Share

Nikahi Aku atau Aku Mati
Nikahi Aku atau Aku Mati
Penulis: Gra_Violla

Obrolan Bapak Setelah Sekian Lama Tak Pernah Berkomunikasi

“Berhenti, La. Bapak mau ngomong.”

Nirmala kaget setengah mati mendengar suara bapaknya yang rela menghentikan suapan makanan, manakala ia pulang kerja dan melewati ruang makan. Bukan hanya karena sang bapak yang selama ini dikenal tak mau diganggu pas makan, tapi yang membuat jantung wanita dua puluh tujuh tahun itu deg-deg ser adalah karena ini kali pertama pria berkumis di hadapannya itu sudi berbicara padanya.

Ia ingat betul, sejak bapak memergoki dirinya diantar pulang oleh pacarnya setahun-an yang lalu, beliau marah besar dan tidak mau lagi berbicara padanya. Bahkan, permintaan maaf yang berkali-kali dengan cara apa pun, tak pernah digubris. Alhasil, hubungan bapak dan anak itu menjadi renggang, basi dan tanpa komunikasi sama sekali.

“Ngomong apa, Pak?” Demi ingin mengetahui apakah ini nyata atau mimpi, Nirmala duduk sambil diam-diam mencubit paha kanannya. Ternyata sakit, barulah ia yakin bahwa ini nyata. Pasti ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan, sampai rela seseorang yang terkenal egois dan otoriter itu mau membuka suara terlebih dahulu.

“Nanti malam dandan yang cantik dan formal. Pak Jaksa, teman Bapak, mau datang sama keluarganya.” Pak Harsono tak mau bertatap mata dengan putri bungsunya. Pria enam puluhan tahun-an itu kembali menyendok makanan di piring, lalu memakannya. Terlihat sekali jika ia tidak nyaman, meski cara duduknya yang jegang masih menandakan keangkuhan.

“Temen Bapak yang mau ke sini, kenapa harus dandan? Apa hubungannya sama aku?” Nirmala pura-pura cuek, meski dalam batin, dirinya girang betul setelah berbulan-bulan tanpa bersapa dengan sang kepala rumah tangga.

“Ya, ke sini mau melamar kamu, lah. Jadi perempuan lemot betul kamu, ini!” Entah kenapa Pak Harsono nyolot. Bu Harsono yang berada di samping suaminya itu berdehem, mengisyaratkan untuk tidak terlalu keras dan kasar pada putrinya.

“Apa, Pak? Aku nggak salah denger?” Seperti disambar petir di terik siang bolong, Nirmala menatap Bapaknya tajam saking kagetnya. Yang diajak bicara pura-pura cuek, tetap melanjutkan santapan makannya. “Aku nggak mau nikah. Lebih tepatnya belum mau nikah.” Karena tidak mau mendengar kata apa pun lagi, Nirmala berdiri dan  bersiap melenggang pergi menuju kamarnya.

Pak Harsono yang merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga diabaikan, langsung meloncat dari kursi dan menyusul putrinya.

“Kenapa? Apa mau jadi perawan tua?”

Pertanyaan pak Harsono berhasil menaikkan darah Nirmala. Sakin gregetannya, wanita penyuka musik balada itu menghentikan langkah, lalu membalikkan badan.

“Aku capek, Pak. Mau istirahat. Kupikir Bapak mau bicara hal menyenangkan, setelah lama kita tidak pernah sekali pun bersapa.”

“Apa kamu nggak malu, teman-teman seumuran kamu sudah berumah tangga, sementara kamu masih saja luntang-lantung tidak jelas seperti itu?” Bukannya menanggapi perkataan sang putri, Pak Harsono justru menembakkan pertanyaan yang membuat mood Nirmala semakin buruk.

Hubungan bapak dan anak yang sedari dulu tidak pernah akur pun semakin keruh. Bagi Nirmala, perkara jodoh dan menikah adalah hal yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain, sekali pun itu adalah orang tua. Namun, rupanya hal sensitif itu tidak dimengerti oleh Pak Harsono. Pria yang kepalanya nyaris botak itu masih mendelik dengan kedua tangan berkacak pinggang.

“Pak, sekali lagi aku bilang. Urusan aku mau nikah kapan dan dengan siapa, jangan pernah ikut campur. Aku bukan anak kecil lagi lagi. Aku bisa memilih sendiri.”

Nirmala bertekad untuk melanjutkan langkahnya menuju pintu kamar yang tinggal enam langkah itu, tapi pertanyaan Pak Harsono kembali berhasil mengurungkan niat itu.

“Apa masih berhubungan dengan si tulang presto itu?”

“Namanya Anggara, Pak. Anggara Aji Pamungkas,” ucap Nirmala dengan nada kesal. Ia sungguh tidak terima jika sang bapak menyebut pacarnya dengan sebutan si tulang presto.

“Apa pun namanya. Toh, memang benar kalau perawakannya klemar-klemer dan nggak lakik.” Tanpa rasa berdosa dan tak mau kalah, Pak Harsono terus menyerang dengan menjelekkan pacar putrinya. Tidak mau terpancing emosi lebih dahsyat lagi, Nirmala mengambil langkah cepat masuk kamar dan menguncinya.

“Cowok muka bayi yang cemen itu mana bisa menjamin masa depan kamu? Bapak berani bertaruh kalau kamu masih berhubungan dengan dia, hidupmu tidak akan bahagia.” Pak Harsono sangat tersinggung dan emosi dengan tingkah yang diambil putrinya. Ia masih tidak terima dicuekin dan ingin terus mengeluarkan sumpah serapah. Namun, istrinya yang sedari tadi was-was dan memilih untuk hanya memantau, kali ini mencoba untuk memegang lengan kiri suaminya yang hendak menggedor pintu sang putri.

“Sudah, Pak. Sudah,” ucapnya lirih. Sekali pun lirih, Nirmala yang sudah berurai air mata di dalam sana mampu mendengar suara sang ibu.

“Ah, minggir!” Pak Harsono mengibaskan tangan sang istri. Saking kuatnya, hingga Bu Harsono terpelanting. “Ini juga gara-gara kamu yang suka melindungi dia. Makin gede, makin nglunjak, berani sama orang tua. Nggak becus urus anak!” Dengan nada putus asa dan jengkel, Pak Harsono pergi.

Bu Harsono baru saja mau berdiri, tapi kaget melihat suaminya berbalik arah dan dengan cepat sudah berada di hadapannya. “Pastikan nanti malam dia dandan untuk menemui tamuku. Kalau tidak, kalian berdua harus tanggung konsekuensinya.”

Setelah mengucapkan dua kalimat panjang itu, Pak Harsono benar-benar lenyap dari hadapan wanita ayu—yang masih dalam posisi setengah terduduk. Ia hanya bisa ber-istighfar di dalam hati sembari mengelus dada. Ini memang bukan pemandangan kali pertama suami dan anaknya bertengkar hebat, kedua insan yang wataknya mirip sekali itu kerap adu mulut sejak putri semata wayang mereka menginjak baligh.

Sementara Nirmala yang mendengar suara di luar pintu kamarnya itu mulai kewalahan menahan bendungan di pelupuk matanya. Ia kira, hubungan dirinya dengan sang bapak akan mencair suatu hari. Namun, hari ini, mimpi itu seolah lenyap.

Jika dulu, perseteruan keduanya sebatas kengeyelan seperti anak-anak biasa, semenjak sang bapak mengetahui hubungan backstreet-nya, masalah mengerucut pada prinsip hidup. Diam-diam pak Harsono tidak menyukai Anggara dari awal melihat sosok pacarnya tersebut.

Selain karena prinsip hidup yang ia pegang bahwa anaknya harus menikah dengan keluarga yang dikenal baik dari bibit, bebet hingga bobotnya, pak Harsono menilai Anggara sebatas dari penampilannya yang terlihat lemah dan ringkih.

Di saat menyedihkan seperti ini, tiada orang lain yang akan Nirmala hubungi, kecuali kekasihnya. Sayang, ia perlu bersabar jika menghubungi sosok anak rumahan itu. Setelah dua panggilan tak disahut, akhirnya laki-laki bersuara merdu itu mengangkat telepon,” Ya, Bee. Ada apa? Maaf, barusan bikinin kopi Ibu di belakang.”

“Kamu pernah janji dan itu bukan sekali dua kali. Bahkan aku inget, kamu janji udah tiga kali mau melamar aku. Apa kamu sudah siap untuk melunasi janjimu itu?” Tanpa basa-basi, sekuat tenaga Nirmala merangkai kata yang mewakilkan masalahnya saat ini. Dan, dengan penuh rasa penasaran, ia menunggu respon dari seberang telepon sana. Sayangnya, respon yang diharapkan tidak sesuai. Tiba-tiba Anggara terdiam seribu bahasa. Ia sangat kaget, mengapa tiba-tiba kekasihnya itu menagih janji?

“Bee? Apa kamu mendengar suaraku?” Nirmala ingin memastikan jika sambungan teleponnya baik-baik saja.

“I-iya. Maaf, aku harus ke toko dulu, ya. Sambung nanti.” Setelah berpamitan, dengan cepat Anggara memutus telepon. Hal ini tentu membuat Nirmala sangat kecewa. Biasanya, jika ia sedih dan butuh dihibur atau dicarikan solusi, Anggara selalu ada dan siap untuk dirinya. Namun, kali ini kenapa berbeda? Kenapa di saat genting macam ini? Tiba-tiba saja dunia Nirmala seolah runtuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status