Share

Karena Bunda

Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Tiada gemerlap bintang yang mencuri pandang dari langit. Daun-daun pepohonan menampung kepenatan lelap yang bergerilya di pelupuk mata. Suasana detik itu menjadikan beberapa sisi kehidupan anak manusia terasa hening tanpa suara. 

Sementara di sisi lain, tepat pada dunia gemerlap Bos Bagong, malam yang bertambah pekat adalah nikmat. Lantai dipenuhi dengan hentakan kaki dari pemuda yang meneguk khilaf sebelum senja. Bir-bir terjual banyak. Meja-meja penuh dengan segerombol penongkrong yang hendak ngobrol omong-kosong. Semakin panjang usia malam maka musik DJ bertambah nyaring dan melengking menusuk sel-sel pendengaran. 

Bos Bagong sedang mengisap rokok dengan cerutu andalan, ia menerawang jauh nasib gadis yang sedang disekap di dalam gudang. Emosinya sungguh meletup-letup bagaikan petasan yang baru saja diledakkan. Ia marah karena Anggi mengirim gadis yang teramat kampungan. 

“Bos, mustahil ada yang mau pesan tiket untuk membeli wanita itu,” ucap Bawon yang tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu. 

Bos Bagong duduk di ruang VIP khusus di lokasi diskotik yang ia miliki tersebut. Pasalnya ia tidak suka jika teriakan dan ucapannya direkam oleh gedang telinga orang asing. Bos Bagong ingin menjaga privasi dirinya dengan rapat. Padahal ia memperjual-belikan kehormatan gadis-gadis yang dibeli di jalanan tanpa sekat.  

“Anggi memang kehilangan otak warasnya! Bagaimana mungkin bocah tengik itu berani menjadikan sahabatnya sebagai dagangan?”

“Bagaimanapun hutang Anggi sudah lunas, Bos! Kita sudah bersepakat asalkan Anggi mau menyerahkan hal paling berguna dan berharga dalam hidupnya,” Bawon bersimpati. 

"Jangan ikut campur, Cung!" 

"Hehe, Bos. Rencana gadis itu mau diapakan?" 

"Bos boleh nggak kita gilir  rame-rame dulu, lama nggak anu … emm, Bos!" sambung preman Bos Bagong yang lain. 

Bos Bagong jengkel mendengar kalimat tersebut, spontan ia mendorong meja dengan kaki kiri. Botol bir beserta gelas bening mengalami guncangan hebat. Sudut mejanya membentur lutut rekan Bawon. Ia meringis kesakitan. 

"Ampun, Bos!" 

"Dandani Shofi secantik mungkin, buat penawaran tinggi!" ucap Bos Bagong selanjutnya dengan tatapan menerkam. 

“Serius, Bos?”

Bos Bagong mendengus kesal disusul bola mata yang melebar dengan sempurna, nyaris copot dari naungan dan jika bisa akan dilempar ke mulut Bawon yang tidak percaya. “Selama ada peluang mengeruk untung, kenapa dibiarkan? Itulah sebabnya kalian kere dari dulu!”

Bawon diam, jika sudah begitu nanti banyak kata-kata merendahan harga dirinya lebih curam lagi. Bos Bagong bukan hanya galak, ia perhitungan dan teliti terhadap sesuatu. Satu hal yang menurut Bawon menjadi kelebihan Bos Bagong, laki-laki yang sudah beruban tetapi ubannya disamarkan dengan cat hitam tersebut itu tidak pernah mengingkari janji. 

“Buat foto semenarik mungkin, lalu jual!” kata Bos Bagong bertekad. 

Maka malam itu, fotografer gelap sewaan Bos Bagong didatangkan. Tukang Make Up juga diundang secara eksklusif. Shofi diseret paksa menuju ruang dandan, ia disuruh membuka bajunya dengan ancaman. Shofi menolak memakai pakaian ketat. Meski kena pukul dan tampar berkali-kali ia tidak jera. Bagi para preman pukulan bisa disamarkan dengan bedak, toh selama Bos Bagong tidak tahu itu dianggap aman. 

Bawon melapor ketidakmauan Shofi disuruh memakai pakaian seksi, apalagi melepas jilbab yang selama ini menutupi surai hitam legamnya. Bawon sampai kebingungan setengah mati menghadapi Shofi. Meski sudut bibir Shofi berdarah, tetap saja gadis itu menolak dan bersikukuh tidak akan melepas jilbabnya selama ini. 

“Bunda menyuruhku memakai jilbab, jika tidak aku harus masuk ke pesantren! Aku tidak mau berkhianat dengan Bundaku!” teriak Shofi memberikan penjelasan, “sekalipun urat leherku putus!” lanjutnya dengan tatapan mencengkeram. Rasanya ingin mencakar mulut Bawon yang tidak berhenti menyurunya melepas jilbab. 

Bos Bagong mengintip dari ambang pintu, melihat wajah pucat penuh tangis dan amarah. 

“Turuti saja kemauannya, asalkan dia cantik pasti banyak yang tertarik,” ucap Bos Bagong kemudian meninggalkan lokasi. 

Tubuh Shofi diikat pada kursi, mulutnya disumpal, air mata yang terus mengalir dipaksa kering, jika masih meluncur maka jambakan jilbabnya akan diperkuat. Ia didandani dengan pemaksaan. Bening itu tetiba kering, bukan karena takut dengan ancaman Bawon dan para preman yang menunggui di belakang sang perias, melainkan tersebab lelah. Ia lelah terus menangis. Memilih pasrah dengan keadaan sementara hati tidak pernah berhenti menyebut nama Pencipta hidup, berharap secepatnya mengirim bantuan agar menyelamatkan harga dirinya yang dipikir akan koyak. 

‘Allah, di mana diri-Mu? Kau mendengar doaku, kan? Tolong selamatkan air mata Bunda, aku tidak ingin Bunda menangis karena diriku terjebak di dunia gelap ini.’ Gumam Shofi sambil menatap cermin yang ada di hadapan. 

Perias itu memuji kecantikan Shofi, ia serupa berlian yang mengkilap, sayang jatuh di tangan orang-orang jahat. Perias itu menyuruh para preman keluar, ia bermaksud melepas jilbab Shofi untuk diganti dengan yang bersih. 

“Gue harus tetap di sini, atau lo mau bersengkongkol dengan bocah tengik itu untuk kabur?” Bawon menolak keluar dari ruangan. 

“Bisakah kamu menghargai keputusan kaum perempuan, Won?” tuntut Perias yang kerap dipanggil Fanda. 

Ia perias handal yang berkualitas, memiliki WO sendiri. Sudah merias banyak orang termasuk artis yang mau manggung dan konser di kota-kota besar. Akan tetapi persoalan rumit keluarga, perihal hutang yang tidak berujung membuatnya terjebak dengan Bos Bagong. Ia memang dipekerjakan dengan baik di tempat itu, tetapi merasa disandera secara mental. 

Banyak tragedi yang terjadi pada manusia secara acak dan mendadak, membuat mereka harus berhadapan dengan pilihan sulit demi bertahan hidup. Fanda pun pernah terjebak dalam lingkaran sesat serupa Shofi saat itu. Hal yang tidak diinginkan. Adakalanya ia hendak menyalahkan takdir, mengapa detik itu tidak memberi pertolongan. Namun, jawaban seringkali ada di masa mendatang. Tentu setelah ia berhasil bangkit dari kehancuran. 

“Tolong bantu aku keluar dari sini,” rintih Shofi sambil menatap wajah Fanda dari cermin. 

“Yang bisa kulakukan hanyalah membantumu dengan doa, Shofi. Preman Bos Bagong berkeliaran serupa kawanan semut. Sekali membuat kesalahan manis, aku akan hancur dikeroyok. Mengertilah posisiku, bukan bermaksud untuk membiarkanmu!”

“Hubungi keluargaku di …,”

“Maaf, Shofi. Anggap saja aku bejat,” ucap Fanda sambil merapikan jilbab yang baru disarungkan ke kepala Shofi. 

Setelah selesai dirias, Shofi dipaksa melangkah menuju ruang foto. Foto itu kemudian digunakan oleh Bawon untuk mencari pembeli kepuasan di sosial media. Tanpa menunggu lama, orang yang mengaku kaya menghubungi Bawon, menawar sekian juta untuk booking satu malam kelas VVIP. 

“Siapkan kamar mewah untuk pelanggan satu ini, dia seorang yang memangku kepentingan di kota ini.” Bos Bagong sangat bersemangat mengetahui pemesannya bukan orang sembarangan. 

“Orang-orang boleh bicara sok suci di depan kamera, tetapi waktu tidak bisa membungkam kebusukan otak mereka." Bos Bagong terus mengoceh disusul tawa yang meledak keras, seakan meretakkan malam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status