“Apa? Kau belum bilang sama ibumu?” Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka.
“Kau sudah janji, Gara!” Tangisnya seketika pecah. Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambrug jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu.
“Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.” Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi.
Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa.
“Kau sudah ingkar janji berkali-kali, Gara. Huhuhu. Tiga kali kau mengingkarinya. Teganya kau perlakukan aku seperti gadis pengemis begini! Apa aku harus menabrakkan diri ke kereta api supaya kamu menyesal memperlakukanku seperti ini, hah?”
Mendengar kata-kata wanita yang telah bersamanya selama lima tahun itu, akhirnya Anggara pun bersuara,” Kau, datanglah kemari. Temui ibuku. Barangkali kalau bicara dengan sesama wanita, ibuku akan mendengarnya dan luluh.”
“Apa? Aku harus mengemis ke situ? Ya ampun, Gara! Aku ini cewek! Di mana harga diriku jika harus memohon pada ibumu untuk mau mengawinkan kita? Kau ini benar-benar pengecut!”
Klik! Nirmala tidak kuasa lagi berbicara. Ia memutus telepon sepihak. Jika permbiacaraan ini dilanjutkan, yang ada hanya jantungnya yang rontok.
Melihat sahabatnya begitu lemas dan menangis sejadi-jadinya, Fitonia segera memeluk.
“Tenangkan dirimu, Mala. Tenang. Sabar.” Tangan lembut Nia membelai punggung sahabatnya.
“Bagaimana aku bisa tenang, Nia? Gara itu benar-benar pengecut! Dia ingkar lagi hendak melamarku. Sementara di rumah, aku terus dikejar harus menikah secepatnya. Kalau tidak, maka akan segera dijodohkan sama orang yang sama sekali tidak aku suka. Huhuhu.” Nirmala tergugu tiada jeda. Bayangan perjodohan oleh sang ayah dengan salah satu anak temannya itu membuatnya muak.
“Dia sudah janji, bahkan ini janjinya ketiga kali akan melamar dan secepat mungkin meminangku. Dia ingkar, Nia! Bagaimana aku tidak stres?” Saking stress-nya, serta merta Nirmala menghadapkan kedua telapak tangannya yang membeku ke arah Fitonia—yang juga kaget melihat sahabatnya itu seperti begitu menderita. Dan, sudah menjadi hal biasa bagi Nirmala, jika dia sedang stress, depressi dan menangis terus menerus, maka jari-jari tangannya akan mengalami kelumpuhan sesaat. Ia pun sudah menyadari itu, tapi mengabaikannya.
“Jari-jarimu kambuh lagi, La?” Fitonia sangat cemas melihat jari-jari sahabatnya kaku. Ia berusaha untuk memegang, tapi ditolak.
“Biarkan, Ni. Biarkan aku mati sekalian!” Nirmala semakin kacau. Ia berusaha menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah, lalu mengibas-ngibaskannya ke berbagai arah. Tangis pun semakin kencang. Untung saja, di rumah itu hanya mereka berdua. Sementara tetangga pun cukup jauh, sehingga tidak ada yang mendengar keributan yang terjadi di sini.
Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bisa Nia lakukan lagi, kecuali memberikan waktu untuk sahabatnya itu bisa menenangkan diri. Segera ia keluar mengambil air putih dan meletakkannya di sebuah meja. “Minumlah, Mala. Tenangkan dirimu. Sebentar lagi aku ke luar. Ada urusan bentar. Kau aku tinggal dulu, nggak pa-pa, ya?” Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Fitonia membelai punggung sahabatnya. “Pokoknya, hapeku selalu bisa kamu hubungi. Kontak aku kalau kau butuh sesuatu. Oke?” Di tengah-tengah kegelisahannya, Nirmala mengangguk.
Suasana mendadak sepi. Sisa air mata masih menetes walau lambat. Kedua netra Nirmala menatap ke luar jendela yang gordennya masih tersibak. Memorinya menari-nari mengajaknya menghitung kenangan-kenangan indah dan mengharukan bersama sang kekasih.
Sebenarnya tidak sedikit teman dan rekan kerjanya yang mempertanyakan kenapa ia masih anteng-anteng saja pacaran dan belum mau melenggang ke pernikahan bersama sang pacar, padahal hubungan sudah tergolong lama. Bisikan-bisikan pun sudah tidak terhitung lagi yang meragukan keseriusan sang kekasih. Apalagi, diketahui bahwa sosok kekasihnya itu belum pernah sekali pun bertandang ke rumah.
Saat ditanya mengenai hal demikian, Nirmala lebih memilih diam, karena ingat dengan kata-kata kekasih, “Kalau kamu percaya padaku, sabarlah menunggu. Aku akan datang setelah mengantongi restu Ibu. Itu tidak mudah. Kau tau bagaimana sifat Ibuku, ‘kan?”
Setiap mengingat kalimat itu, kesedihannya selalu membuncah. Selama ini ia sudah berusaha sabar. Tapi, demi mengingat di rumah ia dikejar-kejar untuk segera menikah, rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan kesabarannya. Namun, jika menyerah, sudah barang tentu ia akan kehilangan sosok yang selama ini selalu berpihak padanya.
Anggara memang pemuda pemalu dan pendiam, tapi dia satu-satunya pria yang selama ini ada untuk dirinya, kapan pun. Saat ia cek-cok dengan sang bapak, rekan kerja atau bahkan tetangga pun, Anggara yang selalu setia mendengarkan keluh kesah dan mencarikan win-win solution. Ya, meskipun pria itu tidak selalu fast respond.
Bahkan, saat ia kekurangan uang, karena gaji yang kadang tak cukup untuk mencukupi kebutuhannya, Anggara-lah sang penolong yang siap menyodorkan ATM-nya. Ia juga tidak pernah lupa dengan pengorbanan kekasihnya yang rela membantu biaya kuliahnya dulu. Itu hanya beberapa nilai plus Anggara yang jarang atau mungkin tidak dimiliki pria lain. Maka, jika ia harus kehilangan Anggara, rasanya tidak mungkin. Dunia pasti akan terasa hambar dan runtuh.
Malam semakin larut. Nirmala masih hanyut dalam kesedihannya yang mendalam. Jika sedang begini, lantas wanita melankolis itu menyalakan musik dari ponsel, lalu mengambil diary yang selalu dibawa kemana pun ia pergi.
Persetan mengenai persepsi orang di zaman ini masih mengandalkan diary. Karena bagi dirinya, diary seperti rumah. Di sanalah tempat terbaik bisa mencurahkan segala permasalahan hidup tanpa sensor apa pun. Ia berharap suatu saat bisa membuat sebuah novel berdasarkan kisah nyatanya itu.
Namun, semakin lama menyibak lembaran diary, tangisnya semakin tidak terkendali. Pun, kepala terasa pening, berat, panas seperti hendak pecah. Akhirnya, Nirmala tidak bisa menahan untuk tidak menjambak-jambak rambut yang sudah acak-acakan sambil berteriak.
###
Fitonia baru saja hendak beranjak, tapi intro sebuah lagu membuatnya urung. Ia sudah berdiri, tapi kembali duduk demi ingin mendengarkannya.
“Semoga siapa pun yang punya kenangan dengan lagu ini, senantiasa sehat dan bahagia. Hiduplah dengan baik, sekali pun takdir tidak selalu baik-baik saja. Enjoy the music.”
Suara vocalis yang lembut semakin membuat Fitonia betah. Espresso panas yang ia pesan memang sudah dingin dan tersisa sedikit. Tapi, ia ingin menikmati lagu itu.
“Baiklah. Setelah lagu ini selesai, aku pulang.” Hatinya menguatkan. Sang vocalis band itu memiliki suara yang lembut dan mendayu—sangat pas dan menjiwai lagu Kahitna yang berjudul ‘Aku, Dirimu, Dirinya’. Fitonia pun sangat menikmati sembari sedikit demi sedikit menyeruput minuman yang tinggal berapa tetes saja.
Wanita tinggi semampai itu hampir mengangkat tangan ke waiter untuk memesan menu lagi, tapi urung setelah menyadari sebuah panggilan telepon masuk.
Dari layar ponsel tertera nama sang pemanggil, “ My Mala”. Namun, ia tidak langsung menerima panggilan tersebut, melainkan hanya memperhatikan ponsel layar yang berkelip-kelip.
“Kenapa kau datang saat aku sedang menikmatinya, Mala?” Tidak bisakah kau biarkan aku menikmati kopi pahit yang kupesan ini? Meskipun sudah dingin, aku sangat menikmatinya.” Senyumnya sangat dipaksakan, cenderung kecut. Ia teringat seseorang yang entah sedang apa di sana. Tapi yang pasti, janjinya sedang ditunggu.
Panggilan demi panggilan yang ia abaikan menumpuk. Hingga panggilan ke empat kali, berhenti. Fitonia masih menatap ponselnya yang gelap. Ada rasa bersalah di dada. Di sisi lain, ia masih ingin duduk menikmati alunan lagu kenangannya.
“Bolehkah aku egois? Sekali saja.” Wanita yang duduk sendirian di pojok cafe itu berbicara pada seruputan kopi terakhirnya.
Ketika sampai di rumah, Fitonia mendapati Nirmala sudah tertidur pulas di lantai bawah jendela, tanpa alas. Di sekeliling wanita yang tampak kelelahan itu berantakan. Beberapa throw pillows yang awalnya tertata rapi di sofa bed, kini berserakan di lantai. Pun dengan throw blanket sudah berada di salah satu stool dengan kondisi sangat kusut. Fitonia hafal betul tabiat sahabatnya itu. Jika sedang marah atau depresi, tidak hanya gampang menangis, tangisannya pun bisa berjam-berjam. Ia juga termasuk orang yang baperan dan sangat menghayati hidup, baik bahagia atau pun sedih. Yang paling membuatnya sering jantungan adalah tindakan sang sahaat yang ekstrem.Nirmala tidak segan untuk melompat setinggi mungkin untuk mengekspresikan kesedihan, membenturkan benda ke lantai atau tembok, bahkan melukai anggota tubuh. Dirinya ingat betul bahwa terhitung sudah dua kali pergelangan tangan sahabatnya itu tergores karena drama keluarga.Sebenarnya, Fitonia ingin langsung beranjak istirahat ke kamar,
“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?” Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam.“Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan.Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping.“Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang.” Seperti seorang ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang tadi mengge
“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu.“Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya.“Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu.Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada ibu s
“Aku sungguh kecewa sama kamu, Gara! Pokoknya, pilih aku atau ibumu. Titik!”Dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Diana, Nirmala masih kuasa untuk menuliskan kalimat putus asanya di layar ponsel dan mengirimnya pada sang kekasih. Tangisnya yang tadi sempat berhenti, mendadak berderai kembali. Ia sungguh tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap penuh pertanyaan dan nyinyiran. Harapannya hanya satu, yaitu segera tiba di rumah Fitonia. Dirinya perlu untuk curhat dan meluapkan segala rasa kecewa hari ini. Jika tidak, jiwanya yang hancur berkeping-keping meminta tumbal mahal, sebagaimana dulu pernah ia lakukan.###Anggara masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari kekasih membuat dirinya sangat terbebani. Tiba-tiba saja lamunannya buyar oleh tepukan tangan di punggung kanan.“Heh, malah nglamun. Itu ibumu perlu dirujuk ke rumah sakit. Tensinya tinggi. Tiba-tiba down dan berhalusinasi,” suara sepupunya mengagetkan.Tanpa menunggu, Anggara langsung masuk ke kamar. Ia m
Nirmala tertunduk lesu di pojok kamar. Beberapa jam setelah dirinya dikunci sang bapak, wanita yang berada dalam fase dewasa awal itu seperti orang linglung dan putus asa. Digenggamnya ponsel erat-erat sepanjang waktu. Tatapannya kosong. Sesekali dipandanginya benda di tangannya itu penuh harapan, lalu beralih ke arah jendela kamar yang berada di atasnya. Hidupnya benar-benar layaknya telah berada dalam tahanan. Dirinya tidak menyangka jika di tahun 2015 ini masih ada orang yang memenjarakan anaknya sendiri demi sebuah perjodohan.“Kukira Siti Nurbaya itu cuma ada di dongeng aja.” Kalimat yang terdiri dari delapan kata itu meluncur ringan dari hati terdalam. Bibirnya tersenyum getir.“Agggrrrr!!!” Nirmala mengerang putus asa. Jikalau tidak ingat Blackberry yang ia genggam itu adalah hasil jerih payah kekasihnya, tentu sudah dibanting berkali-kali. “Kamu benar-benar membuatku gila, Gara!!! Bahkan, setelah kukirimi pesan itu pun, kau tidak segera menghubungiku. Oh, kau malah menon-aktif
“Apa?” Karena saking kagetnya, lengkingan suara Nirmala hampir saja terdengar hingga ruang tamu. Namun, saat itu suara ramah tamah antara keluarga Pak Harsono dan sang tamu yang begitu riuh berhasil mengaburkan suara yang berasal dari kamar si gadis.“Ya, kamu tidak salah dengar. Bapak berhutang banyak pada keluarga Pak Jaksa. Rasanya tidak mungkin kita bisa menebusnya. Paling tidak dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa, suka atau tidak, mau atau tidak, kau jadi tumbalnya.” Suara di seberang telepon sana benar-benar sempurna membuat drama kehidupan Nirmala sangat mengenaskan. Seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkan hidupnya, justru menghilang beberapa tahun lalu dan tiba-tiba datang membawa berita sangat buruk.Butuh waktu beberapa detik untuk dirinya bisa berfikir dan menerima kabar mengagetkan itu. Air mata tidak lagi bisa keluar, padahal batinnya terus saja menjerit kesakitan. Masalah satu belum selesai, kini tambah lagi dengan fakta baru yang sangat mengoyakkan jiwanya.“Aku
Pertemuan itu sangat meriah, tapi tidak dengan suasana hati Nirmala yang sepi dan kacau. Pikiran tentang kekasihnya masih memenuhi otak. Sampai detik dirinya menyerah dan keluar kamar untuk berpartisipasi ke acara ramah tamah itu, Anggara sama sekali belum menghubungi. Hingga, keputusasaan dan kesedihan terpancar jelas di raut wajahnya yang manis.Tidak ingin tamu kehormatannya menaruh curiga dan kecewa, berulang kali Pak Harsono memberi sinyal pada sang istri untuk menyadarkan anak gadis untuk tersenyum ramah.“Tersenyumlah, Nak. Demi keluarga kita,” ucap Bu Harsono berbisik di telinga sang putri dengan lembut. Nirmala yang pikirannya sedang tidak di tempat segera tersadar oleh bisikan ibunya itu. Jika saja ia tidak ingat akan kata-kata dan pesan kakak laki-laki satu-satunya tentang masa depan sang ibu dan dirinya, tentu mengunci rapat-rapat bibirnya pasti akan dilakukan. Namun, ia tidak kuasa menerima kenyataan jika acara ini berakhir buruk, maka bapak akan terimbas secara ekonomi d
“Mister Dana!” Nirmala cemberut mengetahui kancing terakhir yang dipegang adalah urutan nama orang asing yang beberapa jam ini diketahuinya. Padahal dalam hati, ia berharap nama Anggara-lah yang akan menjadi urutan terakhir. Namun, tetap saja, keduanya sebenarnya bukan pilihan yang diharapkan, karena sama-sama akan sangat memalukan.“Ah, persetan dengan rasa malu. Urusan masa depan nomor satu. Toh, cuma makan malam. Aku juga yakin bisa melunasinya segera. Setelah ini harus cari part time job yang bergaji tinggi. Ya, harus!” Gadis berhidung mungil itu menguatkan diri, tangan kanannya mengepal penuh semangat, pun dengan kepalanya manggut-manggut merasa yakin pilihannya pasti terbaik. Maka, tanpa menunggu lagi, ia memencet kedua belas nomor yang diberikan Siska tadi siang.“Halo.” Panggilan teleponnya langsung direspon begitu cepat, hingga Nirmala yang belum menyiapkan kata-kata pun kaget.” Halo. Dengan siapa ini?” suara berat khas cowok di seberang telepon kembali bertanya. Kali ini de