Share

Janji Ketiga yang Kau Ingkari

“Apa? Kau belum bilang sama ibumu?” Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka.

“Kau sudah janji, Gara!” Tangisnya seketika pecah. Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambrug jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu.

“Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.” Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi.

Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa.

“Kau sudah ingkar janji berkali-kali, Gara. Huhuhu. Tiga kali kau mengingkarinya. Teganya kau perlakukan aku seperti gadis pengemis begini! Apa aku harus menabrakkan diri ke kereta api supaya kamu menyesal memperlakukanku seperti ini, hah?”

Mendengar kata-kata wanita yang telah bersamanya selama lima tahun itu, akhirnya Anggara pun bersuara,” Kau, datanglah kemari. Temui ibuku. Barangkali kalau bicara dengan sesama wanita, ibuku akan mendengarnya dan luluh.”

“Apa? Aku harus mengemis ke situ? Ya ampun, Gara! Aku ini cewek! Di mana harga diriku jika harus memohon pada ibumu untuk mau mengawinkan kita? Kau ini benar-benar pengecut!”

Klik! Nirmala tidak kuasa lagi berbicara. Ia memutus telepon sepihak. Jika permbiacaraan ini dilanjutkan, yang ada hanya jantungnya yang rontok.

Melihat sahabatnya begitu lemas dan menangis sejadi-jadinya, Fitonia segera memeluk.

“Tenangkan dirimu, Mala. Tenang. Sabar.” Tangan lembut Nia membelai punggung sahabatnya.

“Bagaimana aku bisa tenang, Nia? Gara itu benar-benar pengecut! Dia ingkar lagi hendak melamarku. Sementara di rumah, aku terus dikejar harus menikah secepatnya. Kalau tidak, maka akan segera dijodohkan sama orang yang sama sekali tidak aku suka. Huhuhu.” Nirmala tergugu tiada jeda. Bayangan perjodohan oleh sang ayah dengan salah satu anak temannya itu membuatnya muak.

“Dia sudah janji, bahkan ini janjinya ketiga kali akan melamar dan secepat mungkin meminangku. Dia ingkar, Nia! Bagaimana aku tidak stres?” Saking stress-nya, serta merta Nirmala menghadapkan kedua telapak tangannya yang membeku ke arah Fitonia—yang juga kaget melihat sahabatnya itu seperti begitu menderita. Dan, sudah menjadi hal biasa bagi Nirmala, jika dia sedang stress, depressi dan menangis terus menerus, maka jari-jari tangannya akan mengalami kelumpuhan sesaat. Ia pun sudah menyadari itu, tapi mengabaikannya.

“Jari-jarimu kambuh lagi, La?” Fitonia sangat cemas melihat jari-jari sahabatnya kaku. Ia berusaha untuk memegang, tapi ditolak.

“Biarkan, Ni. Biarkan aku mati sekalian!” Nirmala semakin kacau. Ia berusaha menelungkupkan kedua telapak tangannya ke wajah, lalu mengibas-ngibaskannya ke berbagai arah. Tangis pun semakin kencang. Untung saja, di rumah itu hanya mereka berdua. Sementara tetangga pun cukup jauh, sehingga tidak ada yang mendengar keributan yang terjadi di sini.

Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bisa Nia lakukan lagi, kecuali memberikan waktu untuk sahabatnya itu bisa menenangkan diri. Segera ia keluar mengambil air putih dan meletakkannya di sebuah meja. “Minumlah, Mala. Tenangkan dirimu. Sebentar lagi aku ke luar. Ada urusan bentar. Kau aku tinggal dulu, nggak pa-pa, ya?” Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Fitonia membelai punggung sahabatnya. “Pokoknya, hapeku selalu bisa kamu hubungi. Kontak aku kalau kau butuh sesuatu. Oke?”  Di tengah-tengah kegelisahannya, Nirmala mengangguk.

Suasana mendadak sepi. Sisa air mata masih menetes walau lambat. Kedua netra Nirmala menatap ke luar jendela yang gordennya masih tersibak. Memorinya menari-nari mengajaknya menghitung kenangan-kenangan indah dan mengharukan bersama sang kekasih.

Sebenarnya tidak sedikit teman dan rekan kerjanya yang mempertanyakan kenapa ia masih anteng-anteng saja pacaran dan belum mau melenggang ke pernikahan bersama sang pacar, padahal hubungan sudah tergolong lama. Bisikan-bisikan pun sudah tidak terhitung lagi yang meragukan keseriusan sang kekasih. Apalagi, diketahui bahwa sosok kekasihnya itu belum pernah sekali pun bertandang ke rumah.

Saat ditanya mengenai hal demikian, Nirmala lebih memilih diam, karena ingat dengan kata-kata kekasih, “Kalau kamu percaya padaku, sabarlah menunggu. Aku akan datang setelah mengantongi restu Ibu. Itu tidak mudah. Kau tau bagaimana sifat Ibuku, ‘kan?”

Setiap mengingat kalimat itu, kesedihannya selalu membuncah. Selama ini ia sudah berusaha sabar. Tapi, demi mengingat di rumah ia dikejar-kejar untuk segera menikah, rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan kesabarannya. Namun, jika menyerah, sudah barang tentu ia akan kehilangan sosok yang selama ini selalu berpihak padanya.

Anggara memang pemuda pemalu dan pendiam, tapi dia satu-satunya pria yang selama ini ada untuk dirinya, kapan pun. Saat ia cek-cok dengan sang bapak, rekan kerja atau bahkan tetangga pun, Anggara yang selalu setia mendengarkan keluh kesah dan mencarikan win-win solution. Ya, meskipun pria itu tidak selalu fast respond.

Bahkan, saat ia kekurangan uang, karena gaji yang kadang tak cukup untuk mencukupi kebutuhannya, Anggara-lah sang penolong yang siap menyodorkan ATM-nya. Ia juga tidak pernah lupa dengan pengorbanan kekasihnya yang rela membantu biaya kuliahnya dulu. Itu hanya beberapa nilai plus Anggara yang jarang atau mungkin tidak dimiliki pria lain. Maka, jika ia harus kehilangan Anggara, rasanya tidak mungkin. Dunia pasti akan terasa hambar dan runtuh.

Malam semakin larut. Nirmala masih hanyut dalam kesedihannya yang mendalam. Jika sedang begini, lantas wanita melankolis itu menyalakan musik dari ponsel, lalu mengambil diary yang selalu dibawa kemana pun ia pergi.

Persetan mengenai persepsi orang di zaman ini masih mengandalkan diary. Karena bagi dirinya, diary seperti rumah. Di sanalah tempat terbaik bisa mencurahkan segala permasalahan hidup tanpa sensor apa pun. Ia berharap suatu saat bisa membuat sebuah novel berdasarkan kisah nyatanya itu.

Namun, semakin lama menyibak lembaran diary, tangisnya semakin tidak terkendali. Pun, kepala terasa pening, berat, panas seperti hendak pecah. Akhirnya, Nirmala tidak bisa menahan untuk tidak menjambak-jambak rambut yang sudah acak-acakan sambil berteriak.

###

Fitonia baru saja hendak beranjak, tapi intro sebuah lagu membuatnya urung. Ia sudah berdiri, tapi kembali duduk demi ingin mendengarkannya.

“Semoga siapa pun yang punya kenangan dengan lagu ini, senantiasa sehat dan bahagia. Hiduplah dengan baik, sekali pun takdir tidak selalu baik-baik saja. Enjoy the music.”

Suara vocalis yang lembut semakin membuat Fitonia betah. Espresso panas yang ia pesan memang sudah dingin dan tersisa sedikit. Tapi, ia ingin menikmati lagu itu.

“Baiklah. Setelah lagu ini selesai, aku pulang.” Hatinya menguatkan. Sang vocalis band itu memiliki suara yang lembut dan mendayu—sangat pas dan menjiwai lagu Kahitna yang berjudul ‘Aku, Dirimu, Dirinya’. Fitonia pun sangat menikmati sembari sedikit demi sedikit menyeruput minuman yang tinggal berapa tetes saja.

Wanita tinggi semampai itu hampir mengangkat tangan ke waiter untuk memesan menu lagi, tapi urung setelah menyadari sebuah panggilan telepon masuk.

Dari layar ponsel tertera nama sang pemanggil, “ My Mala”. Namun, ia tidak langsung menerima panggilan tersebut, melainkan hanya memperhatikan ponsel layar yang berkelip-kelip.

“Kenapa kau datang saat aku sedang menikmatinya, Mala?” Tidak bisakah kau biarkan aku menikmati kopi pahit yang kupesan ini? Meskipun sudah dingin, aku sangat menikmatinya.” Senyumnya sangat dipaksakan, cenderung kecut. Ia teringat seseorang yang entah sedang apa di sana. Tapi yang pasti, janjinya sedang ditunggu.

Panggilan demi panggilan yang ia abaikan menumpuk. Hingga panggilan ke empat kali, berhenti. Fitonia masih menatap ponselnya yang gelap. Ada rasa bersalah di dada. Di sisi lain, ia masih ingin duduk menikmati alunan lagu kenangannya.

“Bolehkah aku egois? Sekali saja.” Wanita yang duduk sendirian di pojok cafe itu berbicara pada seruputan kopi terakhirnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status