Mata Candra membulat, saat mendengar Mitha berkata demikian. Dadanya merasakan perasaan yang aneh. Wajahnya pun terlihat menegang. Candra melihat Mitha memegang satu kemeja berwarna biru langit, yang dipakainya kemarin. Pikirannya terbawa pada momen yang terjadi kemarin malam.“Apaan sih, Mith? Mana mungkin bau parfum perempuan,” kata Candra, dia segera menyimpan laptop ke samping. Kemudian bangkit menghampiri Mitha. Dengan cepat, Candra merampas kemeja yang sedang dipegang oleh Mitha.“Aku tidak mencium bau apapun,” elak Candra. Mitha mendengus pelan, sambil menaikkan sebelah alisnya. Dalam benaknya kini muncul pertanyaan, yang berasal dari keraguan di dalam hatinya.“Lagian, kamu itu jorok banget, sih! Ngapain kamu cium-cium aroma pakaian kotor, hah?” sewot Candra, seraya melempar pakaiannya ke lantai.Mulutnya memang berkata seolah dia tidak salah. Namun, sorot mata Candra bergetar. Dia terlihat sedikit panik, karena memang kenyataannya Candra mencium aroma parfum wanita yang ke
Tidak mungkin Mitha melupakan aroma yang menempel di pakaian milik suaminya. Seolah otaknya itu memiliki penyimpanan tersendiri untuk kasus seperti ini. “Kabarku baik, Mbak,” jawab Keyza. Perhatian Mitha pun langsung teralihkan, begitu Keyza menjawab pertanyaannya. Namun, masih ada pertanyaan besar yang kini berputar di otaknya. Tak hanya itu, Mitha juga merasa ada yang aneh dari suaminya. Candra terlihat membuang muka, seolah enggan untuk menatap Keyza.“Sedang belanja?” tanya Keyza lagi. Berbeda dengan Candra yang enggan menatap Keyza. Wanita itu malah sesekali melirik ke arah Candra. Namun, terlihat Keyza menunjukkan raut yang nampak kesal. “Oh, iya,” jawab Mitha. Kemeja Mitha terasa ditarik pelan oleh Candra. Mitha pun menoleh dan melihat suaminya yang nampak tidak betah di tempatnya. “Mbak Keyza, maaf tapi aku harus pergi. Masih ada beberapa yang belum aku beli,” ucap Mitha.Dia paham dengan isyarat suaminya. “Oh.” Keyza membulatkan bibirnya, lalu mengangguk-angguk sambil
Mitha tidak bisa membohongi Cakra. Karena pria itu selalu peka dengan keadaan Mitha, sekali pun dia menyembunyikannya. Wajah Mitha masih menunduk, tapi dalam sekejap dia menaikkan lagi kepalanya. Kemudian menarik napas dalam sambil tersenyum. Mencoba untuk mengubah raut wajahnya agar tidak dicurigai oleh Cakra. “Tumben kamu pulang telat, Cak,” ucap Mitha, yang mengalihkan pembicaraan. Sekeras apapun Mitha berusaha menyembunyikan perasaannya dari Cakra. Pria itu tetap dapat bisa mengetahui dibalik senyum palsu yang sedang ditunjukkan oleh Mitha. Jemari Cakra menyenyuh pipi Mitha. Sontak itu membuat Mitha tersentak dan membulatkan matanya. Di sisi Cakra, dia merasakan basah pada jari yang tadi menyentuh pipi Mitha. “Kamu nangis? Kenapa? Apa yang membuatmu menangis?” tanya Cakra dengan wajah yang terlihat panik. Tatapan matanya yang hangat itu, seolah membuat Mitha tersihir. Hatinya perlahan menghangat, walau di sisi lain dia merasakan perih. “Mitha, percuma kamu menyembunyikannya
Mitha dibuat terkejut dengan pengakuan Cakra barusan. Tentu dia tidak berekspektasi kalau ternyata Cakra memendam perasaan seperti itu padanya. Bagi Mitha, Cakra adalah sahabat karibnya. Prinsipnya yang menjunjung tinggi nilai persahabatan, membuat Mitha selalu menjaga perasaannya tetap sama pada Cakra. Namun, siapa sangka, ternyata Cakra memiliki perasaan sebaliknya. “Apakah perasaanmu itu masih ada sampai sekarang?” Mitha butuh jawaban atas pertanyaanya itu. Terlihat wajah Cakra yang menegang. Untuk beberapa saat Mitha memberikan waktu bagi Cakra untuk mempersiapkan jawabannya. “Apakah aku harus berkata jujur atau sebaliknya?” tanya Cakra. “Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang suka akan kebohongan, bukan?” Mitha balik melempar pertanyaan, yang sekaligus menjadi sebuah jawaban. Cakra memejamkan matanya, lalu dia terlihat menarik napas pelan. Sedetik kemudian, dia membuka kembali matanya. “Ya.” Sebuah jawaban yang sangat singkat, tapi jelas. Jawaban itu membuat hati Mitha
Mitha tahu betul harga dari tas tersebut. Untuk beberapa detik dia berpikir, dari mana suaminya mendapatkan uang untuk membelinya. Namun, Mitha segera menggelengkan kepala. Mungkin saja suaminya sedang mendapatkan bonus lebih, dan dia berniat untuk menyenangkan hati Mitha. Senyumannya itu terus mengembang seiring Mitha berjalan memasuki rumah, sambil membawa beberapa tumpukan dokumen. “Mas, ini simpan di mana?” tanya Mitha. “Di sini saja,” jawab Candra dengan cepat. Dia menunjuk pada meja di ruang keluarga. Tak mengatakan apapun lagi, Candra langsung pergi menuju kamarnya. Mitha yang baru saja menyimpan dokumen, langsung menatap suaminya yang pergi menjauh. Dalam hatinya masih berharap dengan apa yang Mitha lihat di dalam mobil. Mitha kemudian mengikuti Candra menuju kamarnya. “Mas,” panggil Mitha.“Hmm?” sahut Candra.Terlihat suami dari Mitha itu sedang berganti pakaian. Ia kini mengenakan kaus tipis berwarna hijau tua.Mitha bingung harus berucap seperti apa. Rasa penasarannya
“Mith, lihat,” ucap Anin yang ada di sampingnya. Wanita itu memperlihatkan ponsel miliknya, yang menampilkan sebuah aplikasi chatting. “Ini aku lagi chat sama admin dari produk pakaian olahraga yang waktu itu pakai jasa kita,” terang Anin.Mitha mengangguk, dia tentu mengingatnya. “Berkat foto dari kita, penjualan mereka meningkat. Mereka berterima kasih, karena hasil foto produknya bagus,” imbuhnya lagi.“Syukurlah, aku seneng dengernya. Ya, walau kita di sini harus kerja ekstra, bahkan sampai lembur. Tapi lihat testimoni konsumen jadi auto happy,” timpal Mitha. “Bener banget. Ngomong-omong selain fotonya bagus, dia juga memuji model kita. Katanya pas banget sama ekspektasi mereka.”Mitha tiba-tiba terdiam, bahkan sorot matanya kini mendadak kosong. Pikirannya terbawa ke arah lain. “Apa aku bilang sama Mbak Puspa, supaya jadiin Keyza talent model tetap, ya? Kayaknya oke kalau pakai jasa dia, untuk produk-produk yang menonjolkan sisi elegan dan sexy,” papar Anin. Suara Anin masih
“Mitha!” seru Cakra, yang melihat Mitha tersungkur. Dengan cepat, Cakra meninggalkan Candra yang baru saja dia pukul dengan keras. Segera menghampiri Mitha yang sudah terkulai, tak sadarkan diri. “Mitha!” Cakra mencoba untuk memanggil nama wanita yang kini ada di dalam rengkuhannya. Pipi Mitha ditepuk pelan-pelan, berusaha untuk menyadarkan wanita itu. Namun, usahanya tak berhasil. Karena Mitha masih memejamkan matanya dengan pipi kiri yang terlihat memerah. “Kurang ajar kamu, Cakra!” seru Candra yang tak terima diperlakukan kasar oleh adiknya. Candra langsung menoleh dengan tatapan tajam. “Kamu yang kurang ajar! Bisa-bisanya kamu memukul istrimu sampai dia pingsan seperti ini!” raung Cakra. Dadanya bergemuruh dan bahunya sudah naik turun dengan cepat. “Halah, paling dia pura-pura pingsan. Dia itu playing victim.” Mendengar cibiran yang keluar dari mulut Candra, emosi Cakra semakin tersulut. “Apa kamu bilang?” geramnya. Namun, jika bukan karena Mitha sepertinya Cakra sudah m
Kedua pupil Mitha membulat, saat mendengar alasan Cakra membawanya ke tempat ini. Tangan Mitha ditarik sekuat tenaga untuk keluar dari mobil.“Sakit,” ringis Mitha.Mobil yang tadi membawa mereka ke tempat itu, seketika pergi meninggalkan Mitha dan Cakra.“Cak, lepas nggak?” pinta Mitha yang menahan tangan Cakra dengan tangan kanannya.Sayangnya Cakra menggeleng, dia menarik Mitha untuk mendekat ke arah kantor polisi.“Cakra!” seru Mitha, yang ternyata sukses membuat Cakra tersentak.Untung saja parkiran di sana sepi dan juga tidak terlalu terang. Sehingga kecil kemungkinan orang lain mendengar suara Mitha yang sedikit meninggi.“Lepas! Kamu itu kenapa, sih? Aku baru keluar dari rumah sakit. Aku capek, aku ingin istirahat!” terang Mitha, yang kesabarannya sudah perlahan terkikis.Cakra langsung berbalik dan berhadapan dengan Mitha sekarang.“Aku tahu, setelah ini kita pulang. Kita buat laporan dulu.” Cakra masih tetap teguh dengan niat awalnya.Bagi Cakra, membiarkan Candra terus berl