Share

Titah Mendadak dari Bapak

“Makan lah, Nak. Sedari pulang kerja tadi, kuperhatikan kamu tidak ke ruang makan atau dapur. Belum makan, ‘kan?” tanya Bu Harsono sembari menyodorkan sebuah nampan berisi semangkuk soto lengkap dengan lauk, sambal dan minuman.

Sebenarnya Nirmala malas membukakan pintu, sekali pun itu ibunya. Namun, ia berubah pikiran ketika sang ibu menawarkan makanan. Sekacau apa pun keadaannya, Nirmala selalu kalah dengan urusan perut. Bukan karena serakah, tapi sadar jika perutnya keroncongan, otaknya menjadi kosong, emosinya semakin tak terkontrol. Dan yang pasti, ia tidak mau pengalaman lambung yang kosong membuat dia tak sadarkan diri saking lemahnya.

Begitu pintu terbuka, senyum kelegaan terpancar dari wajah Bu Harsono. Ia paham betul bahwa sifat dan karakter putri semata wayangnya itu mirip sekali dengan suaminya yang tahan lama bermarah-marahan dan keras kepala.

Jika dengan sang bapak, Nirmala selalu jaga image dan gengsi, tapi sebaliknya, ia tidak pernah jaim jika berhadapan dengan sang ibu. Begitu melihat nampan berisi makanan yang menggiurkan, ia langsung memakannya dengan lahap. Melihat pemandangan itu, Bu Harsono geleng-geleng kepala sembari membatin,” Persis bapaknya. Tidak bisa kelaparan. Pantas saja tidak pernah akur.”

“Enak, ‘kan?” tanya Bu Harsono memecah kesunyian.

Nirmala membalas dengan anggukan saja. Diperhatikannya putri bungsunya itu baik-baik. Ada rasa iba di sana. Namun, ada misi yang harus ia sampaikan saat itu juga. Misi itu tiada lain datangnya kecuali dari sang penguasa rumah tangga ini, yakni Pak Harsono. Maka, meski batinnya menolak untuk mengusik kenikmatan sang putri bersantap, pada akhirnya wanita ayu khas suku Jawa itu melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kamu menolak keras dijodohkan dengan Nak Lucky putra Pak Jaksa itu, Nduk?”

Nirmala yang tengah menikmati masakan itu mendadak seperti menelan duri ikan asin di kerongkongannya. Soto yang masih dua atau tiga suapan itu ia kembalikan ke nampan.

“Pertanyaan Ibu bikin selera makanku ilang. Jangan seperti Bapak kenapa, sih, Bu?” Protes Nirmala jengkel.

“Ya, Ibu penasaran aja. Sepertinya Nak Lucky itu orangnya baik, pengertian, tanggung jawab dan ganteng lagi. Kalau urusan nafkah, kan, sudah pasti, wong Pak Jaksa orang paling kaya di kompleknya,” beber Bu Harsono panjang lebar.

“Semua itu tidak menjamin, Bu. Bisa nggak kalau ganti topik?” Nirmala kelihatan sangat tidak menyukai topik perjodohan itu. “Atau kalau Ibu ke sini cuma disuruh Bapak mbujuk aku, lebih baik ke luar aja, lah. Jangan sampai aku juga kesal sama Ibu.”

“Ya, kan, Ibu nanya karna penasaran, to, Nduk.” Bu Harsono masih ingin memancing, tapi tak disangka, Nirmala langsung menyorotkan mata elang ke arahnya.

“Ibu penasaran? Pingin tau jawabannya?”

Bu Harsono mengangguk sambil nyengir, merasa sedikit berdosa telah membuat putrinya tampak sangat kesal.

“Karena aku tidak mau bernasib sama mengenaskannya seperti Ibu. Bukankah Ibu menikah dengan Bapak karena dijodohkan? Coba tanya sama diri Ibu sendiri. Apakah selama ini Ibu bahagia hidup sama Bapak? Yang ada Ibu sebenarnya menderita, ‘kan, karena selalu jadi objek kekerasan Bapak pas kalah judi, mabok atau menjadi pelampiasan kekesalannya?”

“Hush! Jangan diteruskan!” Bu Harsono hampir kehilangan kesabarannya mendengar cerocosan putri satu-satunya itu.

“Ya, udah Ibu aja yang keluar. Wong Ibu yang mulai dan mancing duluan, kok.” Nirmala tak kalah sewot.

Ia sebenarnya tak sampai hati melukai hati sang Ibu. Namun, ia terpaksa melakukannya karena tak pernah terpikirkan jika Bapaknya akan kelewatan mencarikannya jodoh, alih-alih merestui hubungan asmaranya dengan orang yang telah berada di sisinya lima tahun belakangan ini.

Bu Harsono yang tidak mau hubungannya dengan sang putri bertambah buruk pun bangkit. Namun, sebelum benar-benar melangkah ke luar, ia menatap putrinya sekali lagi dan berucap,”Paling tidak, kau pengenalan dulu dengan Nak Lucky, baru memutuskan. Tidak semua pernikahan dari perjodohan itu tidak bahagia.”

Setelah memastikan ibunya ke luar, Nirmala cepat-cepat mengunci pintu. Pikirannya kalut. Ia kira, drama kehidupannya cukup hubungan toxic keluarganya saja, tapi ternyata masa depan asmaranya pun terancam tidak baik-baik saja.

Wanita yang sebentar lagi menginjak kepala tiga itu bukannya tidak mau merenungkan apa yang terakhir kali diucap sang ibu, tapi batinnya tidak bisa berpaling dari kisah asmaranya dengan sang pacar. Bukan tentang urusan membuka hati ataupun peluang, tapi memperjuangkan orang yang selama ini setia di samping dirinya—apa pun keadaannya—adalah salah satu bentuk kebijakan yang patut diperjuangkan.

Menerima pria lain yang asing bagi dirinya dan harus meninggalkan pria yang selama ini mau berjuang bersama, bukankah itu suatu pengkhianatan? Ia bukan wanita gila harta. Begitu batinnya berontak.

Sekali lagi ia pencet tombol untuk menghubungi kekasihnya sekaligus ingin mengabarkan berita buruk ini. Namun, sial. Panggilannya terabaikan.

Nirmala mondar mandir di kamar dengan pikiran yang kacau. Ia berusaha mencari jalan keluar. Dipandanginya layar Blackberry—kado anniversary jadian ketiga tahun dari Anggara—sambil otaknya memacu keras. Adzan maghrib berkumandan. Suara dari luar kamar terdengar lebih ramai dari biasanya. Lantas ia lekatkan kuping kanannya di pintu.

“Suara Bude Rita, Bulek Ningsih, Lala dan ...” Nirmala melongo tak melanjutkan gumamannya. Saking banyaknya suara keluarganya itu sampai otaknya panas dan protes.

Keluarga besar sudah berkumpul. Itu artinya tamu yang datang dengan agenda perjodohan benar-benar nyata. Setelah sadar dan menemukan ide, dengan cepat Nirmala meraih tas kerja, beerapa pakaian dan tanpa pikir panjang langsung meloncat lewat jendela. Untung kamarnya memiliki jendela spek maling yang lebar tanpa tralis. Jadi ia bisa dengan mudah kabur kapan saja.

(Kamu ke mana aja? Ngapain aja? Sampai telfonku nggak diangkat. Pokoknya, jemput aku sekarang di gang sebelah kanan dekat rumah. Aku nunggu di balik pohon mangga, seperti biasa) Nirmala mengirim pesan panjang lebar setelah saluran telfon menuju Anggara tidak pernah ada respon.

(Nggak pakai lama. Cepet!) Belum ada lima menit, Nirmala sudah mengirim chat lagi.

“Hiiiih ke mana aja sih, ni orang? Di saat genting begini responnya slow banget. Awas aja kalau aku telfon sekali lagi dan nggak diangkat. Tak cubit-cubit kamu!”

Sebelum Nirmala merampungkan pencetan tombol panggilan, ponselnya sudah berdering. Tertampang foto sang kekasih di layar.

“Ke mana aja, sih, dari tadi aku telfon, aku messanger nggak digubris. Penting banget ini. Jemput sekarang?” Nirmala langsung nyerocos. Suaranya yang cempreng sempat membuat Anggara kaget dan menjauhkan ponsel dari telinga kanannya.

“Maaf, sayang. Tadi sore toko rame banget. Jadi, nggak sempet pegang hape. Ada apa, sih?” tanya Anggara kalem.

“Kamu nggak baca massanger-ku?”

“Ya, baca. Makanya ini aku telfon. Ada apa?”

“Jemput aku sekarang. Lokasinya baca di massanger.”

“Kamu kabur lagi?”

“Astaghfirullahaladzim. Pokoknya aku jemput sekarang. Baca pesanku, ada alamat di situ.”

“Ya, mana bisa aku telfon sama baca messanger. Bilang aja di sini, nggak papa. Mumpung toko lagi sepi dan Ibuku lagi salat.”

Nirmala benar-benar hampir gila menghadapi Anggara kali ini. Ia sudah mengirimi massanger berkali-kali mengabarkan situasi terkini yang sedang genting, sementara dia masih anteng dan belum respon tanggap cepat.

“Pokoknya cari sampai ketemu. Aku nggak mau tau. Cepat!” Tiba-tiba suara keras penuh emosi bapaknya terdengar begitu dekat. Secepat kilat Nirmala mematikan ponsel dan bersembunyi.

Untunglah pohon mangga yang sedari tadi menjadi tempat berpijak cukup besar. Namun, sayang, karena rembulan yang terang itu membuat bayangan dirinya bisa dengan mudah terlihat. Sementara itu, suara-suara langkah dan obrolan dua atau tiga orang semakin terdengar. Ia harus mencari tempat persembunyian yang lebih aman lagi. Karena kalau tidak, sudah pasti bapak akan mencincang dirinya. Tapi di mana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status