Winter menyodorkan kompresan pada Race, pipi sepupunya itu merah dan bengkak. Sepertinya tamparan Raja Michel tadi cukup keras."Masih sakit?" tanya Winter."Tidak." Race menjawab singkat sembari menggelengkan kepalanya."Masih merah dan bengkak," ujar Winter lagi yang kembali melihat ke arah pipi Race."Tidak apa-apa, ini akan segera sembuh. Ada apa, kau kesini, Winter?" tanya Race sembari menatap Winter dengan tangannya masih mengompres pipinya."Aku ikut ayah dan ibu, maaf ayah tiba-tiba menamparmu tadi. Mungkin dia tidak terima karena kau meninggikan suaramu pada Paman Milano," terang Winter."Em,,,aku paham."Race menganggukkan kepalanya sependapat dengan ucapan Winter, sedangkan Winter sendiri sekarang menatap sepupunya dengan wajah iba."Race, kenapa kau marah seperti itu? Mereka orang tuamu, hanya karena Ivy kau sampai semarah itu."Mendengar pertanyaan Winter, Race mendongak dan melihat ke arah Winter."Hanya? Ivy itu istriku, Winter. Bukan hanya," ujar Race tidak setuju deng
"Bagaimana perasaanmu? Apakah masih ada yang sakit?" tanya Tesla yang baru saja selesai melakukan sihir penyembuhan pada Ivy."Sudah lebih membaik, Tesla. Terima kasih," ucap Ivy sembari tersenyum."Bagaimana bisa kau ceroboh seperti itu? Jika kedua energimu tidak seimbang, nyawamu bisa melayang, Iv," ujar Tesla."Maaf, aku tidak memiliki cara lain. Aku, harus bisa melindungi semua orang di istana. Jadi aku menggunakan energi haras membuat tabir keselamatan dan melawan monster yang datang.""Kau, tahu monster dari mana itu, Iv?""Entahlah, hanya saja monsternya hanya satu. Cukup aneh memang."Tesla terdiam mendengar ucapan Ivy, wajahnya terlihat bingung mendengar ucapan Ivy. Bagaimana mungkin menyerang kerajaan hanya dengan satu monster, walaupun monster yang kuat sekalipun ini bukan main-main yang hanya bisa dilakukan dengan 1 monster saja.Pintu kamar Ivy terbuka dari luar, membuat Ivy dan Tesla sama-sama melihat ke asal suara."Race."Ivy mengambil posisi duduk dan bersandar sekara
"Apa yang sebenarnya kau lakukan, Iv? Kau, ingin mati konyol?"Race membentak Ivy yang lagi-lagi menyelamatkan hidupnya dan Winter. Padahal kondisi Ivy belum boleh melakukan sihir sekuat itu. Sekarang Ivy duduk di lantai dengan memegangi dadanya yang terasa panas.Ivy mendongak dan melihat ke arah sang suami dengan wajah muram."Mati konyol? Apa maksudmu, Race? Aku, menolong suamiku. Apa itu bisa kau bilang seperti itu?" tanya Ivy dengan suara sedikit tersengal.Menyadari ucapannya yang salah, Race justru terdiam dan hanya menatap sang istri sekarang. Race lalu berdecak kesal karena rasa bersalahnya yang teramat sangat pada Ivy."Race, bawa Ivy ke kamarku. Biarkan para pengawal membersihkan reruntuhan ini."Ucapan Winter membuat Race dan Ivy sama-sama melihat ke arahnya.Ivy menggeleng pelan lalu kemudian mencoba untuk berdiri. Race dengan cepat membantu sang istri untuk berdiri. Ivy lalu tanpa sadar menepis tangan Race cepat."Aku, tidak apa-apa, Winter. Ah,,,iya sebentar."Ivy menga
Suasana ruang keluarga di paviliun Ivy terasa sangat mencekam. Bukan tanpa sebab, Ivy yang sedang dibantu Gareta untuk menyisir rambut tadi. Tiba-tiba saja kedatangan tamu, kedua orang tuanya dari barat."Gareta bawakan minuman hangat untuk ayah dan ibuku," titah Ivy sembari tersenyum pada Gareta."Baik, Nyonya muda," ujar Gareta menanggapi sembari menganggukkan kepalanya patuh.Setelah Gareta pergi, Nyonya Liana langsung berdiri lalu menjambak rambut Ivy cukup keras. Ivy tidak berteriak dan hanya mendesis karena merasakan kulit kepalanya yang sakit."Kenapa kau masih hidup? Seharusnya kau sudah mati!" ujar Nyonya Liana."Sakit, Ibu," tukas Ivy tidak menanggapi ucapan sang ibu."Hati-hati, Liana! Disini banyak pengawal," ujar Tuan Marionet mengingatkan sang istri.Nyonya Liana melihat sekilas pada sang suami lalu kemudian melepas cengkraman tangannya ke rambut Ivy. Nyonya Liana lalu mendengus kesal sembari menatap tajam Ivy."Kalau hanya akan menyusahkan disini, bukankah lebih baik ka
Mimpi yang Ivy alami bisa jadi sebuah ramalan masa depan untuk Ivy. Karena sejak awal pernikahan Race dan Ivy, Race selalu memimpikan hal yang sama seperti Ivy. Walaupun Race sendiri tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Ivy sendiri sudah tidak memikirkan mimpi itu lagi, berbeda dengan Ivy. Race justru terus kepikiran, hingga dia tidak fokus melatih para pengawal di basecamp. Race bahkan tidak sadar Winter melemparnya dengan kayu yang dipergunakan pengawal latihan."Ada apa dengan Race?" tanya Winter sembari mengerutkan keningnya heran.Sejurus kemudian Winter melihat ke beberapa pengawal yang dia latih."Kalian boleh istirahat," titah Winter.Semua pengawal itu mengatakan siap sembari membungkukkan badannya. Winter lalu berjalan menghampiri Race yang sejak tadi duduk sendirian dan terlihat sedang berpikir keras."Race!" panggil Winter sembari memukul meja di depan Race.Race terkejut dan reflek mendongak melihat ke arah Winter."Ada apa, Winter?" tanyanya kemudian."Kau, yang ada ap
"Tidak mau bangun?" tanya Ivy sembari mengusap pelan pipi Race."Tidak," singkat Race menjawab.Ivy menghela napas dalam dan berat. Gadis itu lalu beranjak dari tepi ranjang, lalu merapatkan selimut Race."Baiklah kalau tidak mau bangun, aku mandi dulu ya?" pamit Ivy.Ivy sudah berjalan menuju kamar mandi, tapi Race dengan cepat menahan tangan Ivy dan membuat Ivy kembali melihat ke arah sang suami."Kenapa?" tanyanya kemudian.Race yang sudah membuka matanya menatap manik mata Ivy. Race menghela napas berat lalu kemudian kembali menarik Ivy untuk duduk di ranjang."Ada apa, Race?" tanya Ivy lagi."Benarkah kau harus mulai kembali meramal di kerjaan hari ini?" tanya Race dengan wajah khawatirnya dan juga dengan nada tidak rela.Ivy tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan."Bukankah semalam kita sudah bahas ini?""Tapi, kau masih belum benar-benar sembuh.""Kata siapa? Tesla saja sudah mengurangi jadwal terapi penyembuhan ku. Lagi pula energi manaku bisa diisi setiap hari sekarang."
"Race, berhenti dulu! Aku, bisa jelaskan dengan apa yang kau lihat tadi."Ivy menahan tahan Race yang sudah akan meninggalkannya masuk ke dalam paviliun. Sejak pulang dari paviliun Winter tadi, Race sama sekali tidak mengajak bicara Ivy. Di dalam kereta kuda saja keduanya hanya saling diam dan Ivy takut ingin memulai pembicaraan dengan sang suami.Race yang merasa marah dan cemburu menepis tangan Ivy kasar."Jangan sentuh aku!"Ivy menatap tidak percaya ke arah Race yang lagi-lagi tidak mau dia pegang. Ivy menurunkan tangannya lalu kemudian menarik napas supaya tidak menangis."Maaf, aku sudah membuatmu marah," lirih Ivy."Aku, tidak marah jangan salah paham! Sekarang ayo masuk! Aku, tidak mau mengeluarkan biaya lagi untuk pengobatanmu dengan penyihir itu," tukas Race yang sepertinya benar-benar marah.Ivy tertegun mendengar ucapan Race. Dia mengira kalau Race sudah benar-benar mencintainya, lalu kenapa sekarang suaminya itu kembali bicara sekasar itu?Suasana meja makan sangat hening
Suasana basecamp begitu mencekam, lapangan bahkan porak poranda. Tanah-tanah di lapangan basecamp banyak berlubang, karena sudah tidak menyembunyikan identitasnya. Ivy bisa mengeluarkan sihirnya dengan leluasa. Terakhir kali Ivy mengeluarkan sihir andalannya untuk membunuh monster yang lebih mirip trenggiling dimata Ivy, tapi berwajah seperti babi hutan. Ivy keluar dari kabut yang cukup tebal dengan napas yang putus-putus, Ivy mulai bisa mengendalikan energi mana dan harasnya secara bersamaan, hingga kali ini Ivy tidak terlalu merasa lelah. Ivy setengah berlari menuju dimana Race, Winter, dan juga beberapa pengawal yang memang Ivy halangi dengan tabir pelindung.Ivy merapalkan mantra lalu kemudian mulai membuka tabir itu. Ivy tersenyum menghampiri Race dan Winter yang sedang berdiri berdampingan sekarang. Ivy mendekat pada Race lebih dulu, tapi berbeda dengan Ivy. Race justru mundur selangkah menjauh dari Ivy."Race," lirih Ivy tidak percaya dengan sikap Race."Kenapa kau begitu egois