 

“Farhan, tolong bantu saya menemukan Shofi, ya! Jika ada informasi segera kabari saya.” Permintaan dari Bunda sewaktu berada di depan rumah. Tempat tinggal sederhana, tidak begitu luas, berlantai satu dengan pekarangan yang dipenuhi dengan tanaman hias. Bunga bugenvil berguguran di atas rumput jepang. Kelopak-kelopaknya disiram cahaya matahari sore. 

Gus Farhan mengulum senyum, berjanji akan bersegera memberi kabar jika memang ia mengetahui keberadaan Shofi. Selain itu ia juga masih ingin mengembalikan tote bag Shofi. 

Sore berpulang seiring kepergian Gus Farhan dari halaman rumah Shofi, membiarkan wanita separuh senja itu menatap redup ke arah jalanan–menanti buah hatinya berlarian kecil memohon pelukan hangat. 

Di bawah kaki langit yang lain, riak tangis beradu dengan suara serak Shofi. Ia merintih penuh permohonan supaya dikeluarkan dari ruang yang begitu gelap dan pengap. Sayangnya Bawon tidak mengindahkan. Kedua tangan diikat, mulut disumpal menggunakan kain putih, sementara pintu ruang selalu dikunci rapat. Bawon masuk hanya untuk mengantarkan makanan dan suplemen kapsul, serupa vitamin entah apa, Shofi jarang mengkonsumsi vitamin. 

“Kesialan hidup lo adalah memiliki teman sebrengsek Anggi. Jika ada kehidupan yang kedua, berhati-hatilah dalam bergaul!” ujar Bawon berlagak memberi simpati, sejujurnya ia sendiri tidak peduli.  Bawon hanya peduli dengan nasib dompet dan hidupnya sendiri. 

Shofi tidak pernah menyangka jikalau Anggi yang selama ini merupakan gadis ramah dan senantiasa tertawa renyah, memiliki sisi kelam sehitam jurang tanpa cahaya kehidupan. Anggi bagaikan lubang hole penuh kesesatan. Ia sulit ditebak karena pandai menyembunyikan masalah. Ekspresi riang selama ini merupakan kepalsuan. Sekali lagi ia tidak menyangka akan terjebak di ruang berbau apek, sebuah ruang yang ditafsir jarang dihuni anak manusia, banyak properti perabot rumah yang berantakan, kayu penyangga yang entah pernah ditakdirkan mengamankan apa, kursi-kursi yang terbalik, kardus-kardus berisi entah, setumpuk koran, kipas angin rusak, televisi pecah dan lainnya. Shofi disekap di dalam gudang berteman tikus lapar dan kecoa. 

“Ingat lo harus betah di sini, ini tempat paling aman sementara waktu. Bos Bagong sedang berdiskusi untuk menempatkan posisi mulia, jangan main-main apalagi mencoba kabur! Lo sah menjadi milik Bos Bagong,” ucap Bawon lagi kemudian menarik sumpalan kain di mulut Shofi. 

“Apa salahku? Lepaskan! Tolong keluarkan aku dari tempat ini, Bunda akan sedih jika aku tidak pulang!”

“Persetan dengan nyokab lo! Jangan bermimpi kau bisa pulang ke rumah masa kecil lo, mulai detik ini hidup lo adalah milik Bos Bagong!” seru Bawon dengan mata mendelik. “...termasuk kehormatan lo!” Bawon melirik area bawah tubuh Shofi. 

Gadis itu merasa risih dengan tatapan Bawon yang mengandung pikiran kotor. 

“Makan!”

“Nggak … aku mau pulang! Tolong lepaskan aku!”

“Berisik! Jaga diri lo agar selalu sadar, atau harga diri lo akan lenyap serupa laron yang hanya hidup sesaat!”

Harga diri Shofi tidak boleh lenyap. Ia punya masa depan yang diangankan akan indah. Sungguh ia tidak mau terjebak dalam kesuraman hidup, ia harus bisa menyelamatkan diri. Mencuri ponsel siapa pun, menghubungi rumah agar bisa memberi pertolongan. 

“Haaaa … aku akan membuatmu menyesal suatu hari nanti!”

“Lakukan jika memang bisa, gue tunggu dengan senang hati. Hahaha.”

Bawon mendekatkan sepiring nasi beserta mineral dalam botol yang sudah dibuka dan dipasangi sedotan. “Makan langsung pakai mulut lo, jangan berontak atau nikmati saja rasa lapar yang akan merenggut kesadaran lo sendiri!”

Pemuda dengan tindik itu berdiri, membalik tubuh meninggalkan Shofi. Pintu gudang kembali ditutup rapat. Jika semula gelap, maka tidak untuk detik itu, pada jam-jam makan ruangan dibiarkan terang. Shofi menatap pedih sepiring nasi berlauk tempe goreng dengan sayur ca kangkung. Kalau saja itu hidangan yang disajikan oleh Bunda, pasti terasa nikmat. 

Bagaimapun juga ucapan Bawon mengandung kebenaran. Ia harus tetap terjaga, tidak boleh hilang kesadaran demi memastikan dirinya baik-baik saja. Ia tidak mau disentuh oleh pria brengsek yang mengedepankan hawa nafsu. Makan langsung menjilat serupa anjing ia lakukan demi keselamatan–demi Bunda di rumah. Air mata menjadi kuah pelengkap hidangan malam itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status