Anggara memasuki ruang acara dengan langkah gemetar. Terus terang, ia sangat gerogi. Apa-apa yang telah ia persiapkan sedari rumah mendadak ngeblank. Seumur hidup pemuda introvert itu belum pernah sekali pun ke rumah seorang wanita dengan tujuan asmara. Kalau pun sewaktu sekolah dulu, jika ke rumah teman wanitanya urusan PR atau tugas lainnya. Dirinya benar-benar kehilangan kekuatan.Om David--suami Tante Ayu—seperti mengerti situasi yang tengah dirasakan keponakannya itu. Tanpa diminta, pria plontos itu merangkul Anggara dan tersenyum sambil mengangguk, seolah menyalurkan kekuatan dan kepercayaan diri. Walau itu cukup membuat pemuda berjas abu-abu itu sedikit lega, tapi ketidakhadiran Pak Harsono dalam penyambutan rombongan membuatnya overthinking.Sejujurnya, Anggara belum siap untuk bertemu kembali dengan lelaki kekar yang pernah membuatnya babak belur karena kesalahpahaman. Namun, demi sebuah tuntutan dan rasa cinta pada pujaan hati, ia buktikan keseriusannya selama ini. Beberapa
“Apa?” Pak Jaksa memekik sembari memberi isyarat kepada putranya yang sedang menyetir untuk membawa kendaraan menepi. Sementara suara seseorang di seberang sana tak henti-hentinya mengucapkan permohonan maaf.“Ya sudah, saya ke sana sekarang.” Dengan raut wajah kesal, lelaki kurus tinggi itu mematikan telepon.“Ada apa, Pa?” Lucky menatap lelaki di sebelahnya dengan raut sangat penasaran.“Papa minta maaf, Lucky. Terpaksa acara lamaran kamu dengan putrinya Pak Harsono pending dulu. Papa harus ke kantor sekarang juga. Ada problem yang urgent sekali yang harus diselesaikan,” ucap Pak Jaksa dengan wajah sangat kecewa dan menyesal.“Tapi, Pa?” Lucky—pemuda yang malam ini telah memakai pakaian terbaiknya—menatap sang papa dengan wajah kecewa dan memelas. Pemuda necis itu ingin protes, tapi kata-katanya langsung dipotong oleh Pak Jaksa.“Papa benar-benar minta maaf. Tolong, putar balik rute, ya,” ucap Pak Jaksa terlihat begitu tak tega dengan putra semata wayangnya. “Papa janji secepatnya a
“Berhenti, La. Bapak mau ngomong.”Nirmala kaget setengah mati mendengar suara bapaknya yang rela menghentikan suapan makanan, manakala ia pulang kerja dan melewati ruang makan. Bukan hanya karena sang bapak yang selama ini dikenal tak mau diganggu pas makan, tapi yang membuat jantung wanita dua puluh tujuh tahun itu deg-deg ser adalah karena ini kali pertama pria berkumis di hadapannya itu sudi berbicara padanya.Ia ingat betul, sejak bapak memergoki dirinya diantar pulang oleh pacarnya setahun-an yang lalu, beliau marah besar dan tidak mau lagi berbicara padanya. Bahkan, permintaan maaf yang berkali-kali dengan cara apa pun, tak pernah digubris. Alhasil, hubungan bapak dan anak itu menjadi renggang, basi dan tanpa komunikasi sama sekali.“Ngomong apa, Pak?” Demi ingin mengetahui apakah ini nyata atau mimpi, Nirmala duduk sambil diam-diam mencubit paha kanannya. Ternyata sakit, barulah ia yakin bahwa ini nyata. Pasti ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan, sampai rela seseora
“Makan lah, Nak. Sedari pulang kerja tadi, kuperhatikan kamu tidak ke ruang makan atau dapur. Belum makan, ‘kan?” tanya Bu Harsono sembari menyodorkan sebuah nampan berisi semangkuk soto lengkap dengan lauk, sambal dan minuman.Sebenarnya Nirmala malas membukakan pintu, sekali pun itu ibunya. Namun, ia berubah pikiran ketika sang ibu menawarkan makanan. Sekacau apa pun keadaannya, Nirmala selalu kalah dengan urusan perut. Bukan karena serakah, tapi sadar jika perutnya keroncongan, otaknya menjadi kosong, emosinya semakin tak terkontrol. Dan yang pasti, ia tidak mau pengalaman lambung yang kosong membuat dia tak sadarkan diri saking lemahnya.Begitu pintu terbuka, senyum kelegaan terpancar dari wajah Bu Harsono. Ia paham betul bahwa sifat dan karakter putri semata wayangnya itu mirip sekali dengan suaminya yang tahan lama bermarah-marahan dan keras kepala.Jika dengan sang bapak, Nirmala selalu jaga image dan gengsi, tapi sebaliknya, ia tidak pernah jaim jika berhadapan dengan sang ibu
Fitonia kaget bukan main saat membuka pintu dan mendapati tamunya berpenampilan belepotan. Baunya pun menusuk hidung, sehingga dengan cepat ia menutup kedua lubang hidung.Nirmala yang sudah menduga akan tanggapan sahabatnya itu langsung menyelonong masuk menuju kamar mandi.“Nggak usah tanya dan komen dulu. Nanti aku ceritain. Mau ke kamar mandi. Oke?” ucap Nirmala sambil tangan kirinya memberi isyarat untuk tidak mengeluarkan pertanyaan.Fitonia yang sudah hafal dengan tabiat sahabat yang ia kenal sejak SMA itu hanya bisa menahan tawa. Entah kekonyolan apa lagi yang dialami wanita unik itu. Meskipun sangat penasaran, dirinya menurut saja untuk diam dalam kepenasaran yang tinggi, dan memilih pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat.“Nia, aku pinjem handuk, dong! Badanku semua bau ini. Jadi mandi, deh,” ucap Nirmala dari dalam kamar mandi.“Ya. Handuk kamu juga masih ada di sini. Wait!” Lagi-lagi Fitonia menurut apa kata sahabatnya itu. Tak lama kemudian, ia sudah mengetuk pint
“Apa? Kau belum bilang sama ibumu?” Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka.“Kau sudah janji, Gara!” Tangisnya seketika pecah. Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambrug jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu.“Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.” Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi.Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa.“Kau sudah ingkar janji berkali-kali, Gara. Huhuhu. Tiga kali kau mengingkarinya. Teganya kau perlakuka
Ketika sampai di rumah, Fitonia mendapati Nirmala sudah tertidur pulas di lantai bawah jendela, tanpa alas. Di sekeliling wanita yang tampak kelelahan itu berantakan. Beberapa throw pillows yang awalnya tertata rapi di sofa bed, kini berserakan di lantai. Pun dengan throw blanket sudah berada di salah satu stool dengan kondisi sangat kusut. Fitonia hafal betul tabiat sahabatnya itu. Jika sedang marah atau depresi, tidak hanya gampang menangis, tangisannya pun bisa berjam-berjam. Ia juga termasuk orang yang baperan dan sangat menghayati hidup, baik bahagia atau pun sedih. Yang paling membuatnya sering jantungan adalah tindakan sang sahaat yang ekstrem.Nirmala tidak segan untuk melompat setinggi mungkin untuk mengekspresikan kesedihan, membenturkan benda ke lantai atau tembok, bahkan melukai anggota tubuh. Dirinya ingat betul bahwa terhitung sudah dua kali pergelangan tangan sahabatnya itu tergores karena drama keluarga.Sebenarnya, Fitonia ingin langsung beranjak istirahat ke kamar,
“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?” Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam.“Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan.Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping.“Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang.” Seperti seorang ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang tadi mengge