Share

Masih Digantung

Fitonia kaget bukan main saat membuka pintu dan mendapati tamunya berpenampilan belepotan. Baunya pun menusuk hidung, sehingga dengan cepat ia menutup kedua lubang hidung.

Nirmala yang sudah menduga akan tanggapan sahabatnya itu langsung menyelonong masuk menuju kamar mandi.

“Nggak usah tanya dan komen dulu. Nanti aku ceritain. Mau ke kamar mandi. Oke?” ucap Nirmala sambil tangan kirinya memberi isyarat untuk tidak mengeluarkan pertanyaan.

Fitonia yang sudah hafal dengan tabiat sahabat yang ia kenal sejak SMA itu hanya bisa menahan tawa. Entah kekonyolan apa lagi yang dialami wanita unik itu. Meskipun sangat penasaran, dirinya menurut saja untuk diam dalam kepenasaran yang tinggi, dan memilih pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat.

“Nia, aku pinjem handuk, dong! Badanku semua bau ini. Jadi mandi, deh,” ucap Nirmala dari dalam kamar mandi.

“Ya. Handuk kamu juga masih ada di sini. Wait!” Lagi-lagi Fitonia menurut apa kata sahabatnya itu. Tak lama kemudian, ia sudah mengetuk pintu kamar mandi.

“Makasih, yak. Nanti aku ceritain. Jangan tanya dulu.” Kepala Nirmala yang penuh dengan busa itu muncul di pintu, dengan badan berada di dalam kamar mandi. Sementara tangan kananya meraih handuk yang diberikan Fitonia. “Makasih, ya. Kamu memang sahabat terbaikku,” ucapnya sambil menutup pintu.

Tak lama kemudian, Nirmala sudah berganti baju dan siap bercerita dengan teman curhatnya yang sedang asyik menonton TV.

“Gila bener. Palaku hampir pecah.” Dengan masih sibuk mengusap-usap kepala yang ditutupi handuk, Nirmala duduk dekat sahabatnya.

“Kenapa emangnya? Berantem lagi sama Anggara?” Fitonia menebak dan langsung dijawab dengan gelengan kepala sang lawan bicara. “Trus?”

“Setelah sekian purnama kan, bapakku nggak pernah ngomong. Tau-tau tadi pulang kerja langsung bilang kalau ni malam, aku mau dijodohin. Sontak, dong, aku kabur. Yang bener aja!”

Fitonia yang mengerti betul hampir semua cerita hidup sahabatnya itu, hanya bisa melongo. Kehidupan Nirmala memang penuh dramatis. Orangnya pun unik. Tapi, ia tidak menyangka jika ending dari perang dingin antara bapak dan anak itu akan berakhir dengan ide perjodohan.

“Trus?” Fitonia tidak bisa berkata-kata, kecuali kata ‘terus’. Entah kenapa ia sangat penasaran dan hatinya tergambar selayaknya di musim semi—berbunga-bunga.

“Waktu mau minta jemput Gara, ternyata bapak nyuruh orang buat nyariin aku. Cepet banget sadar kalau anaknya ini udah kabur. “

“Trus?”

“Ih, kamu, mah, trus-trus-trus mulu. Nggak ada kata atau kalimat lain apa?” Nirmala yang tadinya sangat bersemangat bercerita, mendadak sewot.

“Ya, kan, penasaran. Yang pasti nggak ketemu, ‘kan? Kalau ketemu, nggak mungkin kamu sampai sini. Hehehe.” Fitonia nyengir.

“Aku ngumpet sampai di selokan. Tepatnya di bawah jembatan kecil deket gang rumah. Kamu tau, ‘kan? Ada bayangan, ‘kan?”

Fitonia manggut-manggut sembari memorinya mengingat-ingat lokasi yang dimaksud lawan bicaranya. Sekali pun ia kenal Nirmala sudah lama, tapi baru beberapa kali ke rumahnya. Itu pun karena urusan sekolah atau pas sang sahabat itu sakit. Tidak lain alasannya adalah karena pak Harsono terkenal galak.

“Untung musim kemarau. Air yang ngalir dikit. Coba kalau pas musim hujan? Beda lagi ceritanya. Bukan cuma basah. Hanyut kalik sampai muara. Mana sampahnya menggunung lagi. Sampah popok bayi! Dih, mana aku sempet terperosok gegara hampir ketahuan. Duh, pokoknya drama banget, deh.” Nirmala menyeruput minuman hangatnya. “Anyway, thanks, ya, minumannya.”

“Trus, kamu ke sini naik apa dan sama siapa?” Fitonia sangat penasaran dengan jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan. Karena setau dia, Nirmala trauma naik motor, setelah awal SMP dulu pernah terjungkal gara-gara dikejar bapaknya.

“Nggak mungkin Anggara,” jawab Nirmala cepat dengan nada lesu.

Jawaban Nirmala yang singkat membuat hati Fitonia tegang. “Tumben,” batinnya penasaran. Ia ingin menanggapi cerita lebih jauh, tapi urung. Ada sesuatu yang menarik kata-katanya masuk ke sarang.

Mendadak sepi. Setelah menyebut nama kekasihnya itu, wajah Nirmala terlihat mendung. Kalau sudah begitu, sifat melankolis wanita ber-zodiak virgo itu pasti muncul. Fitonia yang sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun itu sudah sangat paham dan memilih diam. Suasana menjadi canggung. Bahkan, suara jangkrik di luar sana terdengar sampai dalam rumah.

Fitonia baru saja hendak beranjak menuju kamar, tapi urung saat setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Nirmala kembali membuka obrolan.

“Menurutmu, Anggara itu serius mau menikahiku nggak, ya?” Kedua netra Nirmala yang kecil menatap Fitonia penuh pengharapan.

Fitonia yang tiba-tiba ditanya seperti itu tidak bisa langsung memberi jawaban. Ia kembali duduk dan mulai mencari-cari kata yang pas, agar sahabatnya tidak tersinggung.

“Kamu udah cerita ‘kan, ke Gara, kalau kamu mau dijodohin?” Alih-alih membeberkan isi pikiran, Fitonia justru balik bertanya.

Nirmala menggeleng. “Mana sempet. Telfon aja lama banget ngangkatnya. Chatting juga nggak dibalas. Giliran udah nyambung telfonnya, cuma bentar langsung ditutup. Alasannya selalu sama, toko dan ibunya. Kan, aku jadi mikir. Dia janji mau serius melangkah ke pelamina, tapi setiap aku bahas tentang nikah dan tanya kapan mau melamar, selalu ada aja alasan buat ngeles.”

Mendengar penuturan sahabatnya itu, Fitonia kehilangan kata-kata untuk menanggapi. Ada sesak sekaligus kelegaan. Entah rasa macam apa ini. Sebagai orang yang berperan penting sebagai mak comblang sekaligus teman curhat sebegitu dekatnya, ia turut sedih mendengarnya. Namun, wanita lemah lembut itu tidak mau lebih lama lagi membohongi diri sendiri.

Fitonia baru saja ingin mengucapkan sebuah kalimat, tapi mendadak ponsel Nirmala berdering, dan mengurungkan niatnya. Cepat-cepat wanita berdaster itu mengangkat telefon, sembari memberi isyarat pada sahabatnya bahwa yang bicara di seberang sana adalah Anggara. Dengan penuh kesadaran, sang sahabat pun mundur, meninggalkan keduanya mengobrol.

Sejauh apa pun ia telah banyak membantu, tetaplah mereka yang menjalani dan harus memutuskan mau dibawa ke mana kisah kasihnya. Namun, tetap saja. Sekuat apa pun ia pura-pura cuek, akhirnya pikiran tetap tidak bisa lepas dari kelanjutan kisah Nirmala-Anggara. Wanita tinggi dan berkulit coklat manis itu baru hendak menuju ruang tamu, tapi mendadak mendengar tangis Nirmala pecah histeris. Cepat-cepat ia lari, dan alangkah kagetnya mendapati keadaan sang sahabat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status